woensdag 6 juli 2011

JEMAAT LATTA DALAM LINTASAN SEJARAH (2)

Periode Awal sampai dengan 6 September 1935

LATTA - Kampung Burger
 
PERSPEKTIF SEJARAH SOSIAL
Penelusuran sebelumnya telah memperlihatkan bayang-banyang Latta, namun belum cukup untuk menukik ke eksistensi mendasar dari kehidupan Jemaat sambil melihat bagaimana gereja melakukan pelayanan terhadap warga jemaatnya; relevan atau di luar konteks. Justru itu maka penelusuran dari perspektif sejarah sosial yang bidang kajiannya cukup beragam seperti kelas sosial, urbanisasi, kesalehan, pertumbuhan penduduk, dijadikan entry point. Batasan waktu penelusuran ini dimulai dari Abad 19 karena Latta tidak pernah dijumpai dalam arsip-arsip resmi Abad 17-18.

Gerrit Knaap, sejarawan Belanda yang kini bekerja di Universitas Leiden, dalam studi mendalam tentang demografi Kota Ambon dan wilayah Maluku Tengah pada umumnya dengan menggunakan data yang berasal dari bagian kedua abad 17 menyebut Kota Ambon: city of migrants. Dari migrants itu, hanya 5% dari penduduk Ambon adalah orang Ambon asli, 95% adalah pendatang (inlander). Kependudukan dibaginya atas dua kelompok: VOC personeel (pegawai VOC) dan Burger (warga kota).[i] Leirissa – sejarawan Maluku, Guru Besar pada Universitas Indonesia – mengulas warga kota itu lebih rinci. Pada masa itu warga kota terdiri atas: Europese burgerij (25% orang Belanda), Chinese burgerij (15% orang Cina), dan Inlandse burgerij (50% Inlander). Inlander adalah budak-belian yang juga berasal dari berbagai tempat di Nusantara. Selain ”compagnie” (Europesche Burgerij), Inlandse burgerij atau Inlander bertugas pula menjaga keamanan dan ketertiban kota.[ii]
Pada Abad 19, kategori Inlander tidak lagi dimaksudkan pendatang dari Nusantara, tetapi orang-orang yang berasal dari Maluku Tengah. Ketika terbuka kelonggaran untuk memperoleh status warga kota yang berdiam di kota Ambon, maka setiap orang dapat mengajukan permohonan kepada Gubernur atau Residen. Namun, bagi mereka yang telah memperoleh izin atau status warga kota, tidak mesti berdomisili di kota Ambon atau di tempat-tempat di mana terdapat benteng seperti, Ambon dengan fort Nieuw Victoria, Saparua dengan fort Duurstede, atau Nusalaut dengan fort Beverwijk, dan Buru. Mereka dibenarkan juga menetap di negeri masing-masing atau mudik dari kota ke negeri. Para migran ini disebut Inlandsche Burger, sedangkan yang menetap di Kota Ambon dinamakan Ambonsche Burger.[iii]
Historici Germen Boelens, Chris van Fraassen, Hans Straver menulis, bahwa beberapa tempat di Teluk Ambon bagian Dalam seperti Galala, Latta, Lateri, Passo, Negerilama, Nania, Hunut, Poka dan Rumahtiga pada umumnya didirikan sebagai burgerkampongs karena kebanyakan penduduknya burger. Mereka menetap di bawah pimpinan Kepala Lingkungan (wijkhoofd) yang berdekatan dengan benteng Kompeni. Kehidupan mereka pada umumnya berorientasi pada mata pencaharian di laut, bercocok tanam di areal tanah yang dapat diproses menjadi hak milik (ongeclaimed gronden), pertukangan atau bertugas pada Kompeni sebagai soldadu (soldaat). Keadaan sedemikian menyebabkan mereka berusaha meningkatkan status sosial melebihi penduduk kampung pribumi lain, tetapi juga menghindari degradasi status dengan cara menghindari kerja upahan melalui kerajinan tangan (handenarbeid in loondienst). Mereka yang menghindari kerja upahan itu diejek dengan sebutan Ambonsche leegloper (orang Ambon pemalas; penganggur), namun zendeling-onderwijzer Roskott adalah salah seorang dari sedikit tokoh ketika itu yang menolak sinisme leegloper yang disematkan pada mereka. Dalam perkembangan, jumlah burgers Eropa dan burgers pribumi terus bertambah karena perkawinan sehingga pada pertengahan Abad 19 di Ambon Lease terdapat 40.000 Inlanders, dari ± 12.000 burgers, ± 8.000 burgers berada di Pulau Ambon.[iv]
Dalam suatu pertemuan gerejawi, zendeling W. Luijke menuturkan bahwa pada suatu waktu berdatangan orang-orang dari negeri-negeri karena orang tua mereka pernah berjasa kepada Gubernemen. Mereka sangat setia menjalankan tugas dalam dinas militer selama dua belas atau dua puluh tahun sehingga diperoleh “paspor”, namun bukan harga hak sebagai borgor, tetapi berupa pensiun minimum per bulan antara f. 4 sampai f. 5. Hak istimewa yang mereka peroleh jika kembali ke negeri masing-masing adalah dibebaskan dari kerja paksa, namun kehilangan hak atas tanah dati atau tanah negeri. Itu sebabnya hanya sedikit orang yang mau kembali dan sebagian besar menetap di kampung-kampung borgor. Dengan cara demikian terbentuklah kampung Latta dan Lateri dengan populasi 770 jiwa.[v]
Menjelang akhir Abad 19, ketika terjadi krisis sosial-ekonomi, terutama menurunnya harga cengkeh sejak 1890 hingga dekade pertama Abad 20 yang berdampak pada ekonomi dan kesejahteraan warga kota Ambon, penerimaan pegawai menurun drastis, sumber pekerjaan sebagai tukang pun kian sulit, maka mereka yang kurang beruntung itu berangsur-angsur beralih pekerjaan menjadi nelayan; ada pula yang memutuskan untuk mudik ke luar kota Ambon.[vi] Pada masa krisis itulah sebagian Ambonsche Burger yang pluralistis antara lain ke petuanan Halong yang disebut Burgerkampong; bergabung dengan sesama saudara yang telah lebih dulu berdiam di situ.
Pada Abad 20, areal yang ditempati itu diakui sebagai kelompok sosial yang sudah mandiri seperti dilaporkan oleh Asisten Residen Schmidt pada tanggal 23 September 1924. Jika fakta ini dikaitkan dengan marga generasi pertama dan kedua dari masyarakat dan Jemaat Latta dalam kurun 1889 sampai dengan 27 Desember 1924 sesuai Data Baptisan yang terekam, maka menurut perhitungan sementara ditaksir berjumlah 56 marga. Demi menghindari bias gender, maka nama-nama marga itu disusun menurut abjad; tidak berdasarkan jumlah dan pengaruh dalam jemaat dan masyarakat.
(1). Aijpassa; (2). Alexander; (3). De Lima; (4). Ferdinandus; (5) .Fleisch; (6). Franetzkie; (7). Hatalessij; (8). Hatumena; (9). Hatumesen (Hatumessen); (10). Hehamahua; (11). Josef (Joseph); (12). Kaijadu; (13). Keiluhu; (14). Kepi (Kepij/Keppij); (15). Lainsamputij; (16). Lalopua; (17). Lattumanuwij (Latumanueij/Latumanuweij/Latumanuwij); (18). Latuasan; (19). Lawalata; (20). Lohanapessij (Louhenapessij); (21). Lokollo; (22). Luhukaij (Luhukay); (23). Maatita; (24). Makaluij; (25). Manuputij (Manuputtij); (26). Marunaja; (27). Maspaitela (Maspaitella/Maspatela); (28). Matita; (29). Matualessia (Matualessija); (30). Matullessia; (31). Musa (Mussa); (32). Nitalesij (Nitalessij); (33). Noch; (34). Papilaja; (35). Parinusa (Parinussa); (36). Pattipeilohij; (37). Pattiselanno (Pattiselano); (38). Pelapelapon; (39). Pelata (Pelatta); (40). Pessij; (41). Pieter; (42). Ricumahu (Rikumahu); (43). Ririmase; (44). Sahanaja; (45). Sahertian; (46). Saimima (Saimimma/Seimima); (47). Salomon; (48). Sapakuwa (Sopacua/Sopakua/Sopakuwa); (49). Seila (Soeila/Suila); (50). Siahaija; (51). Sijauta; (51). Tahalele; (53). Tentoea (Tentua/Tentuwa); (54). Van Casten (Van Kasten); (55). Wane; (56). Wattimena.[vii]
Dengan demikian, nama bujang yang karena perkawinan mengikuti suami di Latta berjumlah 21 marga, terdiri atas: (1) Aijpassa (Christina dan Fransina), (2). De Lima (Sara), (3). Frantzkie (Valentin), (4). Hatalessij (Sofia), (5). Hatumena (Jubelina), (6). Jose[f]p (Maria), (7). Kaijadu (Louise Elisabeth Frederika), (8). Lainsamputij (Afia Petronella), (9). Latuasan (Elizabeth), (10). Lawalata (Christina), (11). Luhukay (Ludia), (12). Makaluij (Lobaëla), (13). Maspaitella (Jubelina), (14). Musa (Wilhelmina dan Trintje), (15). Noch (Maria), (16). Parinussa (Johanna), (17). Pessij (Selvi/Selvisina), (18). Tahalele (Ariantjie), (19). Tentua (Anna Paulina), (20). Van Casten (Johanna Elizabeth dan Wilhelmina), dan (21). Wane (Dominggas).[viii]
Berdasarkan gambaran tersebut, maka strata sosial masyarakat Latta adalah demikian. Pertama, sesuai namanya, Latta dihuni oleh mayoritas burger yang umumnya berasal dari Maluku Tengah sebagaimana tampak pada nama-nama marga. Kedua, golongan soldadu yang pernah menjalani tugas militer bersama pemerintah Hindia Belanda; mungkin juga dengan Inggris. Sebagian dari mereka karena memilih tidak kembali ke kampung halaman sehingga kehilangan hak atas tanah dati dan tanah negeri. Ketiga, kelompok inlander yang meninggalkan kampung halaman mengikuti orangtua atau sanak-saudara dan menetap di Latta. Keempat, Ambonsche Burger merupakan kelompok yang migrasi ke Latta sebagai akibat dari krisis sosial-ekonomi yang melanda Ambon dan sekitarnya. Kelima, kelompok terkecil indo atau eropean (marga Van Casten dan Frantzkie) yang karena pernikahan menetap di Latta. 21 marga perempuan yang mengikuti suami di Latta menunjukkan bahwa kampung burger tidak mutlak terdiri atas orang-orang Maluku Tengah dengan hadirnya marga Musa atau Wane.
Dari segi ekonomi, warga masyarakat Latta yang terletak di pinggiran Kota Ambon itu berorientasi pada pencarian di laut sebagai nelayan dan bercocok tanam sebagai petani. Dua jenis mata pencarian ini agaknya tidak menimbulkan masalah bagi inlander yang migrasi dari desa ke Latta, terutama pada masa krisis. Selain itu adalah soldadu yang hidup dari pensiun yang diberikan pemerintah Hindia Belanda antara 4 – 5 gulden per bulan. Berikut, kelompok penganggur (werkloos) yang disebut Ambonsche leegloper. Dari namanya, diduga mereka adalah Ambonsche Burger yang menyandang pola hidup perkotaan tetapi karena kehilangan pekerjaan dan sebagainya akibat krisis ekonomi sehingga disinis dengan nama leegloper. Secara letterlijk, leegloper berarti pejalan kaki yang tidak memiliki apa-apa atau pelancong yang ingin menikmati kesenangan belaka. Mungkin dari mereka itulah lahir istilah yang lazim di kalangan orang Ambon: “yang penting gaya, walau kantong kosong”. Dapat dimengerti jika kerja upahan melalui kerajinan tangan dipandang “sebelah mata”. Jika begitu, masalahnya adalah mentalitas dan etos kerja.
Demikian potret masyarakat Latta di Abad 19 hingga parohan pertama Abad 20. Pada satu pihak, masyarakat Latta dengan corak dan karakternya berada di bawah kepemimpinan wijkmeester atau wijkhoofd yang pada tahun 1923 dipimpin oleh Wijkmeester B. Pastora.[ix] Sikap hidupnya yang penuh pengertian, ramah dan berwibawa (verstandig en fatsoenlijk) menyebabkan regent-wijkmeester menyapanya Heer Pastora.[x] Di lain pihak potret tersebut sekaligus menjadi gambaran latar belakang kehidupan sosial-ekonomi warga jemaat Latta yang dilayani oleh Zending (dan Indische Kerk).

LATTA (& LATERI) - Dubbelgemeente Abad 19
PERSPEKTIF SEJARAH GEREJA [1800-AN-8 APRIL 1986]
Penelusuran-penelusuran sebelumnya telah memperlihatkan potret masyarakat Latta seadanya. Pencarian berikut ini adalah menelusuri jejak-jejaknya dalam sumber sejarah Gereja (Zending) Abad 19 yang sudah dan yang belum diterbitkan dan/atau memadukan dengan arsip pemerintah yang tersisa sehingga potret dan ekspresi wajah Latta kian kentara, lagi colorful. Secara teologis, terbentuknya gereja ditentukan berdasarkan Baptisan Kudus pertama kali dilayankan; bukan tanggal pendirian organisasi. Begitu pula Jemaat Latta. Namun data yang dibutuhkan belum ditemukan. Para saksi mata sudah tiada.

WIJKHOOFD, GURU, TUAGAMA DAN ZENDELING
Pada masa pemerintahan Inggris, khususnya awal masa Hindia Belanda pada akhir November 1817, Kepala Lingkungan (wijkhoofd) atau wijkmeester berperan penting mengawal kampung. Laporan Baumhauer menunjukkan bahwa Kepala Lingkungan ini sudah ada sebelumnya dan berperan penting pada masa Kam. Dengan otoritasnya mereka memberikan dukungan materil berupa sarana prasarana yang menunjang pengembangan spiritual jemaat.
Selain Wijkhoofd, dikenal juga figur “Orang Tua” atau “Orang Tua Parentah” dan “Tuagama”. Orang Tua Parentah adalah anggota elit negeri, kepala adat di bawah regent. Tuagama adalah fungsionaris gereja yang diangkat oleh Residen berdasarkan usul Kepala Kampung (Negeri). Setelah menjalankan tugas dalam kurun waktu tertentu, jabatan mesti diletakkan. Jumlah mereka ditentukan berdasarkan populasi penduduk. Populasi tinggi, diperoleh banyak Tuagama seperti Hutumuri (empat Tuagama). Populasi rendah, diperoleh sedikit Tuagama seperti Waiheru, Hatiwe (Galala) dan Poka, serta Latta dan Lateri hanya dua Tuagama. Tuagama bertugas seperti Penatua, Syamas, Kolektan, Guru Bantu (hulpschoolmeester) dan wali gereja (Kerkvoogd), tetapi tanpa gaji. Dalam hierarkhi gereja, posisinya di bawah zendeling de eiland-ouderling, Guru setempat (plaatselijk schoolmeester) dan Majelis Jemaat Ambon (Ambonse kerkeraad). Ia dibebankan pimpinan harian Jemaat sehingga pendapatnya diminta ketika diadakan pemeriksaan anggota Sidi baru, kadang disertakan dalam pemeriksaan, diperkenankan melakukan kunjungan rumah (huisbezoek), menegur anggota jemaat, mengganti guru mengajar katekisasi, memimpin kebaktian dan sembahyang pada Kamis malam (donderdagavondgebed). Ia juga berperan dalam melaksanakan perkawinan dan mengajar murid dorpschool [burgerschool atau genootschapschool] kelas akhir. Mendahului ibadah Minggu, diadakan rapat. Tuagama bersama zendeling yang berkunjung, Kepala Kampung (Negeri), Kepala Soa dan Guru Sekolah membahas masalah yang terjadi dalam jemaat kemudian diputuskan secara musyawarah. Misalnya tentang pemberian izin atau melarang warga jemaat mengikuti Perjamuan Kudus. Bagi warga jemaat yang berperilaku buruk dan tidak dapat diperbaiki, kadang-kadang Tuagama mesti menghubungi Magistraat (Kontrolir, Asisten Resident, atau Gubernur/Residen) di Ambon untuk membicarakan tindakan yang mesti ditempuh.[xi]
Fungsi Tuagama ini masih dijalankan hingga penginjil NZG mendatangi Ambon (Maluku). Kendati ada, namun tidak banyak informasi yang menyinggung peran mereka di jemaat Latta (dan Lateri) sehingga lebih banyak dimainkan oleh zendeling (dan Guru). Majelis Jemaat Ambon, sesuai fungsi dan tugas seperti tertuang dalam Peraturan Sementara lebih bersifat mengawas demi ketertiban dan kesinambungan pelayanan.
Joseph Kam sebagai utusan NZG pertama yang tiba di Ambon pada 3 Maret 1815, berkarya sampai akhir hidupnya (18 Juli 1833). Beliau adalah overgangsfiguur yang menjelma menjadi Apostel der Molukken. Beberapa laporan menunjukkan bahwa Kam dan zendeling lebih berkonsentrasi menghidupkan kekristenan masyarakat pribumi di negeri-negeri, kampung-kampung dan mengawasi sekolah-sekolah yang terdapat di situ.[xii] Menurut Brugmans, sampai akhir 1834 – setahun setelah Kam meninggal dunia – hampir tiap negeri Kristen sudah memiliki gedung gereja, sekolah dan guru.[xiii] Cuplikan ini dan sebelumnya mengindikasikan bahwa Kam memang berperan sangat penting terhadap pembentukan dan pertumbuhan jemaat-jemaat sekitar Benteng, termasuk Latta (dan Lateri), tanpa mengabaikan peran Tuagama dan Guru. Data otentik yang dapat memberi petunjuk untuk menemukan jawaban teologis seputar baptisan pertama yang menandai berdirinya Jemaat Latta (dan Lateri), masih merupakan rekaan antara Januari - Juli 1817; April, Juli - Agustus 1816; atau antara Maret - September 1815. Selain wijkhoofd, zendeling dan Guru merupakan figur kunci dalam perkembangan masyarakat dan Jemaat Latta (Lateri), entah di bidang kerohanian, entah di bidang pendidikan.

MASA TRANSISI
Betapa sulitnya membangun jemaat Latta (dan Lateri), karena sepeninggal Kam, gereja di Ambon dan jemaat-jemaat sekitar berada dalam masa transisi yang sangat memprihatinkan. Hanya ada dua zendeling utusan NZG di Ambon;[xiv] masa bakti mereka sangat terbatas karena meninggal dunia. Georg Friedrich August Gericke, kelahiran Neustadt di Prusia (nama daerah di Utara Jerman), jebolan Institut Brückert Berlin dan Rotterdam, tiba di Ambon (3 Desember 1932), namun tiga bulan kemudian melakukan perjalanan ke Kepulauan Aru dan Barat Daya Maluku,[xv] serta beberapa jemaat di Ambon, seperti Alang.[xvi] Gericke sempat bekerja bersama Kam sekitar tujuh bulan dua minggu, dan meninggal dunia pada tahun 1834. Yang ditinggalkannya adalah konsep pendidikan untuk menghasilkan tenaga guru berkualitas. Zendeling berikut adalah Pieter de Keijser, alumnus Rotterdam yang mulai bertugas di Ambon pada tahun 1834. Setahun berikutnya de Keijser mengunjungi dan melaporkan keadaan sekolah di Hutumuri, Rutong, Leahari, Kilang, Naku, Hatalai, Soya, Amahusu, Hatu, Liliboi, Allang, Larike, Waiheru, Poka, dan Latta.[xvii] Walaupun tidak mencetuskan sesuatu yang baru, namun ia telah berarti pada masa transisi dengan menutup kekosongan sejak kematian Gericke sampai wafatnya pada 22 September 1840.[xviii] B.N.J. Roskott yang tiba pada 28 Juli 1834 jelas tidak bertemu Gericke, namun berkarya lebih lama (1835-1864).
Selain minus tenaga, terjadi konflik di kalangan HZG. Zendeling de Keijser dalam catatan hariannya (1 Januari - akhir Juni 1835) menuturkan bahwa pada tahun 1835 di Latta bertugas meester yang diangkat oleh HZG.[xix] HZG juga mengalami ketegangan yang lebih seru dengan Instituut, Roskott sampai akhirnya HZG dibubarkan pada tahun 1852[3?] karena perselisihan Schiff dan Gubernur Maluku. Konflik dengan Roskott karena Roskott menganggap pengangkatan guru yang dilakukan HZG bukan wewenangnya. Selain konflik, pelayanan zendeling de Keijser di Latta pada 10 Juni 1835 tergesa-gesa karena mesti menuju Ambon untuk melayani Perjamuan Kudus, membaptis beberapa anak, menguji murid-murid sekolah dan menyampaikan teguran kepada anak-anak yang meninggalkan sekolah dan jemaat.[xx]
Zendeling J.J. Bär sr. pun demikian. Ia baru mengungunjungi Latta jika berada di Poka. Itupun karena mesti mengunjungi Majelis Gereja Ambon serhingga memanfaatkan kesempatan untuk melayani Jemaat Poka, Galala, Waiheru, Latta (dan Lateri).[xxi] Dengan demikian tertumpuknya pelayanan di satu jemaat diusahakan diselesaikan pada satu atau dua hari. Benarlah, bahwa pada 8 November 1846 beberapa warga masyarakat Latta mengikuti ibadah tanpa paksaan. Dari sebelas anak yang hadir, beliau membaptis enam orang, kemudian meneguhkan pernikahan dan melakukan perkunjungan keluarga (rumah tangga).[xxii]
Seluruh pelayanan di Jemaat-jemaat Teluk Dalam ini diatur oleh Zendeling bersama penanggungjawab jemaat setempat. Pengaturan yang dilakukan Zending biasanya dikerjakan oleh zendelingen di tempat lain, yakni Rumahtiga. Kecuali hal-hal yang sangat khusus dan penting, barulah mereka diundang oleh Jemaat. Misalnya, pada 25 [Agustus] 1852 W. Luijke bersama Kam,[xxiii] Hanegraat, menuju rumah Janda Kam membicarakan peneguhan sidi terhadap murid katekisasi (belijdenisleerlingen) di wijk Mardika dan jemaat-jemaat di Teluk Ambon bagian Dalam (Lateri, Latta, Halong, Galala).[xxiv] Kunjungan ke Latta (dan Lateri) disesuaikan dengan waktu yang ditentukan berkaitan dengan pengresmian gedung Gereja dubbelgemeente Latta (dan Lateri).[xxv]

PENAHBISAN GEDUNG GEREJA; WILHELMINA?
Telah disebutkan bahwa penahbisan gedung gereja Latta yang pertama terjadi pada tahun 1830. Namun dalam salah satu laporan zendling W. Luijke kepada Pengurus Besar NZG di Rotterdam (Ambon, Juni 1854) dikatakan demikian: de gemeente te Lata en Lateri, gelegen op Ambon aan de binnen baai, had Luijke verzocht het nieuwe kerkgebouw van deze dubbelgemeente, dat te Lata staat, in te wijden.[xxvi] Artinya, “Jemaat di Latta dan Lateri, yang terletak di Teluk Ambon bagian Dalam, mengundang Luijke untuk menahbisan gedung gereja baru dari jemaat-ganda ini, yang terletak di Latta”. Dubbelgemeente dimaksudkan jemaat Latta dan Lateri yang menggunakan satu gedung gereja yang terletak di Latta; dua kampung, satu gedung gereja. Ini suatu pengecualian dikarenakan pada masa sulit justru jemaat Latta (dan Lateri) yang dipimpin oleh guru sekolah bisa membangun sebuah gedung gereja. Luijke mengisahkan penahbisan itu dalam laporannya kepada Pengurus Besar NZG di Rotterdam:
            Pada tanggal 26 November 1853 saya dijemput dengan sebuah perahu kecil yang dihiasi daun dan kembang beraneka warna. Ketika itu turut serta beberapa orang lain. Setiba di pantai - sesuai sifat orang Ambon - saya disambut penuh semangat dengan beberapa tembakan kehormatan disusuli musik. Tampak dua pemain biola; serta dua pemain klarinet dan dua pemain suling yang diminta dari paduan pemain musik Schutterij. Lantas saya diantar melewati jalan berhias dan dua gapura kehormatan yang juga dihiasi umbul-umbul sampai di gereja. Dari pekarangan sampai di dalam gedung gereja penuh dihiasi daun dan bunga beraneka warna. Setiba dekat rumah guru, tempat saya menginap, anak-anak menari bersaf-saf sehingga semua tampak hidup dan gembira. Ini adalah gedung gereja pertama yang dibangun dengan baik di Teluk Ambon bagian Dalam yang akan ditahbiskan, karena gedung-gedung di mana diadakan Ibadah biasanya gubuk atau terbuat dari gaba-gaba dan lebih sering digunakan untuk sekolah ketimbang gereja. Guru kelihatan senang dan bersuka cita karena gereja tersebut boleh dikatakan selesai; dibangun olehnya, di bawah pengawasannya, dan bagian-bagian terpenting dari bangunan gereja itu dibuat dengan tangannya sendiri. Padahal beliau harus berhubungan dengan masyarakat yang miskin namun bangga, karena sepanjang tahun beliau mesti bersabar dan rajin sampai akhirnya dapat menyelesaikannya. Namun, tahun terakhir sejak saya sekali-kali datang di sana untuk bekerja, banyak yang dikerjakan dari yang belum dapat diselesaikannya dibanding beberapa tahun sebelumnya. Gedung itu sendiri terdiri dari dinding setengah batu, papan yang digunakan juga dinilai berkualitas, kelihatan sangat kuat dan dihiasi dengan pintu dan jendela, tetapi tidak terlalu besar untuk jemaat yang berjumlah ± 500 jiwa. Dalam upacara itu tidak semua warga jemaat berlutut dikarenakan ruangan gereja penuh sesak. Yang berlutut hanya Luijke, Guru dan Sersan (Kepala Lingkungan/Wijk Latta). Di tengah gereja ada bangku kecil tanpa sandaran yang ditempatkan khusus di situ.[xxvii]
Guru yang mampu menggerakkan masyarakat membangun gedung gereja pada masa sulit itu adalah Meester J. Pattiselano.[xxviii] Latta di bawah pimpinan guru J. Pattiselano berjumlah 542 jiwa, terdiri atas 120 ledematen (anggota sidi) dan 201 anak. Pada masanya, gereja digunakan juga untuk sekolah namun berada dalam keadaan baik.[xxix] Hal ini didasarkan pada fakta bahwa beliaulah guru di Latta pada tahun 1854 yang memiliki keterampilan tukang. Lalu bagaimanakah dengan Nama gedung Gereja tersebut. Wilhelm... atau Wilhelmina?
            Ketika mendampingi mahasiswa Teologi yang lived in di Jemaat Latta beberapa tahun lalu, dua kali penulis mewawancarai almarhum Bpk. Bob Keppij di kediamannya.[xxx] Seingat penulis, gereja dimaksud disebutnya gereja Wilhelmina. Dalam percakapan cellulair dengan Ketua Majelis Jemaat GPM Latta, Pdt. J.L. Wattimury, Rabu, 22 Maret 2007 jam 07.00 WIB, diperoleh informasi bahwa nama Wilhelmina dihubungkan dengan simbol yang terukir pada pintu masuk gedung gereja. Lambang pejabat tinggi VOC dan Hindia Belanda sering diukir di atas prasasti atau tembok seperti di gereja Soya.
            Penulis coba melacak dari Daftar Baptisan Djamaat Latta Tahun 1889 - 14 April 1935. Ternyata lima urutan teratas dari nama baptis laki-laki: Wilhelm (44), Alexander (35), Frederik (32), Jan (29), dan Pieter (29). Lima urutan teratas dari nama baptis perempuan: Maria (42), Wilhelmina (39), Magdalena (39), Johanna (28), Leonora (26).[xxxi] Spekulatif, tapi menarik walau warga jemaat Latta kelahiran 1850-an sudah tiada. Namun diduga pemberian nama Wilhelm dikarenakan warga jemaat laki-laki Latta pernah bekerja dengan kompeni sebagai soldadu sehingga cenderung menjadikan nama petinggi Belanda yang pernah bertugas di Hindia Belanda sebagai nama baptis anak. Nama sekuler Ratu Belanda Wilhelmina terletak di antara nama alitabiah Maria dan Magdalena. Jika spekulasi ini benar, diduga Jemaat Latta memiliki keterikatan batin yang lumayan kuat dengan Pemerintah Kolonial pada satu pihak, dan gereja di lain pihak. Dapat dipahami ketika Jepang menduduki Ambon, gedung gereja tersebut diporak-porandakan karena dianggap sebagai “kaki-tangan” Belanda.
Dua tahun kemudian, Gubernur Kepulauan Maluku menerbitkan Surat Keputusan tertanggal 28 Maret 1856 No: 3 yang menetapkan bahwa zendeling W. Luijke karena kondisi kesehatannya dimutasikan dari Hutumuri ke Teluk Ambon bagian Dalam untuk melayani enam jemaat kecil yang berdekatan letaknya, yakni: Rumahtiga, Poka, Waiheru, Galala, Halong, dan Latta. Butir Penetapan yang kedua, zendeling C.G. Schot yang bertugas di Alang dimutasikan ke Hutumuri, harus melayani Rutong, Leahari, Ema, Hukurila, Kilang, Naku, Hatalai, Soya, Galala, Halong, dan Latta.[xxxii] Jadi pada tahun 1856, jemaat Latta dilayani oleh dua zendelingen (C.G. Schot dan W. Luijke).
Keadaan Gereja dan agama Kristen di Ambon dan pulau-pulau sekitar pada waktu itu masih tetap dililit kesulitan sehingga Gubernur bersungut-sungut. Roskott dan Luijke menyarankan kepada Majelis Gereja Ambon (Mei 1852) agar dari Belanda dikirim lebih banyak zendeling. Ds Kam [J.K.], Hanegraat dan Luijke singgah di rumah Janda Kam dan membicarakan tugas-tugas yang masih harus dikerjakan menyangkut peneguhan sidi di wijk Mardika dan Teluk Dalam. Pengaturan pelayanan seperti ini sudah diatur pemerintah, antara lain dalam Instruksi yang dikeluarkan oleh Baumhauer atau Peraturan Sementara §5
Di samping kesulitan mengatur pelayanan, lagi-lagi timbul masalah. Pada 1 September 1856 banyak guru dari Teluk Ambon bagian Dalam menyampaikan keberatan kepada Majelis Gereja di Ambon, terutama menyangkut orangtua dari anak-anak yang sah dan di luar nikah membawa anak ke Ambon untuk dibaptis tanpa pemberitahuan atau Surat Keterangan dari guru atau jemaat yang bertugas memelihara buku catatan. Hal itu sering dilakukan untuk menghindari teguran agar mereka segera menikah. Dikuatirkan anak-anak di luar nikah dilaporkan sebagai anak nikah sah pada guru pertama yang menerima 24 duit untuk tiap anak yang didaftar. Keberatan juga menyangkut betapa sering warga jemaat mereka ke Ambon mengikuti Perjamuan Kudus yang dilayani dalam bahasa Melayu tanpa Surat Keterangan Keanggotaan Sidi atau Surat Keterangan Kelakuan Baik dari Guru Jemaat, padahal mereka tidak diizinkan mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus. Setelah keberatan-keberatan tersebut dibahas, diputuskan bahwa diperbolehkan mengikuti Baptisan dan Perjamuan Kudus jika warga jemaat memiliki Surat Keterangan Kelakuan Baik yang ditandatangani oleh guru atau pendeta jemaat; bukan raja atau patih.
Kasus Sakramen demikian agaknya tidak banyak ditemukan di Latta, namun ada dalam bentuk lain. Pada hari Minggu pagi (14 September 1856) Luijke dengan perahu kecil menuju jemaat Latta dan Lateri. Sebelum ke gereja, ia melakukan “percakapan pastoral” yang kesekian kalinya dengan ayah anak-anak di luar nikah dan dengan seorang yang berharap dapat dinikahkan setelah ibadah Jemaat karena sudah setahun tujuh bulan bertunangan dengan Ibu anaknya. Setelah diperoleh kekuatan hukum dari Magistrat, Luijke ingin bertemu dengan pengantin untuk mempersiapkan pernikahan. Ternyata ibunya yang sejak lama menghalangi pernikahan tersebut, dan menurut bahasa guru setempat: “perempuan jahat” itu sejak bertahun-tahun ingin hidup enak dengan memperalat putri-putrinya, dan karena seorang puterinya telah meninggal dan ia tidak mau kehilangan puterinya yang terakhir. Dengan demikian semua harapan untuk mendapat keuntungan-keuntungan haram sirna”.[xxxiii]
Tidak hanya jemaat, “O Heer” juga. Guru Julius Pattiselanno di Latta (dan Lateri) walau bukan alumnus Sekolah Roskott, diakui sangat berjasa selama 29 tahun pengabdian di jemaat ganda ini. Kendati Roskott dan Luijke berulang kali melakukan percakapan pastoral, akhirnya beliau diberhentikan secara tidak hormat (oneervol uit beide functies ontslagen)[xxxiv] gara-gara bijgeloof (tahyul);[xxxv] berkaitan dengan Pontijana (Kuntilanak).[xxxvi] Tetapi NZG hanya memberi schorsing dari tugas pemimpin jemaat (voorganger). Di kemudian hari, hati “Mama Nyora” – istri sang Guru yang bernama Batseba Par[i]nusa – seakan diiris sembilu ketika menemui Roskott menyangkut gaji suaminya, tetapi Roskott tidak membayar gaji enam bulan sebagai tindak disiplinnya. Selanjutnya Pattiselano diganti oleh Guru Leonard Manusama[xxxvii] dengan penghasilan per bulan f. 15 untuk murid berjumlah 95 anak.[xxxviii] Selain mereka, ada juga guru J. Pattiasina yang bertugas di Latta.[xxxix]
Kalau dalam kasus tahyul, Roskott bertindak sepihak dan tegas atas nama dogmatika dan disiplin gereja, kendati putusannya direvisi Pengurus Besar NZG, maka Luijke justru tampil sebagai tokoh spiritual atas nama penggembalaan; bapak rohani yang sabar, pelayan yang berwibawa dan disegani. Betapa tidak? Pada Malam Natal 25 Desember 1863, dengan penuh kasih ia menghimpun warga jemaat Latta (dan Lateri). Luijke memberi penguatan iman dalam kaitan dengan tahyul, yaitu Pontijana (kuntilanak).[xl] Pada 25 Juni 1865 ia hadir sebagai “tabib” ketika warga jemaat Latta (dan Lateri) diserang penyakit Pokken (penyakit cacar).[xli] Penelaan Alkitab juga diselenggarakannya pada 20 Januari 1867[xlii] sebagai langkah strategis untuk mencerahi pemahaman kekristenan dan mengokohkan spiritualitas jemaat. Bukankah Luijke sendiri menyebut jemaat-jemaat burger di Teluk Ambon bagian Dalam: Hoe Digter Bij Rome, Hoe Slechter De Christenen?[xliii] yang berarti: “Semakin Dekat Dengan Roma, Orang Kristen Semakin Jahat”? Selain itu, Luijke mesti menghadiri rapat mingguan bersama Kepala Kampung, Guru, Tuagama sebelum hari Minggu. Memimpin ibadah, melakukan percakapan pastoral dan/atau mengunjungi warga jemaat. Sedangkan pelayanan sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus tidak setiap Minggu, karena waktu dan tenaganya mesti dibagi untuk Jemaat-jemaat lain yang membutuhkan pelayanan yang sama. Bentuk dan waktu pelayanan sedemikian pada gilirannya turut mempengaruhi kualitas kekristenan warga Jemaat Latta (dan Lateri). Itu pun sangat tergantung dari “penasihat spiritual” dalam arti “Bapa Rohani” Jemaat. Maka dapatlah dipahami kekesalan Luijke terhadap Roskott – guru sekolah agama yang cakap itu – lewat pernyataan singkatnya:
            Van doortastende, of merkbare bewijzen, dat de ‘Geest van Vader en van Zoon, Die ons den weg wijst tot den troon’ in het hart van deze of gene werkzaam is, heb ik in aldien tijd niet kunnen bemerken of vernemen.

PERSEKUTUAN LATTA-LATERI
Selain tragedi dan komedi, ada peristiwa bersejarah yang menitipkan jejaknya dalam komunitas Latta dan Lateri hingga masa kini. Pada hari Sabtu, 19 Januari 1867, Luijke meninggalkan tempat tinggalnya di Rumahtiga menuju jemaat Latta dan Lateri. Di Dubbelgemeente ini Luijke melakukan kunjungan, pemeriksaan terhadap sejumlah murid katekisasi. Pada hari Minggu ia bersama Jemaat mengadakan persiapan Perjamuan Kudus, membaptis dua orang anak, meneguhkan pernikahan dan meneguhkan anggota sidi baru. Pada malam hari menghadiri pertemuan yang dihadiri oleh 22 orang kaum bapak, berlangsung dekat tempat ia menginap. Itulah kesempatan pertama dibacakan Tata Tertib bahwa setiap kali diadakan pertemuan, harus diacarakan doa oleh penghentar jemaat, membaca Mazmur dan pengucapan syukur. Kebetulan pada waktu itu yang mendapat giliran adalah Kepala Kampung Latta, saudara kembar Guru di Galala. Penelaahan Alkitab diangkat dari Injil Lukas 2:25 [Adalah di Yerusalem seorang bernama Simeon. Ia seorang yang benar dan saleh yang menantikan penghiburan bagi Israel. Roh Kudus ada di atasnya,….]. Luijke bertindak sebagai penonton dan pendengar. Setelah pertemuan, Luijke menyatakan kegembiraan karena semua berlangsung baik, dapat bertemu dengan banyak kepala keluarga, dan berharap agar terus ditingkatkan.[xliv]
Dari laporan Luijke sebelumnya kepada NZG dikatakan bahwa sejumlah anggota Jemaat Latta dan Lateri ingin mendirikan suatu perkumpulan yang bertujuan untuk meningkatkan pengembangan rohani jemaat. Di Galala sudah ada perkumpulan seperti itu. Sesungguhnya niat tersebut lahir dari prakarsa sejumlah anggota Jemaat, karena Luijke atau guru setempat tidak pernah mendorong pembentukan perkumpulan itu. Menurutnya, niat membentuk Perkumpulan itu dikarenakan gerakan modernisasi di Ambon mulai memperluas pengaruhnya, namun Latta, Lateri (dan Galala), justru melakukan gerakan sebaliknya; pemperkokoh komunitas basis jemaat Latta dan lateri.[xlv] Gerakan modernisme itu mengajarkan bahwa “dalam jangka waktu dekat kekristenan di Maluku akan berakhir”. Dageraad yang dekat dengan gerakan modernisme sudah meratakan jalan sehingga diketahui masyarakat pribumi. Penyebaran ajaran itu melalui penjualan buku-buku dengan harga terjangkau sehingga dapat dibeli oleh pemuda pribumi, klerk, anak-anak regent yang dapat berbicara bahasa Belanda; sekurang-kurangnya bisa mengerti dan dipengaruhi oleh ajaran modernisme. Dageraad memberitakan hal-hal yang menghina, mengejek dan mencemoh kata-kata dalam Alkitab.[xlvi]

PENDIDIKAN yang Menatap ke Langit atau Bumi?
Di Latta terdapat sekolah yang namanya disesuaikan dengan nama Kampung: Sekolah Burger (Burgerschool); dijejaki sejak pendudukan Inggris. Kadang, Burgerschool disebut Genootschapschool, atau Sekolah Midras sehingga gurunya disebut Guru Midras, muridnya disebut murid Midras. Jadi Burgerschool adalah sekolah yang diuntukkan bagi anak-anak burger di kampung Latta (dan Lateri), Genootschapschool adalah Burgerschool yang dikelola oleh Genootschap. Sedangkan Midras merupakan sebentuk modifikasi kontekstual dari bahasa Ibrani (dan Arab) yang memiliki akar kata yang sama dalam bahasa Aram.

GENOOTSCHAPSCHOOL YANG BERORIENTASI KE LANGIT
Seperti di kebanyakan Negeri atau Kampung, letak sekolah tidak berjauhan dari gedung gereja atau gedung gereja itu sendiri digunakan untuk dua aktivitas: gerejawi dan pendidikan. Sesuai nama Kampung, Jemaat dan nama Sekolah, maka murid-muridnya terdiri dari anak-anak burger. Telah disebutkan bahwa pengawas utama (pimpinan) sekolah-sekolah pada akhir November 1817 diangkat dan difungsikan kembali, kualitas mereka pun ditingkatkan oleh Buyskes.
Roskott dalam laporannya kepada Pengurus Besar NZG di Belanda (28 April 1845) menyebut Burgerscholen, yaitu Soa Ema, Galala, Waiheru dan Poka, serta Latta. Semua sekolah ini dikelola NZG, namun pada tahun 1864 diserahkan kepada Gouvernement.[xlvii] Sebelum lengser Roskott menilai sekolah-sekolah tersebut dalam keadaan baik;[xlviii] dan bertahan hingga 1849 karena pada waktu itu Roskott kembali melakukan inspeksi di sekolah-sekolah tersebut.[xlix]
Sekolah Genootschap di Latta pada tahun 1854 masih dipimpin oleh Meester J. Pattiselano dengan jumlah murid 68 orang, sedangkan terdapat 133 (seratus tiga puluh tiga) anak burger Latta. Menurutnya, hampir setengahnya tidak mengikuti pendidikan, a.l. dikaranakan masih berusia muda atau tidak diizinkan orang tua. Hoofdcommissie van Onderwijs menilai sekolah di Latta sangat baik (zeer goed).[l] Tidak disebut kriteria penilaian yang digunakan, namun dapat direka berdasarkan bentuk laporan zendeling yang melakukan inspeksi di Genootschapscholen. Jadi penilaian baik berhubungan dengan alat belajar, sistem pendidikan, kehadiran murid, kondisi fisik bangunan, dsb. Berdasarkan tahun dinas dan tahun penahbisan gedung gereja Latta (dan Lateri) pada 26 November 1853, sangat mungkin bangunan fisik sekolah burger Latta memenuhi syarat dikarenakan Meester Pattiselano selain berprofesi guru, juga terampil sebagai tukang bangunan. Namun tidak berarti beliau salah seorang tentara yang berpangkat sersan, karena sumber Arsip Nasional Republik Indonesia menyebutkan bahwa pada tahun 1858, onderwijzer di Latta (dan Lateri) diharuskan membayar pajak bersama sejumlah guru yang bekerja di Saparua, Nusa-Laut, Ceram, dan Hila.[li]
            Jadi beliau adalah warga masyarakat biasa dan karenanya mesti membayar pajak. Pada awal tahun 1860 usia beliau mencapai 55 tahun dan setelah bekerja sebagai pemimpin Jemaat Latta (dan Lateri) selama 29 tahun, beliau dikenakan disiplin karena masalah Kuntilanak.[lii] Seorang putranya yang bernama Z. Pattiselano pada tahun 1863 terdaftar sebagai murid kelas persiapan Sekolah Batumerah Ambon yang mengikuti ujian selama dua minggu penuh dari jam 19.00-23.00.[liii] Dua tahun sebelumnya (1859) salah seorang putranya yang berusia 20 tahun ke Paperu (Saparua) dalam rangka membangun sebuah gedung gereja untuk jemaat Paperu.[liv]
Dilihat dari muatan buku midras, memang murid-murid diajarkan membaca, menulis, berhitung, dll. namun aksentuasinya diletakkan pada pelajaran agama sebagaimana tampak pada literatur atau peraturan midras itu sendiri.[lv] Bunyi salah satu pasal yang dicuplik dari buku midras demikian:
            “Maka ada bajik sakali bahuwa ada midras; disitupawn awrang beladjar babarapa perkara jang berguna. Djikalau bukan ada midras, maka manusija tinggal bodokh, seperti binatang djoega. Begitu dia suka masokh midras, sebab di situ anakh beladjar pengadjaran jang bajik; maka itu terlalu amat sedap. Sijapa jang bermajin sa tigasa dan berdjalan. Dengan malasnja pada tiap harij, ija akan sakit hati sakali. Manakala ija djadi tuwa maka ija nanti ada bodokh, dan menjasal terlalu karena kemalasannja (Pasal 3 “Akan MIDRAS”).[lvi]
Dalam pertemuan tingkat gereja, banyak hal dibahas, termasuk masalah sekolah dan penyelenggaraan pendidikan. Pernah ditanyakan: “Bagaimana cara mengatasi anak yang kurang ajar?” Rupanya pertanyaan ini mengacu pada penghapusan hukuman badan yang sering terjadi di sekolah Gouvernement. Sementara di sekolah Genootschap dilakukan pemutihan denda sekolah dan hukuman badan tidak diberlakukan. Kalau ada, dibatasi; tidak lebih dari enam kali pukulan. Inilah alasan mengapa Luijke katakan, bahwa murid-murid yang ke sekolah lebih banyak yang memerintah guru dan guru memerintah mereka. Karena tahu bahwa guru tidak akan memukul, sebagian dari mereka berlaku “kurang ajar” terhadap guru dengan berbagai cara. Ada yang datang sesukanya, ada yang terlambat satu jam, ada yang duduk malas dan acuh ketika guru sedang mengajar, ada yang tidur di tanah, ada yang sudah bolos sebelum sekolah selesai, tetapi ada juga yang mengikuti pelajaran dengan baik sampai selesai. Kalau guru bersungut, jawabnya: sebaiknya sekolah itu ditutup![lvii] Hal demikian terjadi juga di sekolah Genootschap yang sebagian besar muridnya anak-anak burger, anak-anak soldadu. Reaksi tegas Luijke itu mungkin dilatabelakangi oleh rasa jengkel karena pada tahun 1864 semua sekolah Genootschap diserahkan kepada Gouvernement, seiring berakhirnya masa NZG, padahal laporan Luijke itu dibuat dari Rumahtiga pada tahun 1867.

BURGERSCHOOL YANG BERORIENTASI KE BUMI
Dengan deterbitkannya SK Gubernur Jenderal tanggal 13 Mei 1865, maka Sub-Commissie Onderwijs yang semula dijabat oleh Zending, kini dijabat oleh pejabat Pemerintah. Panitia Pengajaran yang sebelumnya bernama Sub-Commissie Onderwijs diganti menjadi Sub-Commissie Inlandsch Onderwijs [Sub Panitia Pendidikan Bumiputera]. Yang berbeda dalam mekanisme sekolah baru itu terletak pada tujuan pendidikan; tidak lagi menghasilkan guru-guru yang pandai menyebarkan agama Kristen atau menatap “langit”, tetapi juga menghidupkan pengetahuan "praktis" di kalangan penduduk pribumi; dan karenanya mesti membumi. Dengan kata lain, burgerschool Latta yang dulu menatap langit, kini mesti menukik ke bumi karena lebih sekuler. Itulah sebabnya pada tahun 1867 Sub-Commissie Inlandsch Onderwijs menempatkan guru midras di sekolah Latta, yakni: L.A.I. Manusama [guru kelas satu], dan HWCV. Kuhuwael [guru kelas dua].[lviii] Guru Manusama dan Guru Kuhuwael adalah Guru Midras Melayu yang hidup dari Gouvernement. Penempatan mereka di Latta dikarenakan ketika itu sekolah di Latta memiliki 141 (seratus empat puluh satu) murid. 141 murid ini terdiri atas 72 murid kampung Latta (42 perempuan, 30 laki-laki), dan 69 murid dari kampung Lateri (34 perempuan, 35 laki-laki).[lix] Penghasilan mereka per bulan menurut perhitungan sembilan tahun yang lalu terhitung lumayan; untuk schoolmeester kelas satu (L.A.I. Manusama) f. 25.- sedangkan untuk schoolmeester kelas dua (Kuhuwael), f. 20.- per bulan.[lx]
Sarana dan prasarana pada waktu itu memang menantang penduduk Lateri, baik menyangkut peribadahan, maupun pendidikan. Muncul kegelisahan warga Lateri terhadap anak-anak mereka yang mengikuti pendidikan midras di Latta. Maka pada 14 September 1867 diajukanlah sepucuk surat kepada Sub-Commissie Inlandsch Onderwijs dengan mencantumkan tiga alasan pokok untuk mendapatkan guru sekaligus guru Injil. Pertama, Jarak antara tempat tinggal murid dan “midras” ditempuh anak-anak sekitar 1 (satu) jam; Kedua, Pada musim hujan, anak-anak sering basah dan menderita sakit perut; tidak terkecuali pada hari Minggu untuk mendengar Injil;[lxi] Ketiga, Lateri yang berpenduduk 280 jiwa ketika itu merasa berhak untuk mendapatkan seorang guru untuk jemaat dan sekolah.
Empat bulan kemudian, permohonan tersebut ditanggapi secara positif oleh Sub-Commissie Inlandsch Onderwijs. Sejak itu (1868) Lateri memiliki seorang guru-midras Kuhuwael. Dengan demikian, tanggal 14 September 1867 dapat dilihat sebagai awal kebangkitan masyarakat Lateri untuk mendapatkan guru, Guru Injil dan dengan swadaya masyarakat membangun Sekolah dan Gereja. Nama dubbelgemeente pun mulai mendapat warna baru menuju pemandirian. Itulah sebabnya pada 8 Mei 1868, schoolmeester kelas 2, J.L.A. Manusama dimutasikan dari Latta ke Lateri.[lxii]
Sejak dimutasikan guru Manusama ke Lateri, Latta mengalami kekurangan tenaga, tetapi tiga bulan dua belas hari kemudian (20 Agustus 1868) Sub-Commissie Inlandsch Onderwijs memutasikan schoolmeester kelas 4 M.S. Timisela (dengan penghasilan per bulan sekitar f. 12.-) ke kampung dan jemaat Latta.[lxiii] Setelah guru Timisela, tidak ditemukan banyak data yang membantu penggambaran pendidikan di sini.
Dari salah satu laporan inspeksi sekolah-sekolah pemerintah untuk penduduk bumiputra di Residen Ambon disebutkan bahwa pada tahun 1886 Inladsche Leeraar M. Holle bertugas di Latta (1886). Selain itu, digambarkan juga tentang kondisi fisik banyak bangunan di Ambon yang oleh swadaya masyarakat dibangun untuk penyelenggaraan pendidikan. Bangunan sekolah yang dipandang sesuai persyaratan adalah bangunan sekolah di Halong, Latta, Lateri, Roemahtiga dan Karioe (rumah gereja), Toehaha, Paperoe dan Serri-sorri-serani. Kelihatannya meubilair gedung-gedung sekolah lebih baik ketimbang bangunannya. Untuk bangku dan meja sekolah, Latta hanya memiliki 2 buah. Buku-buku yang digunakan seperti Peladjaran berhitoeng, Leesboeken Peroempamaan, tidak digunakan atau De Rekenboeken van Riemsdijk en Habbema (I, II, III en IV stukje) yang banyak digunakan, dll., namun kekurangan untuk sekolah Latta, Soeli, Mardika, Galala, Halong, Negeri-Lama dan Roemah-Tiga. Hubungan guru - murid, khususnya cara guru menarik murid agar makin mencintai sekolah dinilai cukup baik seperti dilakukan oleh guru-guru di Ema, Hatalai, Roemah-Tiga, Galala, Latta, Haria, Porto, Oellath, Toehaha, Itawaka, Akoon, Abooroe, Waai dan Soeli. Untuk sekolah-sekolah di mana pembelajaran di kelas rendah dipandang baik, namun yang berbeda seperti Lilibooi, Roemah-Tiga, Negeri-Lama, Lateri, Roetong, Waai, Soeli, Haria, Porto, Paperoe, Oellath, Serri-sorri, Toehaha, Itawaka, Akoon, Aboroe, Neira. Padahal beberapa tahun lalu yang dinilai baik adalah Ema, Hatalai, Galala, Latta, Roetong dan Lateri.[lxiv]
Sampai di sini, tidak ditemukan sumber lain yang dapat membantu penggambaran pendidikan di Latta. Apakah grafiknya menurun atau meningkat. Kendati demikian ada dua hal yang tersisa untuk menatap ke depan.
Pertama, Pengajaran merupakan proses mengalihkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap pengajar kepada yang diajar. Prosesnya berlangsung dalam jangka terbatas, sasaran terbatas, ranah yang digarap juga terbatas (seperti: kemampuan kognitif atau psikomotorik). Hasilnya dapat diukur setelah jangka waktu yang ditentukan terlampaui. Sedangkan pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha pendewasaan melalui upaya mengajar, melatih, mendidik. Jadi pendidikan formal di Latta diselenggarakan pihak swasta (NZG). Jika orientasi ke langit, pengaruhnya dapat dilihat dalam kehidupan Jemaat Latta di periode berikut.
Kedua, sejak diserahkannya sekolah di Latta pada tahun 1864 kepada pihak Gouvernement, maka yang dijadikan barometer untuk mengukur hasil dari orientasi pendidikan ke bumi itu kelak meninggalkan pengaruh terhadap masyarakat pada umumnya. Di sini hanya dikemukakan alumni Ambonsche Burgerschool sebagai reflector karena belum diketahui berapa alumni sekolah Latta yang melanjutkan pendidikan ke Ambonsche Burgerschool (ABS).
Sejak Hindia Belanda memasuki Abad 20, kebijakan Gouvernement yang sebelumnya menekankan keuntungan ekonomi mulai mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan ini dikenal dengan nama Politik Etika (1901); jelas bertentangan dengan Sekolah Midras atau Genootschapschool yang dianggap tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat. Sistem pendidikannya tidak mendorong perubahan sosial sehingga kemakmuran masyarakat tetap rendah. Sebenarnya, sebelum Politik Etika dicanangkan, ABS sudah memiliki cita-cita progresif seperti bahasa Belanda digunakan sebagai bahasa pengantar, murid tidak dipungut bayaran dll. Pada awal abad 20 ABS makin populer sehingga ada yang mengatakan ABS menjadi model bagi pembentukan Hollandsch Inlandsche School (HIS) pada tahun 1917. Out put dari ABS dalam lima tahun pertama pada Abad 20 berjumlah 232 orang yang tersebar dalam masyarakat. Dari urutan tertinggi, dikemukakan beberapa: Europesche. Lagere School berjumlah 48 orang, Klerk (Gouvernement bureau) 48 orang. Diploma Klein Ambtenaar Examen, 35 orang. Klerk (Particulier Kantoor, 21 orang. Soldaat, 21 orang, Burgerschrijver, 10 orang, Koninklijke Pakervaart Matschappeij, 7 orang, STOVIA (dokter), 4 orang, dst.[lxv]

CATATAN AKHIR

[i] Leirissa (et. al.,), op.cit., 63. Ulasan tentang perkembangan demografi dapat dilihat dalam: Knaap, op.cit., 99-123.
[ii] Leirissa, Ambonku., op.cit., 63-4.
[iii] Ibid., 66-8.
[iv] Boelens (ed.al.,), op.cit.,  211.
[v] Chr. G.F. De Jong, De Protestantse Kerk in de Midden-Molukken in De Negentiende Eeuw, een bronnen publicatie, tweede deel 1854-1900, (dalam proses pembuatan) disingkat: Document., Document 120. W. Luijke aan het Hoofdbestuur van het NZG te Rotterdam, Rumahtiga (Ambon), 10 Mei 1867; ARvdZ. 24/5.
[vi] Leirissa, Ambonku., op.cit., 88.
[vii] Badan Majelis Jemaat GPM Latta, Daftar Permandian dan Pernikahan Djamaat Latta 1889-1941, Transkrip, [disingkat: DPPD Latta, Transkrip], (Badan Majelis Jemaat GPM Latta, 4 Maret 2007)., 1-53.
[viii] DPPD Latta, Transkrip, 1-53.
[ix] Jobse, BBMM, 1, 391. Transkripsi dari “Extract uit de Goedgekeurde Notulen van de Ambon-Raad omtrent het verhandelde in zijn vergadering op 28 November 1923”. Lih: juga:  Afschrift. Mr. 900/1923. Vb. 16 April 1924 No: 3.
[x] Van Fraassen,, BBMM, 2, 492.
[xi] De Jong, op.cit., 138. Band: Van den End & Weijtjes, op.cit., 45; Enklaar., op.cit., 103-4.
[xii] De Jong, op.cit., 10-11. Dikutip dari B.N.J. Roskott a. Hb. NZG, Ambon, 19/2/1867, ARvdZ 34/5.
[xiii] I.J. Brugmans, Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlandsch-Indië, (Groningen-Batavia: J.B. Wolters’ Uitgevers-Maatschappij, N.V., 1938), 116.
[xiv] NZG, 1979 – 19 December 1897, Gedenkboek uitgegeven ter gelegenhid van het Honderdjarig Bestaan van het Nederlandsche Zendelinggenootschap, (Rotterdam: M. Wyt & Zonen, 1897), 38-9. Lih: H. Hiebink, Het Zendelinghuis van het Nederlandsche Zendelinggenootschap in 1855, (Rotterdam: M. Wyt & Zoenen, 1855), Bijlage.
[xv] E.F. Kuijf, Geschiedenis van het Nederlandsche Zendelinggenootschap en Zijne Zendingsposten, (Groningen: J.B. Wolters, 1894), 109. Disinggung dalam Surat Pemerintah Hindia Belanda tertanggal 24 Maret 1833.
[xvi] ANRI Amb. 250.
[xvii] ANRI Amb. 251, Ambon, 17 Juni 1835.
[xviii] ANRI Amb. 1177 dalam surat kepada HZG dan Gubernur Maluku tertanggal 22 September 1840, No. 538.
[xix] De Jong, op.cit., 293.
[xx] Extract uit het dagboek van zendeling P. Keyser van 1 januari tot ultimo juni 1835; ARvdZ 59/3.
[xxi] De Jong, op.cit., 561. Dicuplik dari ARvdZ 18/1
[xxii] De Jong, op.cit., 562.
[xxiii] Kam yang dimaksudkan bukan J. Kam, tetapi de Ambonese predikant J.K. Kam, putra J. Kam; tinggal dari 1826 t/m 1833 di Knaben Anstalt van Broedergemeente di Zeist. G.J. De Jonge, 43, 113.
[xxiv] De Jong, op.cit., 643.
[xxv] Tetapi pada tahun 1856 secara formal pelayanan terhadap Jemaat sepanjang Teluk Ambon bagian Dalam (Rumahtiga, Poka, Waiheru, Lateri, Latta, Halong dan Galala) diserahkan kepada W. Luijke. Sejak 1855 ia menetap di Rumahtiga. Lih: juga sub 16 Maret. “Kort verslag der werkzaamheden van W. Luijke aan het Hoofbestuur van het Nederlansche Zendeling Genootschap te Rotterdam. Van April 1855 tot en met Maart 1856”. 10/6/1856. AR vd Z 24/5.
[xxvi] De Jong, op.cit., 671.
[xxvii] De Jong, ibid.
[xxviii] De Hoofdcommissie van onderwijs, Algemeen verslag van de staat van het schoolwezen in Nederlands-Indië in het jaar 1854; AHCO 18/2.
[xxix] De Jong, Document 55. Dari Ds. S.A. Buddingh, Algemeen Overzigt van den Toestand der Protestantsche Kerk in Nederlands Oost-Indië, gedurende het tijdperk van 1852 tot en met 1857, Batavia, 25 Juli 1859, Nr. 10; AMvK 804. Verbaal 7 April 1859, Nr. 18.
[xxx] Catatan wawancara itu berada di Kudamati Ambon, sementara ketika tulisan ini dibuat, penulis berada di Depok, Jawa Barat.
[xxxi] DPPD Latta, Transkrip, “Daftar Baptisan Djamaat Latta”, 1889-14 April 1935.
[xxxii] De Jong. Document 29. Besluit van de gouverneur-generaal van Nederlands-Indië, C.F. Pahud, Buitenzorg (Java), 2 juni 1857, nr 39; AAS b337/s101, Bt 2 Juni 1857, Nr 39.
[xxxiii] De Jong, Document 27. Kort verslag van de werkzaamheden van zendeling W. Luijke, lopende van April 1856 tot en met Maart 1857, Rumahtiga (Ambon), 2 Mei 1857; ARvdZ 24/5.
[xxxiv] De Jong., Document 80. W. Luijke aan het Hoofdbestuur van het NZG te Rotterdam, Rumahtiga)(Ambon), 14 Maart 1862; ARvdZ 24/5.
[xxxv] De Jong., Document 77. W. Luijke aan het Hoofdbestuur van het NZG te Rotterdam, Rumahtiga)(Ambon), 6 December 1861; ARvdZ 24/5.
[xxxvi] De Jong., Document 81. Kort verslag der werkzaamheden van zendeling W. Luijke, lopende van April 1861 tot en met Maart 1862, Rumahtiga (Ambon), 18 Juni 1862; ARvdZ 24/5.
[xxxvii] De Jong., Document 80. W. Luijke aan het Hoofdbestuur van het NZG te Rotterdam, Rumahtiga) (Ambon), 14 Maart 1862; ARvdZ 24/5. Tentang Vonis terdapat dalam B.N.J. Roskott, “Putusan akan Pattisilano, Guru di Kampong Lata”, 28/4/1860, ARvdZ 34/5. sedangkan penggantiannya terdapat dalam B.N.J. Roskott a. Hb. NZG, 1/7/1860, 34/5.
[xxxviii] De Jong, Document 94, B.N.J. Roskott aan L.A.J.W. Baron Sloet van de Beede, Gouverneur-generaal van Nederlands-Indië, Ambon, 16 Maart 1864; ARvdZ 34/5.
[xxxix] De Jong., Document 40. Naam register der onder Ultimo December 1857 in dienst zijnde inlandsche schoolmeesters in de residentie Amboina en onderhoorigheden.
[xl] De Jonge, Document 99. Kort verslag der werkzaamheden van zendeling W. Luijke, lopende van April 1863 tot en met Maart 1864, Rumahtiga (Ambon), 24 Juni 1864; ARvdZ 24/5.
[xli] De Jonge, Document 114. Kort verslag van de werkzaamheden van zendeling W. Luijke, lopende van April 1865 to en met Maart 1866, Rumahtiga (Ambon), 5 Juli 1866; ARvdZ 24/5.
[xlii] De Jong, Document 121. Kort verslag van de werkzaamheden van zendeling W. Luijke, lopende van Januari tot en met Juni 1867, Rumahtiga (Ambon), 23 Agustus 1867; ARvdZ 24/5.
[xliii] De Jong. Document 120. W. Luijke aan het Hoofdbestuur van het NZG te Rotterdam, Rumahtiga (Ambon), 10 mei 1867; ARvdZ 24/5.
[xliv] De Jong, Document 121. Kort verslag van de werkzaamheden van zendeling W. Luijke, lopende van Januari tot en met Juni 1867, Rumahtiga (Ambon), 23 Agustus 1867; ARvdZ 24/5.
[xlv] Laporan Ringkas Pekerjaan W. Luijke kepada Pengurus Besar NZG di Rotterdam, April sampai dengan Desember 1866. 2/5/1867, ARvdZ 24/5.
[xlvi] W. Luijke aan het Hoofdbestuur van het NZG te Rotterdam, Rumahtiga (Ambon), 16 Juli 1866; ARvdZ 24/5. Dageraad merupakan komunitas yang terdiri atas orang-orang yang berpikiran bebas, dibentuk pada 12 Oktober 1856 di Amsterdam di lingkungan kaum konservatif liberal. Karena terkait dengan ajaran Deisme, maka pada tahun 1880 banyak dari anggota mereka berhaluan Atheis, Materialist dan Marxis. Dageraad dinamakan juga “Gebroeders dag en nacht”. Selain Ambon, gerakan ini juga hadir di Banda. De Jong. Document 76. Lih: M. Teffer a. Hb NZG, 1/8/1861, verslag nr. 7, ARvdZ 53/12.
[xlvii] De Jong, op.cit., 488. Lih: B.N.J. Roskott, “Aantekeeningen gehouden gedurende eene schoolinspectie op het gebergte van Leijtimor”, Feb. 1846; ARvdZ 34/5. Dalam B.N.J. Roskott, gedelegeerde van de Subcommissie van Onderijs te Ambon, Verslag van een inspectiereis langs de inlandse christenscholen in het jaar 1845, Ambon, [28 April 1845]; ARvdZ 34/5.
[xlviii] De Jong, op.cit., 537. Dalam: B.N.J. Roskott,Verslag van een schoolinspectie in het gebergte van Leitimor, Ambon, Februari 1846
[xlix] De Jong, op.cit., 601. Dalam: B.N.J. Roskott, gedelegeerde van de Subcommissie van onderwijs, Verslag van een schoolinspectie, gehouden in Januari, Februari en Maart 1849 op het eiland Ambon, Ambon, Maart 1849; ARvdZ 34/5.
[l] De Jong, Document 4. De Hoofdcommissie van onderwijs, Algemeen verslag van de staat van het schoolwezen in Nederlands-Indië in het jaar 1854; AHCO 18/2.
[li] ANRI, Ambon, 418.
[lii] Lih: Document 80, 81.
[liii] De Jong, Document. 92 B.N.J. Roskott, schoolopziener, Algemeen verslag over de staat der inlandse christenscholen in de Residentie Ambon over het jaar 1863, Ambon, november 1863.
[liv] De Jong, Docement 80. W. Luijke aan het Hoofdbestuur van het NZG te Rotterdam, Rumahtiga (Ambon), 14 Maart 1862; ARvdZ 24/5.
[lv] Lih: Pengatoran pada midrasy malajuw di pulaw Ambon dan sakalijen dairahy jang ada dibawahnja, [Ambon, 28 December 1855]; BHKI G-3-225; Kitab Njanjian Akan Depakejkan Dalam MIDRAS. Rotterdam: M. Wajt Dan Anak, 1865;  PARINDU Ja Itu: Beberapa Panton Dan Kidong, pada menjukakan hati segala Anak Midras dan orang muda. Rotterdam: M. Wajt Dan Anak, Panara, 1884.
[lvi] H. Wester, KITAB MIDRAS Jang Dalamnja ADA TERSIMPAN BABARAPA FATSAL JANG PENDEKH DAN BERGUNA Akan DIBATJAKAN; Terkarang dalam bahasa Wolandawij, Guna Segala Anakh Midras, awleh H. Wester; dan Terslin kapada Bahasa Malajuw awleh R. Le Bruyn, Pandita Indjil di-pulaw Timor, Tertara pula di bendar Roterdam ‘awleh M. Wajt dan ANAKH Penara 1862., 7-8.
[lvii] Laporan W. Luijke kepada Pengurus Besar Nederlandsche Zendelinggenootschap, tertanggal Rumahtiga, 10 Juli [Mei?] 1867; Lih: ARvdZ 24/5.
[lviii] ANRI Amb. 398.
[lix] ANRI Amb. 398. Lih: Leirissa, Maluku Tengah Di Masa Lampau, op.cit., 241
[lx] De Jong, Document 119. Bijlage, Consideratien en advies van de Sub-Commissie van onderwijs, Amboina, 17 Februari 1858.
[lxi] De Jong, Document 119. Kort verslag van de werkzaamheden van zendeling W. Luijke, lopende van April tot en met December 1866, Rumahtiga (Ambon), 2 Mei 1867; ARvdZ. 24/5. Pelayanan ibadah Minggu, 8 Juli 1866, karena cuaca buruk sehingga gereja di Latta kosong.
[lxii] ANRI, Ambon, 413.
[lxiii] ANRI, Ambon, 421.
[lxiv] De adjunct-inspecteur van het Inlandse Onderwijs in de Molukken, Inspectie-rapport van de gouvernements inlandse scholen in de Residentie Ambon over 1886; ARvdZ 60/5.
[lxv] P. Jobse, BBMM, 1, 299-302.

Geen opmerkingen:

Een reactie posten