zaterdag 9 juli 2011

DIBUTUHKAN PIMPINAN ROH DI TENGAH FENOMENA DAN ANCAMAN KLEPTOKRASI



YESAYA 63: 7-14
7 Aku hendak menyebut-nyebut perbuatan kasih setia TUHAN, perbuatan TUHAN yang masyhur, sesuai dengan segala yang dilakukan TUHAN kepada kita, dan kebajikan yang besar kepada kaum Israel yang dilakukan-Nya kepada mereka sesuai dengan kasih sayang-Nya dan sesuai dengan kasih setia-Nya yang besar.
8 Bukankah Ia berfirman: "Sungguh, merekalah umat-Ku, anak-anak yang tidak akan berlaku curang," maka Ia menjadi Juruselamat mereka
9 dalam segala kesesakan mereka. Bukan seorang duta atau utusan, melainkan Ia sendirilah yang menyelamatkan mereka; Dialah yang menebus mereka dalam kasih-Nya dan belas kasihan-Nya. Ia mengangkat dan menggendong mereka selama zaman dahulu kala.
10 Tetapi mereka memberontak dan mendukakan Roh Kudus-Nya; maka Ia berubah menjadi musuh mereka, dan Ia sendiri berperang melawan mereka.
11 Lalu teringatlah mereka kepada zaman dahulu kala, zaman Musa, hamba-Nya itu: Di manakah Dia yang membawa mereka naik dari laut bersama-sama dengan penggembala kambing domba-Nya? Di manakah Dia yang menaruh Roh Kudus-Nya dalam hati mereka;
12 yang dengan tangan-Nya yang agung menyertai Musa di sebelah kanan; yang membelah air di depan mereka untuk membuat nama abadi bagi-Nya;
13 yang menuntun mereka melintasi samudera raya seperti kuda melintasi padang gurun? Mereka tidak pernah tersandung,
14 seperti ternak yang turun ke dalam lembah. Roh TUHAN membawa mereka ke tempat perhentian. Demikianlah Engkau memimpin umat-Mu untuk membuat nama yang agung bagi-Mu.

Syalom Elekhem
Sabtu kemarin, 9 Juli 2011, Harian Kompas yang menyuarakan ’Hati Nurani Rakyat’ sempat menghentak kita dengan menampilkan headline berjudul: NEGARA MENGARAH KLEPTOKRASI.
Kleptokrasi  yang terdiri dari dua kata Yunani: klepto dan kratein berarti sekelompok orang yang ‘diperintahi oleh para maling. Kleptokrasi mengacu pada suatu bentuk administrasi yang menggunakan uang publik (masyarakat) untuk memperkaya diri (penguasa dan antek-anteknya). Menurut Kompas, korupsi tidak hanya terjadi di lembaga yudikatif, tetapi juga legislatif dan eksekutif. Kondisi ini diketahui pemerintah dan rakyat, namun pemerintah tidak berhasil mengatasinya. Bangsa Indonesia mengarah menjadi Negara Kleptokrasi: negara yang diperintahi oleh para pencuri.
Dari cuplikan tersebut kita peroleh gambaran kira-kira tentang kondisi masyarakat dan banyak pemimpin di hampir semua jenjang sedang mengalami degradasi akhlak yang berimplikasi pada parahnya kualitas hidup manusia beragama. Namun kita mesti pula objektif karena masih ada orang dan institusi yang terus membenahi diri, serta oleh dorongan moral dan hukum terus membasmi KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) dari Bumi Pertiwi.
Dalam kondisi politik yang kacau dan berantakan, masihkah ada Tuhan yang diharapkan dapat berperan di balik gerakan moral spiritual untuk menangkal fenomena dan ancaman kleptokrasi demi menghadirkan masyarakat yang adil berkemakmuran dan makmur berkeadilan? Masihkah ada Tuhan yang menawarkan cara yang lebih arif dan beradab ketimbang teriakan histeris dan demo yang kadang diperalat atau cenderung anarkhis demi tujuan tertentu? Masih adakah Tuhan yang selalu hadir dan menopang kala kita sendirian sehingga tak sunyi dan merasa tidak ditinggalkan (alone but not lonely)?
Yesaya 63: 7-14 dipandang relevan untuk kita menimba kekuatan dan penghiburan, inspirasi dan motivasi, dan dengan pencerahan cara pandang kita dituntun untuk dapat mengendalikan diri dan ambisi pikir dalam rangka mencari solusi atau alternatif.

ALLA YANG TERASA JAUH, SESUNGGUHNYA DEKAT
Pekikan dan aksi demo yang menuntut perubahan segera pada satu sisi, doa syafaat semua umat beragama yang mengharapkan hadirnya masyarakat yang adil sejahtera di sisi lain, mirip dengan seruan umat Israel (Yehuda) sekembali dari pembuangan di Babel. Mereka mengalami shock karena keadaan di pemukiman baru jauh dari harapan. Di banyak tempat timbul gejolak dan berbagai bentuk kejahatan, pertentangan, pesimisme membangun kembali Yerusalem dari kehancuran, dan lain-lain.
Keadaan yang tidak menjanjikan itu oleh sang Nabi (Trito Yesaya) dipandang sebagai tindakan Allah yang menunda memenuhi janji-Nya (band. Yes. 59-62). Umat yang sulit melepaskan diri dari lilitan beban hidup justru tak sabar sehingga tak sanggup menangkap makna dari rasa aman, damai dan sejahtera yang tertunda. Akibatnya terjadi banyak spekulasi, curiga, persoalan, dan dengan nada mineur mereka berseru: Di manakah Allah? (ay. 11 dst.; band. ay. 17 dst.). Di manakah Allah yang dulu sangat peduli dan selalu membantu kala dimintai pertolongan, justru kini seakan bisu; tidak tampak dan terasa terlalu jauh?
Sesungguhnya Allah yang terasa terlalu jauh itu, begitu dekat dengan kita dan seluruh ciptaan-Nya. Ia ada hadir, tetapi pada saat yang sama terasa jauh. Ia tiada, tetapi sekaligus dapat dirasakan. Masalah umat Israel, juga masalah kita dikarenakan sikap tertutup sehingga sulit membuka diri untuk merasakan kehadiran Allah dan Roh-Nya. Kita merasa seakan telah kehilangan Allah sehingga sikap dan perilaku cenderung bertentangan dengan kehendak-Nya lantas mendatangkan tragedi kepada sesama serta bencana terhadap semesta. Oleh karena itu kita perlu meneropong sejenak kebiasaan berdoa, seperti berdoa kala hendak makan, hendak melakukan perjalanan melintasi udara, menyeberang lautan, mendaki gunung menuruni lembah, mengikuti ujian, ditinggalkan orang-orang yang dikasihi, dan seribu satu persoalan yang disampaikan lewat “bicara kepada Tuhan”. Semua “doa aktif” yang dipanjatkan dan akan selalu kita lakukan, sungguh tak ada yang salah.
Dari perspektif Yesaya 63, kita bisa bercermin juga dari Soren Aabey Kierkegaard kelahiran Kopenhagen (1813) tentang bagaimana caranya menghadirkan dan merasakan bahwa Tuhan itu sungguh dekat. Kierkegaard, lulusan ilmu teologi tahun 1840 itu tak sanggup mengusir rongrongan rasa gunda di hati sepanjang hidupnya, namun ternyata melalui tulisan-tulisan yang lahir dari pengalaman hidupnya yang tragis dan menyendiri telah meninggalkan pesona yang luar biasa kuat buat teolog Karl Barth dan gerakan Ortodoksi Baru. Ia berkata: Allah adalah Yang Tidak Dikenal. Karena dosa, maka jurang antara kebejatan manusia dan kekudusan Allah tetap menganga, malah terus melebar. Jika tidak ada kesadaran dan penyesalan, maka bentuk-bentuk kekristenan yang kelihatannya hidup, tetapi sebenarnya dangkal dan tak berakar. Oleh sebab itu ia menawarkan solusi yang dituangkan dalam kalimat puitis:
“Ketika seseorang berdoa, pertama kali yang ada di dalam pikirannya bahwa BERDOA adalah BERBICARA. Namun manakala ia HENING dan SEMAKIN HENING, akhirnya ia menyadari bahwa BERDOA adalah MENDENGARKAN”.
“Doa kontemplatif” a la Kierkegaard ini kiranya dapat dipraktikkan dalam rangka mengalami dan merasakan kehadiran Tuhan setiap kali kita membutuhkan-Nya pada saat tenang, pada saat tergoncang, kacau dan panik, pada saat sedih, pada saat apa pun dan di mana pun sehingga perlu dijemaatkan.

SEJARAH SEBAGAI KISAH; CARA MENYIKAPI TANTANGAN
Kala dilanda susah, umat Israel tak henti-hentinya melempar tanya: Di manakah Allah? Namun nabi tampil di pentas sejarah sembari mengajak mereka untuk belajar dari sejarah. Belajar dengan cara menuturkan atau berkisah tentang Allah yang pernah mereka hindari dan jauhi, belajar tentang Allah yang pernah tidak mereka pedulikan namun sungguh dikasihi-Nya (ay. 6-9). Bertutur tentang Allah yang terasa jauh sekaligus dekat itu telah membuktikan diri-Nya sebagai Allah yang selalu memimpin dan menuntun melewati tapak sejarah penuh duri dan kelam hingga tiba di tempat damai.
Entah umat Israel entah kita di abad ini, semuanya diajak agar tidak semata mengenal Tuhan melalui kekuasaan-Nya, tetapi juga melalui pengampunan berdasarkan kasih dan belas kasihan-Nya. Yesaya berkata: ’Aku hendak menyebut-nyebut perbuatan kasih setia Tuhan’ (ay. 7).
Menyebut  [mention (NAS): zakar =אַזְכִּיר :remember   (WTT)] dimaksudkan mengingat kembali, memasukkan kembali semua pengalaman yang manis dan yang pahit, yang sukses dan yang gagal ke dalam ingatan supaya muncul kesadaran tentang tindakan Tuhan yang telah nyata dalam sejarah.
Mengingat-ingat kembali tindakan Tuhan di masa silam merupakan cara untuk menyadarkan kita tentang kehadiran Tuhan; cara untuk menumbuhkan keyakinan kita tentang kasih setia Tuhan; cara untuk menumbuhkan harapan sehingga kita lebih bersemangat, bangkit dari keterpurukan, betapa pun bobroknya situasi dan kondisi sekarang. Di situlah kita belajar tentang figur pemimpin dan kepemimpinan Tuhan untuk diterapkan di tempat kita mengais hidup atau di mana pun kita dipercayakan untuk suatu tugas.
Kita diajak untuk bertutur, tetapi juga diajak bernostalgia bersama Yesaya (ay. 11-14) untuk membuktikan kehadiran dan kemahakuasaan Tuhan dengan cara mengingat kembali kisah Musa yang memimpin Israel ke luar dari Mesir.
Musa tidak hanya memimpin Israel ke luar dari Mesir setelah sekian lama hidup dalam perbudakan, tetapi juga membawa perubahan status, dan menggiring mereka kembali kepada Tuhan. Melalui banyak mujizat dan peristiwa adhikodrati, keyakinan Israel kepada Tuhan tumbuh kembali. Kisah menyeberang Laut (Kel. 14 : 15-31) menghindari ancaman kematian atau agar tidak diperbudak lagi, menunjukkan betapa Tuhan tidak mengingkari janji untuk melepaskan dan membebaskan Israel. Kisah melintasi gurun yang situasi dan kondisinya tidak bersahabat dan mengancam keselamatan, menunjukkan betapa Tuhan tampil sebagai Penolong dan Penyelamat. Kisah Tuhan membagi Roh Kudus kepada 70 tua-tua (Bil. 11: 17, 25), menunjukkan bahwa Tuhan tidak hanya mengutus nabi, tetapi juga tua-tua untuk memimpin dan memulihkan keadaan.
Tidak ada yang mampu menghalangi Tuhan untuk menggenapi janji-janji-Nya. Jika figur seorang pemimpin yang handal dapat dilihat dari pekerjaannya, maka figur Allah sebagai Pemimpin dapat dilihat dan dikenal dari perbuatan atau tindakan-Nya yang masyhur, kebajikan-Nya yang besar (ay. 7 dst.) berdasarkan janji-Nya. Tuhan-lah Juruselamat dalam segala hal, bukan duta atau sekadar menjadi utusan, diplomat atau pihak ketiga, tetapi Tuhan yang bertindak sesuai janji yang dibuat-Nya.

BUKAN NATO, TETAPI ROH
Mungkin kita pernah mendengar istilah NATO; tetapi yang saya maksudkan bukan North Atlantic Treaty Organisation – Organisasi Perjanjian Atlantik Utara yang bersangkut-paut dengan tugas aparat keamanan; yang dalam konteks kita bersangkut paut dengan batas wilayah agar tidak terjadi pelanggaran dan konflik di laut Cina Selatan, di laut Arafura, di kawasan Maluku Tenggara, di Perbatasan Timtim, termasuk di perbatasan Mardika – Batumerah, Batu Gantung - Perigi Lima, atau agar tidak ada bom molotov, rudal patriot yang jatuh di Kalimantan, di tanah Jawa, di Sulawesi Selatan, di Sumatera, di Papua, atau di Ambon.
NATO yang dimaksudkan adalah singkatan dari NO ACTION TALK ONLY. Nato dalam pengertian ini biasanya dikenakan pada orang-orang yang suka bicara, yang suka menghumbar janji, tetapi tidak melakukan sesuatu sesuai janji atau kesepakatan.
Seorang ibu pasti kecewa, kala anak-anak yang dikasihinya menyimpang dari perjanjian untuk rajin dan berlaku jujur dalam segala hal. Seorang guru pasti kecewa, kala murid-murid yang diasuhnya mengingkari kesepakatan untuk tidak menghabiskan waktu belajar di depan play station atau televisi. Seorang anggota polisi akan menggerutu karena masyarakat yang diayominya tidak menunjukkan kehendak baik menjaga keamanan dan ketenteraman lingkungan. Rohaniwan akan sangat terpukul, kala umat yang dipimpinnya tersesat dalam tindak kekerasan dan penghancuran berbagai fasilitas umum dan menyerang manusia dan kemanusiaan atas nama Tuhan. Pemimpin bisa frustrasi, kala ada saja rekan sekerja yang tidak menunjukkan itikad baik untuk membudayakan etos, disiplin dan santun demi efisiensi dan produktifitas kerja.
Dapat dibayangkan, betapa kecewanya kita, kala seseorang tidak mampu mewujudkan sikap dan tindakan penuh semangat dan meyakinkan berdasarkan janji yang diucapkan. Apabila sikap “nato” ini terus dibiarkan, maka akan muncul kekecewaan, yang lambat-laun melahirkan rasa tidak percaya. Bukankah ketidakpercayaan sering menjadi faktor penyebab rusaknya suatu hubungan? Sebaliknya, jika tindakan nyata diwujudkan sesuai janji atau kesepakatan, maka akan menghasilkan kebahagiaan, yang pada gilirannya tidak semata menimbulkan rasa senang, tetapi juga rasa percaya. Kepercayaan menjadi faktor pemererat suatu hubungan.
Dalam rangka menjaga keharmonisan dan kelanggengan, kita membutuhkan kekuatan yang berasal dari luar diri, yakni Roh Kudus atau Roh Tuhan.
Roh Tuhan, seperti dikatakan ayat 14 itu: memimpin atau membawa Israel ke tempat perhentian  (ay. 14). Tempat perhentian (nawah: rest (NAS)//(תְּנִיחֶ֑נּוּ  (WTT) itu mengandung makna bahwa Israel dibebaskan dari ancaman musuh, termasuk dibebaskan dari kelaparan, kemiskinan, penindasan, perang dll.; suatu kondisi yang sangat kontras dengan saat ketika masih di Mesir, atau di gurun. Jadi Roh Tuhan itu-lah Roh atau Allah yang memimpin Israel mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan lebih bermutu. Di situlah makna kepemimpinan Tuhan. Tuhan memimpin dengan tujuan jelas dan secara khusus mewujudkan kepentingan dan kesejahteraan umat yang dipimpin-Nya.Respons umat terhadap kesejahteraan yang dialami, antara lain menjadi orang-orang yang memuliakan Allah. Jadi hidup umat yang dipimpin Roh Allah seharusnya menjadi hidup yang memuliakan Tuhan.
Yesaya 63: 7-14 memperlihatkan teladan kepemimpinan yang seharusnya diaktakan oleh orang percaya di mana saja ia dipanggil untuk memimpin dan menjadi pemimpin. Maka hendaknya kita menjadi pemimpin yang memimpin dengan tujuan membawa umat kepada kesejahteraan, perdamaian dan kelegaan. Umat harus merasakan kepedulian dari pemimpinnya, dan bersama-sama meningkatkan mutu hidup, menggapai sejahtera, menciptakan rasa damai dan kebebasan serta menjamin hak-hak hidup dasariah umat manusia. Untuk itulah kita mesti waspada, agar tidak dikejutkan dengan mengenal perasaan Tuhan kala Ia berbalik menjadi musuh. Roh Kudus mesti diminta untuk memimpin gereja dan masyarakat di semua jenjang agar kepemimpinan yang diselenggarakan menjadi kepemimpinan yang membawa kebaikan kepada masyarakat demi kemuliaan Tuhan.

Disampaikan dalam Ibadah Minggu di Gereja Efrata Tantui, Jemaat GPM Pandan Kasturi, Klasis Pulau Ambon, pada hari Minggu 10 Juli 2011, pukul 09.00.

Geen opmerkingen:

Een reactie posten