woensdag 6 juli 2011

JEMAAT LATTA DALAM LINTASAN SEJARAH (1)


Periode Awal sampai dengan 6 September 1935

DUA SISI DARI SATU GOBANG
Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda pernah hadir di Nusantara. Pada umumnya ekspansi mereka berakar pada pandangan hidup dan pandangan dunia Abad 16, 17 yang dipengaruhi oleh agama dan lembaga-lembaganya. Tetapi Belanda lebih terdorong oleh faktor ekonomi karena konstelasi geografis memaksa penduduknya mencari makan di laut. Kedudukan di antara dua sentra perdagangan Eropa (Laut Baltik dan Laut Tengah) juga memaksa Belanda memusatkan lalu-lintas perdagangan Eropa ke kota-kota pelabuhannya. Dengan semangat dagang yang kuat, dikembangkan sifat toleransi di tiap pusat perniagaan; mirip dengan  trick yang dilakukan para saudagar pada umumnya.
Ketika dagang dikaitkan dengan agama, muncul multitafsir. Christoph Langhansz berkata sinis, yang dipikirkan mereka cuma dagang, untung. Penyebaran agama akan membuat orang pribumi jadi pandai, tapi tidak menjadi orang Kristen yang baik, malah melahirkan perlawanan. Kalau pedagang Cina dibolehkan memeluk agamanya secara bebas karena pemasok pajak besar tiap bulan. Menurut Jonathan Swift, mereka bersedia menghina setiap simbol agama Kristen, asal bisa berdagang dengan Jepang.[i] Dengan kata lain, Mau Kaya? Setan Di Depan. Setelah Kaya, Tuhan Di Depan.
Makna simbol itu tampak pada saga. Saga adalah lambang hukuman Tuhan terhadap para pedagang Belanda yang tidak menghiraukan nilai agama dalam pemikiran dan tindakan. Saga adalah simbol kerjasama para saudagar dengan Setan. Tetapi Saga juga lambang dari ketidaktenteraman jiwa. Itulah saga “De Vliegende Hollander”, saga-nya orang-orang Holland yang ekspansif-progresif, yang sadar bahwa mendulang harta dan meraup keuntungan berlebih-lebihan, tidak dibenarkan. Kesadaran dan orientasi hidup tersebut tampak pada inti dari salah satu rumusan doa yang diucap pada pembukaan setiap rapat Dewan Hindia: “mohon dosa diampuni, supaya dengan tuntunan Roh Kudus, keputusan yang diambil tidak kontraproduktif demi kemakmuran Belanda, kepentingan dan keuntungan pegawai VOC”.[ii]
Berbeda dengan Langhansz, Johan Sigmund Wurffbain memaparkan fakta lain. Di Banda, orang Belanda memperlihatkan semangat mengkristenkan penduduk. Mereka mendirikan sekolah-sekolah bagi anak-anak pribumi sehingga banyak yang menerima Die Reformierte Religion, dapat membaca dan menulis dalam bahasa Belanda yang baik.[iii]
Dalam instruksi Staten Generaal (Pemerintah Pusat), Staten van Holland (Pemerintah Propinsi) sebelum Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dibentuk, termasuk octrooi (Surat Kuasa) pertama (1602), tidak satu ayat pun menyebut amanat penyebaran agama, kecuali octrooi kedua yang diterbitkan Staten Generaal pada tahun 1622.[iv] Dengan octrooi ini, konsentrasi tidak hanya dagang dan pemerintahan, tetapi juga agama.
Menyangkut dagang, VOC memang profesional, namun awam di bidang keagamaan sehingga untuk mengurus gereja, ditempuh jalan pintas; menjiplak dan memodifikasi pola gereja Gereformeerd di Belanda yang calvinistis. Mulai dari tata ibadah, jam ibadah, peribadahan, organisasi dengan Tata Gereja Presbiterial Sinodal yang ditetapkan Sinode Dordrecht (1618-1619), sampai pembinaan umat dengan menggunakan Pengakuan Iman Belanda, Pasal-pasal Iman Dordrecht dan Katekismus Heidelberg. Urusan keuangan, sepenuhnya ditangani VOC.[v] Imbas kekristenan ini sangat terasa di pusat VOC seperti Batavia dan Ambon; namun renggang.
Sebastiaen Danckaerts yang tiba di Ambon pada 2 Januari 1618 membangun sekolah, yang sudah ada pada sebuah gudang tenun yang direnovasi, dan mulai mendidik guru-guru sekolah. Kemudian mereka dididik di rumahnya dengan menggunakan buku terjemahan Heidelbergse Catechismus (1623), buku ajar Marnix "Aldegonda" (van Marnix van Aldegonda) serta Kamus Melayu-Nederlands.[vi] Di kemudian hari, dibangun sistem pendidikan sederhana untuk penduduk pribumi berupa Sekolah Desa di negeri-negeri Kristen. Sekolah itu dipercayakan kepada para guru, tetapi diawasi dan dibiayai oleh VOC. Untuk merekrut tenaga pengajar, dibangun seminarie bagi putra-putra golongan penguasa desa agar belajar membaca, menulis, berhitung, dan menyanyi.[vii]
Jadi kekristenan dan pendidikan dikembangkan bersamaan; terjelma dalam dwifungsi guru. Di sekolah ia berperan sebagai pendidik dan pengajar. Di masyarakat dan jemaat ia berfungsi sebagai Guru Injil. Guru menjadi figur publik dan bapa rohani dari masyarakat dan gereja; ibarat dua sisi dari satu gobang. Gobang – mata uang tempo dulu tidak lagi dimaksudkan dagang, duit, pajak atau profit, tetapi paduan kekristenan pendidikan.
Ketika VOC bangkrut dan dibubarkan pada 31 Desember 1799 (Abad 18) gara-gara perdagangan gelap, pungutan liar dan korupsi yang dilakukan pegawai VOC, babak berikut dimulai pada 1 Januari 1800 (Abad 19). Semua peninggalan VOC diambil-alih dan diurus oleh Pemerintah Hindia Belanda hingga pendudukan Jepang (1942). Dengan catatan, Inggris pernah memegang pemerintahan atas Ambon. Gubernur Alexander Cornabe menyerahkan Ambon kepada pimpinan ekspedisi militer Inggris Admiraal P. Rainer (17 Februari 1796 – 1 Maret 1803) dan pemerintahan Inggris berikutnya dari 19 Februari 1810 hingga 25 Maret 1817.[viii]

SOSOK DAN SOMBAR
Sosok pertama: Pemerintah Inggris; tak acuh, tapi juga acuh. Sosok kedua: Gouvernement, Pemerintah Hindia Belanda, penguasa. Sosok ketiga: Indische Kerk, Gereja Negara yang mapan, bercorak calvinistis. Sosok keempat: Zending, lembaga Pekabaran Injil; independen dengan warna pietis. Yang dilihat bukan strategi dan aksi, karena serialnya hampir sepanjang satu setengah abad. Tapi penggalan interaksi yang sombarnya terpantul di Latta.

PEMERINTAHAN INGGRIS
Ketika Rainer mengambil alih kekuasaan, di Ambon hanya ada dua gedung gereja. Groote Kerk atau Gereja Besar, didirikan oleh Gubernur B. Van Pleuren (1781) untuk jemaat Melayu, yang terletak dekat perkampungan Tionghoa. Hollandse Kerk atau Koepelkerk, selesai dibangun tahun 1712 untuk Jemaat Belanda namun pernah digunakan Inggris sebagai gudang (Pakhuis).[ix] Kekristenan di Ambon makin memprihatinkan karena sejak 1794 di Kota Ambon tidak pernah ditempatkan Pendeta tetap sehingga pelayanan Sakramen, Peneguhan sidi, Pemberkatan Nikah, macet.
Adalah Residen William Byam Martin yang berusaha memperbaiki kehidupan keagamaan dan kesusilaan umat Kristen. Ia juga berusaha mengangkat harkat dan martabat anak-anak pribumi Ambon dari kebodohan dan ketidaktahuan. Untuk maksud tersebut, ia berencana membangun sebuah Sekolah Pusat di Ambon. Karena tenaga pendidik tidak tersedia, maka pada tahun 1813 diajukan permohonan kepada Gubernur Inggris di Calcuta agar mencari ahli pendidikan yang berminat pada pekabaran Injil. Hal ini disampaikan juga kepada William Carey, misionaris terkenal dari Baptist Missionary Society (BMS). William Carey mengajak putra kandungnya Jabes Carey, jurutulis pada sebuah kantor Pengacara. Segera Jabes Carey dinikahkan, ditahbiskannya (Januari 1814), lantas diutus dan bekerja di Ambon sebagai Guru dan misionaris. Ia diserahi juga tanggungjawab sebagai Kepala Jawatan Pengurusan Orang-orang Miskin dan anggota Dewan Peradilan,[x] dan setelah dikukuhkan sebagai Kepala Pendidikan (superintendent der scholen) pada bulan Agustus 1814, ia menguji murid-murid sekolah di Nusanive, Hative, Mardika dan Soa Ema. Pada 26 April 1815 disampaikan lagi laporan kunjungan yang lengkap dan rinci kepada G. Babington, secretaris van resident van Ambon, tentang sekolah di Pulau Ambon (Soya di Atas, Hatalay, Naku, Kilang, Hukurilla, Ema dan Rutong) disertai mutasi guru, aturan sekolah, kurikulum, hingga ujian sekolah.[xi]
Akhir penelusuran episode ini, Latta belum muncul. Namun ada sombar dari pemerintahan Inggris. Carey telah membangun sistem pendidikan yang baik ketimbang masa sebelumnya. Cita-cita Residen Byam Martin yang saleh dan concern terhadap pendidikan mulai tampak wujudnya. Gagasan cemerlang itu pun sejalan dengan Joseph Kam yang baru tiba di Ambon (3 Maret 1815). Menurut Kam, sekolah berperan penting untuk membangun kehidupan masyarakat, jemaat dan penginjilan di Maluku.

PEMERINTAH HINDIA BELANDA (gouvernement)
Ketika Inggris menyerahkan kembali kekuasaan kepada Pemerintah Hindia Belanda di Ambon, yang menjadi Sekretaris Komisaris Pengambilalihan Kepulauan Maluku (Secretaris van de commissariss en tot de overname der Molukse Eilanden te Ambon) adalah Carel Matthias Baumhauer. Pada butir pertama dari laporannya kepada Laksamana Muda dan Komisaris Jenderal untuk Hindia Belanda Arnold Adriaan Buyskes (Schout-bij-Nacht en Commissaris-Generaal over Nederlands-Indië) dikatakan: “Dat de Super Intendent der Schoolen van den Superintendent der Negorijen, alle assistentie zoude verkrijgen, in ’t uitvoer zijner pligten”.[xii] Artinya, “bahwa pengawas utama (pimpinan) sekolah-sekolah, sudah semestinya memperoleh penghargaan atau bantuan dari pimpinan Negeri, selama menjalankan kewajiban mereka”. Negeri-negeri, kampung-kampung yang terletak dekat fort Nieuw Victoria Ambon seperti Nusanive, Hative, Mardika, Soa Ema, Galala, Rumah Tiga, Poka, Waiheru dan Latta langsung diserahkan kepada Pemerintah (het bestuur van het gouvernement). Selain diangkat dan difungsikan kembali, kualitas mereka pun ditingkatkan oleh Buyskes pada bulan November 1817.[xiii]
Sama seperti VOC sebagai “duta” Belanda di Nusantara, Hindia Belanda merupakan bagian tak terpisah dari Kerajaan Belanda. Susunan pemerintahan mengikuti susunan dan hirarki di Belanda yang diperintahi oleh Raja (Ratu). Hal ini diulas oleh Van der Wal, termasuk pemerintahan di Hindia Belanda.[xiv] Dengan demikian Amboina yang pada masa VOC dibagi atas Supra-regio, Regio dan Desa atau Negeri (sebagian dari petuanan Halong kelak menjadi Latta, berada di Regio Leitimor; terdiri atas 20 negeri),[xv] pada Abad 19 berubah menjadi Onderafdeeling, District, Onderdistrict. Residensi Ambon dibagi atas onderafdeelingen Amboina dan Saparoea berdasarkan Staatsblad (Lembaran Negara) 1824 No: 19a (Abad 19). Pada Abad 20, onderafdeeling Amboina dibagi lagi atas satu district, dua onderdistricten (Staatsblad 1914 No: 629). District Amboina berpusat di Ambon. Onderdistrict Hila berkedudukan di Hila. Onderdistrict Passo berkedudukan di Passo, terdiri atas Hoenoet, Waiheroe, Nania, Negrilama, Galala, Hatiwe-ketjil, Halong, Lata, Lateri, Passo, Soeli, Tial-Serani, Waai. Populasi Latta pada waktu itu berjumlah 167 orang.[xvi]
Sebagai kelompok sosial, Latta sudah bereksistensi, namun dalam laporan Residen Van Sandick kepada Directeur Binnenlands Bestuur (Schippers), tertanggal 28 Februari 1924 dikatakan kampung Latta (dan Lateri) yang terletak di Petuanan Halong, dalam jangka dekat tidak lagi dibedakan dari masyarakat pribumi yang lain.[xvii] Realisasinya tertuang dalam laporan Asisten Residen Schmidt 23 September 1924 yang menyatakan bahwa Latta sudah mandiri sebagai kampung.[xviii] Tiga tahun berikutnya Pemerintah menegaskannya lagi lewat Res. Besl. 21/7-1927 No: 234 tentang Keputusan Pendirian Masyarakat Pribumi (Inlander) Ambon (Instellingsbesluiten van Inl. gemeenten Amboina) menurut ordonansi masyarakat pribumi.[xix]
Pada masa ini, di onderafdeeling Amboina dibuat pemisahan antara Negeri dan Kampung. Negeri merupakan komunitas yang memiliki rechtsgemeenschap (hak-hak) atas tanah yang didiami. Kampung hanya gabungan beberapa rumah di petuanan Negeri sehingga penghuninya tidak memiliki hak seperti penduduk negeri.[xx] Negeri diperintahi oleh raja (atau pati, orang kaya) atau Pengurus Negeri (het bestuur van regenten), Soa dan Dati. Kampung diperintahi oleh Wijkhoofd (Kepala Lingkungan)[xxi] yang oleh Jobse disebut Wijkmeester-Sergeant;[xxii] Wijkmeester-regent atau regent-Wijkmeester menurut bahasa Fraassen.[xxiii] Selain sergeant dan regent, gelar lainnya adalah korporaal.
Penelusuran episode ini menunjukkan bahwa kehadiran Latta di pentas sejarah sebagai Kampung terjadi pada tahun 1817 (Abad 19). Jika menghitung-hitung perjalanan Kam,[xxiv] dugaan lebih diarahkan pada bulan Januari - Juli 1817, namun tidak tertutup kemungkinan antara April, Juli - Agustus 1816; atau antara Maret - September 1815. Pada Abad 20 Gouvernement dengan otoritasnya memetakan Latta pada onderdisctrict Passo dan dinyatakan sebagai Kampung yang mandiri. Karena berada di petuanan Halong, titian otoritas pemerintah bertumpu pada wijkmeester dengan gelar Sersan atau korporaal; setingkat di bawah regent-wijkmeester. Ialah Kepala Lingkungan dari suatu komunitas kecil yang mendiami beberapa griya teduh sederhana. Pada masa Joseph Kam, penduduk Latta, Lateri, Halong dan Galala masih tersebar di gunung sambil membuka kebun untuk menunjang kehidupan.[xxv] Untuk urusan pemerintahan, wijkhoofd berhubungan dengan Onderdistrict Passo di Passo.

GEREJA PROTESTAN (Indische Kerk)
Sejak Pemerintah Hindia Belanda mengambil alih urusan VOC, Gereja diposisikan di bawah pemerintah, terutama dengan diterbitkan Undang-Undang Belanda Tahun 1815, Raja berdaulat atas daerah-daerah jajahan dan membantu gereja sebagai salah satu kewajiban utama. Maka Raja Willem I bermaksud menggabungkan semua Gereja menjadi satu badan (terwujud tahun 1835). Ditegaskan bahwa di wilayah Hindia Belanda, NZG tidak boleh melakukan apapun tanpa sepengetahuan pemerintah.[xxvi] Sementara pada tahun 1817 di ‘s-Gravenhage (Den Haag) dibentuk Commissie tot de zaken der Protestantsche Kerken in Ned. Oost- en West-Indië (Komisi untuk Urusan Gereja-gereja Protestan di Hindia Belanda Timur dan Barat), biasa disebut Indische Commissie atau Haagsche Commissie dengan tugas a.l.: memilih dan mengusulkan pendeta atau zendeling yang akan diangkat dan diutus Raja ke Hindia Belanda.[xxvii] Misalnya dalam salah satu surat tertanggal ’s-Gravenhage, 10 Februari 1854, Nr. 15 yang ditujukan kepada Raja disebutkan bahwa Pengurus NZG tidak akan mengutus zendeling tanpa pertimbangan Komisi setelah Komisi mencari, menguji dan menetapkannya. Juga dicantumkan untuk masa 10 tahun NZG mengurus pendidikan dan tamatannya kelak diutus ke Ambon.[xxviii] Justru itu Struktur Gereja disesuaikan dengan Struktur Pemerintah; Negara mengurus semua hal. Tugas yang dulu dilakukan Majelis Gereja Batavia, kini dikerjakan oleh Kerkbestuur.[xxix]
Ketika Joseph Kam - utusan zending pertama tiba di Ambon - selain genootschap-nya langsung direduksi menjadi Pendeta Indische Kerk, Baumhauer mengeluarkan Instructie voor den Commissaries Politiek en Kerkmeester dari Kasteel Victoria, 21 Juli 1817. Garis besar Instruksi yang berisi 18 Artikel itu mengatur posisi Jemaat, rapat-rapat gerejawi, keuangan, kolekta sampai tempat pemakaman. Pemerintah menginstruksikan pula bahwa Gereja hanya bertugas memberitakan Firman, melayankan Sakramen, menjalankan disiplin Gereja dan, dilarang mencampuri urusan Polisi, Justisi atau hal-hal lain.[xxx]
Setelah itu, terbit lagi Koninklijk Besluit Tahun 1840 (diberlakukan tahun 1844), Indische Kerk dipimpin oleh Kerkbestuur (Pengurus Gereja) yang diangkat oleh Gubernur Jenderal; diketuai oleh seorang aparatur negara, berkedudukan di Batavia. Anggota-anggota bestuur lain adalah Pendeta-pendeta Protestan di Batavia dan tiga anggota jemaat terkemuka. Jemaat dipimpin oleh Majelis yang tidak dipilih oleh jemaat. Para pendeta diangkat dan dipekerjakan oleh Gubernur Jenderal melalui usul Badan tsb.[xxxi] Jadi sebelum tahun 1850, Majelis Gereja hanya terdapat di Kota, seperti di seluruh Pulau Ambon, semua jemaat berada di bawah Majelis Ambon Kota. Badan Majelis ini tetap dalam pengawasan Pengurus Indische Kerk di Batavia. Badan ini exist hingga parohan pertama Abad 20; dengan fungsi: mengatur, mengawas semua jemaat Kristen Pribumi di Maluku. Karena NZG sudah berkarya di Ambon, maka dikeluarkan Peraturan Sementara: “Hubungan Majelis Gereja di Ambon”:
Para zendeling memiliki kebebasan penuh untuk mengatur waktu dan cara kerja gerejawinya dan Majelis Gereja harus menjaga agar jemaat yang dipimpin para zendeling tidak terlalu lama tidak mendengar khotbah dan mendapat pelayanan Sakramen, sehingga semua kegiatan gerejawi berlangsung dengan semestinya (Pasal 5).
Setahun sekali pada bulan September atau Oktober, yang harinya akan ditentukan oleh Majelis di Amboina; para zendeling di jemaat yang jauh akan diundang untuk menghadiri rapat gereja di Amboina untuk bersama-sama dalam persaudaraan membicarakan, membahas kepentingan gereja dan mengajukan usul-usul (Pasal 10).[xxxii]
Pada masa ini, jemaat dilayani oleh Predikant (Pendeta) - alumni Sekolah Teologi di Belanda, Hulpprediker (Pendeta Pembantu), Inlands Leeraar (Pendeta Pribumi) yang pada umumnya adalah tamatan School tot Opleiding voor Inlands Leeraar (STOVIL) dan Guru Jemaat yang biasanya dididik oleh Pendeta Pembantu. Mereka ini sering merangkap Guru Sekolah. Ada pula Utusan Injil dan Tuagama sebagai tenaga tidak terdidik namun dipercayakan memelihara jemaat jika Guru Jemaat atau Majelis berhalangan. Sebelum tahun 1880, Tuagama diangkat oleh Kepada Desa, kemudian oleh Pendeta, a.l. dengan tugas mengumpulkan kolekta, membersihkan gedung gereja, menjalankan ibadah jika Guru Jemaat berhalangan.[xxxiii]
Pada Abad 20, terbit lagi Koninklijk Besluit van 13 October 1910, No. 21 menyangkut Reorganisasi Indische Kerk atau Protestantsche Kerk. Reorganisasi ini dikerjakan oleh Staatscommissie yang dibentuk Pemerintah atau Gouvernement,[xxxiv] kemudian menyampaikan hasil kerjanya mencakup Struktur Organisasi dan Tata Gereja. Indische Kerk dibagi atas 7 (tujuh) klasis yang dalamnya terdapat 3 (tiga) klasis Bumiputera: Minahasa, Ambon, Timor. Secara organisasi dikenal Ressort, Classikaal, Synode (struktur kemudian± Jemaat, Resort, Klasis, Sinode’. Pemimpin jemaat dibedakan atas kategori godsdienstonderwijzer (Guru Agama), leeraar (Guru), prediker (Pengkhotbah atau Pendeta).[xxxv]
Pada episode Indische Kerk, Gereja di Ambon merupakan Klasis yang berkedudukan di Ambon, dipimpin oleh Majelis Jemaat (Gereja) Ambon. Secara struktural, berada di bawah pengawasan Pengurus Indische Kerk di Batavia. Di Ambon, Majelis Gereja sulit menghindari intervensi Pemerintah. Kaki kanannya di Batavia karena di Tanah Jawa ada Kerkbestuur, kaki kiri di Kota Ambon; berpijak di Kantor Gubernement.
Dengan demikian, Latta belum memiliki Majelis Jemaat, namun wijkhoofd dan/atau Tuagama sangat diandalkan oleh Joseph Kam sebagai penjaga atas kehidupan masyarakat dan jemaat Latta. Sombar dari Indische Kerk yang terpantul di Latta adalah sosok Tuagama, Guru, Hulpprediker, Inlandsche Leeraar. Sebagian guru midras Melayu yang hidup dari gouvernement (Guru Besar, Guru Kelas 1, Guru Kelas 2, Guru Kelas 3, Guru Kelas 4, dan Guru Keliling)[xxxvi] juga mengabdikan tenaga dan hidup untuk masyarakat dan Jemaat Latta di bidang pendidikan dan keagamaan. Urusan agama dan sekolah, guru berkiblat ke Kota Ambon.

BADAN PEKABARAN INJIL
Nederlandsche Zendelinggenootschap (NZG)
NZG adalah badan pekabaran Injil non-denominasional yang diarsiteki oleh J.Th. van der Kemp. Ia dibesarkan dalam keluarga Pendeta Gereformeerd Ortodoks, dipengaruhi Rasionalisme/Deisme,[xxxvii] dan lama berkecimpung di lingkungan Metafisika. Sejak kematian istri dan putrinya, ia bergabung dengan Komunitas Persaudaraan Hernnhutt di Zeist. Di sinilah Van der Kemp mengalami reorientasi terhadap zending, lantas menuju Inggris. Setelah meresapi karakter London Missionary Society (LMS), ia kembali lalu mendirikan NZG di Belanda (1797).
Pada waktu itu NZG belum memiliki landasan teologi, kecuali Definisi Umum (Algemeene Bepalingen). Pasal 2 dari Definisi Umum menyatakan bahwa NZG hanya memaklumkan kebenaran dan tindakan kristiani sesuai Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang ditekankan dalam 12 Pasal Pengakuan Iman, tanpa penambahan ajaran manusia yang sifatnya manusiawi, sederhana dan tertuju pada hati manusia yang ditumbuhkan.[xxxviii] Tujuan agogis: “membimbing orang non-Kristen dan Kristen statistik, di Belanda, di daerah seberang, menuju pertobatan dan peradaban. Tujuan ini merupakan sintese dari dua aliran Abad 18: Pietisme ortodoks (pertobatan) dan Pietisme Pencerahan atau Aufklärung/Verlichte (pengadaban) yang terpadu dalam diri Van der Kemp.[xxxix]
Selain itu, pendirian NZG diinspirasi juga oleh beberapa pandangan. Dari Pietisme Halle: Jakob Spener (Kesalehan), dari Pietisme Hernnhut: Von Zinzendorf (gereja adalah sekolah khusus memperoleh pengetahuan tentang keselamatan), dari Pietisme Württemberg: Friedrich Oetinger (ilmu pengetahuan bisa menggiring manusia menuju keselamatan). Sedangkan dari Pencerahan: René Descarte dengan ajaran “saya berpikir oleh karena itu saya ada” atau Cogito ergo sum; I think therefore I am. Baruch de Spinoza dengan “otoritas logika”; kebebasan berpikir termasuk dalam agama dan teologi.
Dari tokoh Reformator, Martin Luther: “setiap orang Kristen mesti mampu membaca Alkitab dalam bahasanya sendiri dan membaca kitab-kitab pengetahuan lain”. Philip Melanchton: “pendidikan semesta yang bercorak pribumi dan azas Humanisme sangat penting untuk menghasilkan pietas literata (orang saleh yang cerdas)”. Johannes Calvin: “Firman Tuhan merupakan landasan bagi semua pengajaran, tetapi seni dan pengetahuan umum adalah sarana penopang untuk memiliki pengetahuan lengkap tentang dunia”. Maka bagi NZG, pendidikan adalah sarana terpenting untuk membarui Gereja dan Masyarakat;[xl] sekolah adalah “pesemaian gereja”.
Dengan demikian dapat dipahami jika pada tahun 1819 ada sekolah Zending Berkel di pinggiran Rotterdam yang memberikan perhatian pada olah akal, ketajaman berpikir, keterampilan, bakat, keinginan menguasai pengetahuan seperti Musik, kendati di Abad 20 dikritik oleh Karl Barth lewat Teologi Dialektika-nya. Enam belas tahun kemudian di Houttuinen Rotterdam didirikan lagi sebuah Zendelinghuis, sekolah dan asrama untuk membina calon zendeling yang kelak menghasilkan zendelingen berjiwa pietis dan melakukan perjalanan trans “Dari Pulau Dan Benua” – menerobos batas-batas negara, bangsa, bahasa, budaya. Pengutusan ke Hindia Belanda dilakukan Pemerintah yang diwakili oleh Haagsche Commissie. Pengurus Besar NZG di Rotterdam melepas dengan restu dan Instruksi a.l.: “setialah mengirim laporan dari medan pekabaran Injil”.
Zendeling NZG pertama yang bekerja di Maluku adalah Joseph Kam. Gelar Rasul Maluku yang disematkan kepadanya merupakan penghargaan setelah refleksi kritis dan obyektif terhadap seluruh pengabdian dilampauinya. Tetapi overgangsfiguur merupakan awal dari perjalanan panjang dan berat menuju penghargaaan itu. Kam adalah Figur Antara, Figur yang membawa perubahan di antara dua tipe pelayan yang mewakili dua masa. Pendeta Auwerda yang mewakili para pendeta dan ziekentrooster masa lalu dan zendeling yang menyusulinya di masa pekabaran Injil. Namun di bawah kuasa Gouvernement, genootschap Kam direduksi menjadi Pendeta Indische Kerk setiba di Ambon. Instructie voor den Commissaries Politiek en Kerkmeester membatasi geraknya sehingga terkesan menghindari perang Pattimura (1817). Kendati savari pekabaran Injil Kam ke Ternate, Minahasa dan Sangir menimbulkan spekulasi terhadap dirinya, toch ia berusaha mengikis tahyul, keangkuhan, kedengkian, pertengkaran, kemalasan dan alkoholisme dengan disiplin gerejawi. Ia juga menyokong rasa cinta orang Ambon pada Gereja, Alkitab, Mazmur dan Pujian. Di luar kota Ambon, banyak gereja dibangun. Para Regen, Tuagama, didorong untuk lebih bertanggung jawab sehingga pada tahun 1830 gedung gereja di Latta ditahbiskan.[xli]
NZG sebagai lembaga independent yang pimpinan pusatnya berkedudukan di Rotterdam, maka untuk menjembatani segala urusan zending dengan Gouvernement di Maluku, dibentuk badan antara yang disebut Hulp Zendeling Genootschap (HZG) oleh Kam (1821). Badan pengurusnya[xlii] bertindak atas nama zending dalam upaya memelihara hubungan dengan Gubernemen Maluku. Dengan adanya badan ini, para zendeling agak leluasa mengadakan hubungan langsung dengan Gubernement.
Sementara itu di Belanda dan di Maluku juga bergulir diskusi seputar “modernisme”. Reaksi terhadap aliran ini memperjelas kategori orthodox atau piëtistisch. B.N.J. Roskott, W. Luijke, J.J. Verhoef, L. Tobi dan C.G. Schot dikategorikan sebagai kelompok yang menolak modernisme, memeluk erat-erat kitab katekisasi tua (oude catechisatieboekjes) seperti Herman Faukelius (terjemahan Melayu 1811), dan melawan tradisi pra-Kristen (pre-christelijke tradities). Kecuali Tobi dan Verhoef, adalah Roskott, Luijke, Schot yang memberi warna Pietisme Ortodoks terhadap masyarakat dan Jemaat Latta (dan Lateri). Ironisnya, Roskott – guru yang cakap, pemimpin sekolah guru (kweekschool) – setelah hampir setengah abad berkarya, terdengar dari mulut zendeling Luijke sendiri kalimat ini: “van doortastende, of merkbare bewijzen, dat de ‘Geest van Vader en van Zoon, Die ons den weg wijst tot den troon’ in het hart van deze of gene werkzaam is, heb ik in aldien tijd niet kunnen bemerken of vernemen.[xliii] Artinya, “dari bukti-bukti tindakan tegas, atau fakta yang dapat dilihat, Roh Bapa dan Anak, yang menunjukkan kepada kami jalan menuju Sorga melalui pekerjaan ini atau tanpa pekerjaan ini, selama itu saya tidak mengetahui atau melihatnya”.
Kalau Majelis Gereja Ambon berpijak di dua pulau, maka pada episode ini NZG berpijak di dua benua. Kaki kanannya di Rotterdam, karena ke sanalah semua laporan zendelingen dikirim untuk Pengurus Besar NZG. Kaki kirinya di Ambon, tetapi di atas dua tegel. Tegel yang satu di Kota Ambon dengan “gereja negara”, tegel lainnya di Rumahtiga, tempat pelayanan diatur. HZG yang diharapkan bisa menjadi mediator yang baik, justru dililit banyak masalah dan pertentangan. Di lingkungan Gereja Negara yang mapan ini, Zending tertatih-tatih, walau akhirnya dengan wajah lesu tetapi bangga menyerahkan seluruh pekerjaan penginjilan kepada Indische Kerk pada Tahun 1864.
Dengan mundurnya para zendeling NZG setelah berkarya hampir lima dekade di Maluku, mungkin pengaruh Pietisme-ortodoks di Latta turut meredup seiring jejak-jejak sepatu Luijke di pantai Latta yang dihempas gelombang laut, atau tak berbekas tertindih bangunan, dilindas jalanan. Suara penuh spirit Schot Cs yang setia menabur Firman Tuhan memecah keheningan alam di antara kicauan burung-burung telah terbawa angin masa, bersamaan dengan teguran keras mereka yang penuh kasih meninggalkan makna spiritualitas yang dalam. Goresan-goresan tangan yang indah dari para guru di atas penggalan kertas-kertas kumal sesungguhnya dapat menuturkan sebagian dari realitas seadanya, hanya tanpa suara; bisu.
Andai mereka hadir saat ini, pasti tercengang melihat warga masyarakat dan jemaat Latta (dan Lateri) hari ini; riang dan lebih meriah ketimbang penahbisan gedung gereja pertama 177 tahun silam atau penahbisan gedung gereja kedua 154 tahun lalu. Guru tua yang “dipecat” mungkin bertanya: masih ragukah Anda yang orthodox tentang Kristus yang diberitakan? Wijkhoofd yang ramah tidak menyangka, bahwa jalan setapak di depan sana, kini menjadi sarana transportasi yang ramai dilalui banyak orang. Mungkin juga bingung bersama para guru dan leluhur karena reruntuhan sekolah tempat mereka mengajar dan dididik, seakan tidak memiliki nilai sejarah dan kepurbakalaan lagi.
Semoga boleh tersenyum, kala Batlajery menyebut mereka “penyelamat Calvinisme dari ancaman kepunahan”.
Nos Autem Praedicamus Christum Crucifixum

CATATAN AKHIR

[i] C.P.F. Luhulima, Motip-motip Ekspansi Nederland dalam Abad Keenambelas, (Djakarta: Lembaga Research Kebudajaan Nasional, 1971), 10. Dari: Buitenlandse Gulliver’s Travels, Book III, Chapter XI. Tentang Langhansz, dikutip dari: H. Terpstra, Buitenlandse getuigen van onze Koloniale Expansie, (Amsterdam 1944), 38-9.
[ii] Luhulima, op.cit., 11. Dari: C.W.Th. Boetzeler van Asperen en Dubbeldam, De Protestantse Kerk in Nederlandsch-Indië, (s’Gravenhage: 1947), 6-7. Bnd: A.M.L. Batlajery, The Unity of the Church According to Calvin and Its Meaning to the Churches in Indonesia, Disertasi, (Jakarta: SEAGST, 2002), 195 dyb. 4.1.a. Adaptasi Calvinisme pada zaman VOC.
[iii] Luhulima, op.cit., 11. Dari: Reise nach den Molukken und Vorder Indien 1632-1646, Haag 1931.
[iv] Luhulima, op.cit., 9.
[v] Batlajery, op.cit., 4.1. Gereja-gereja di Indonesia dan Calvinisme, 185 dyb.
[vi] H.E. Niemeijer, “Orang Nasrani”Protestants Ambon in de zeventiende eeuw dalam: G.J. Schutte (ed.)., ”Het Indische Sion” De Gereformeerde Kerk onder de Verenigde Oost-Indische Compagnie, (Hilversum: Verloren, 2002), 129-30.
[vii] R.Z. Leirissa, Maluku Tengah Di Masa Lampau – Gambaran Sekilas Lewat Arsip Abad Sembilan Belas, Penerbitan Sumber Sumber Sejarah No:  13, (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1982), 217. Peraturan Sekolah Tahun 1684 mengharuskan sekolah dimulai dan diakhiri dengan Doa dan Pujian. Murid diajar membaca, menulis, berhitung; hafal Doa Bapa Kami, XII Kepercayaan Iman Kristen, Dasa Titah, Katekismus Heidelberg. Yang mau dibaptis diisyaratkan tidak terlalu tua, bisa baca, tulis; berjanji menyekolahkan anak setelah dibaptis. Dalam: DGI, Partisipasi Kristen Dalam Usaha Pendidikan Untuk Membangun Masa Depan Bangsa dan Negara, (Jakarta: Departemen Pembinaan dan Pendidikan DGI, 1984), 1-2.
[viii] Chr. G.F. De Jong, De Protestantse Kerk in de Midden-Molukken 1803-1900, een bronnen publicatie, eerste deel 1803-1854, (Zoetermeer: Uitgeverij Boekencentrum, 2004), 3.
[ix] De Jong, ibid., 4.
[x] I.H. Enklaar, Joseph Kam “Rasul Maluku“, (Jakarta Pusat: BPK GM, 1960), 35-8.
[xi] De Jong, op.cit., 43-9. Transkrip dari Arschief Jabes Carey, Regent’s Park College, Oxford, Box IN/27.
[xii] De Jong, op.cit., 62. Dari: Archief Hoofdcommissie van Onderwijs, ANRI.
[xiii] Ibid. Dari: Van der Kemp, De ontslagen Gouverneur van Middelkoop en de Schout-bij-nacht Buijskes over den opstand in de Molukken van 1817-1818, 171; Van der Kemp, Het herstel van het Nederlandsch gezag in de Molukken in 1817, I, 385, 450-1.
[xiv] Di Hindia Belanda, pemerintahan dikepalai oleh Wali Negara (Landvoogd) dengan pangkat Gubernur Jenderal untuk masa jabatan lima tahun. Pemerintahan sehari-hari ia dibantu delapan kepala Departemen (Direktur) beserta staf dan pembantunya. Menyangkut pekerjaan teknis, ia dibantu Sekretaris Umum (Algemene Secretaris) dan beberapa Sekretaris Negara (Gouvernements-Secretarissen). Ada juga Dewan Hindia (Raad van Indië), bertugas memberi pertimbangan kepada Gubernur Jenderal dan memiliki “wewenang pemerintahan serta” (medebesturende bevoegdheid). Lembaga yang memiliki fungsi perundang-undangan dan pengawasan adalah Dewan Rakyat (Volksraad) yang dianggap “mewakili rakyat” Hindia Belanda. Mayoritas anggotanya orang Belanda, lambat-laun diduduki juga oleh bumiputera. Sebagian besar anggotanya dipilih, sebagian lagi diangkat. Di bawah Gubernur Jenderal ada Gubernur, Residen, Bupati dst. dijabat oleh tokoh dan pemuka Bumiputera. Tetapi Bupati didampingi oleh pejabat Eropa (Belanda) seperti di Pulau Jawa dan Madura, Asisten Residen; di daerah seberang, Kontrolir. Ada pula pemuka Bumiputera yang berstatus Kepala Daerah Swapraja (Zelf-bestuurde); ada yang setingkat Residen (Yogyakarta, Surakarta), setingkat Kabupaten atau lebih rendah, malah setingkat Desa. Dalam: S.L. van der wal, Het Onderwijsbeleid in Nederlands-Indiē 1900-1940, (Groningen: J.B. Wolters, 1963). Lih: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan Di Indonesia 1900-1940 – kebijaksanaan Pendidikan di Hindia Belanda 1900-1940. (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), v-viii
[xv] G.J. Knaap, Kruidnagelen en Christenen - De Verenigde Oost-Indische Compagnie en de Bevolking van Ambon 1656-1696, (Dordrecht-Holland/Providence-U.S.A: Foris Publications, 1987), 272-3.
[xvi] P. Jobse, Bronnen Betreffende de MIDDEN-MOLUKKEN 1900-1942, 1, [disingkat BBMM,1], (Den Haag: Instituut voor Nederlandse Geschiedenis, 1997), 375-81.
[xvii] Ch.F. Van Fraassen, Bronnen Betreffende de MIDDEN-MOLUKKEN 1900-1942, 2, [disingkat BBMM, 2], (Den Haag: Instituut voor Nederlandse Geschiedenis, 1997), 408
[xviii] Leirissa, R.Z. Leirissa (et. al.,), Ambonku, Doeloe, kini, esok, (Ambon: Pemerintah Kota Ambon, Maret 2004), 80-1,. Lih: Van Fraassen, BBMM, 2, 478. Transkripsi dari “Memori van Overgave van de Onderafdeling Ambon van Assistent-Resident Schmidt, 23 September 1924. Asisten Residen Schmidt menyebut 12 Burgerkampongs yang sudah berdiri sendiri (zelfstandige burgerkampongs) berturut-turut: (1) Galala, terletak di atas tanah Negeri Halong, (2) Lata, terletak di atas tanah Negeri Halong (3) Lateri, terletak di atas tanah Negeri Halong (4) Negeri Lama, terletak di atas tanah Negeri Passo (5) Nania, terletak di atas tanah Negeri Passo (6) Waiheroe, terletak di atas tanah Negeri Halong (7) Hoenoeth, terletak di atas tanah Negeri Halong (8) Pokka, terletak di atas tanah Negeri Roemahtiga (9) Nipah, terletak di atas tanah Negeri Roemahtiga (10) Larike, terletak di atas tanah Larike Islam, (11) Hila, terletak di atas tanah Hila Islam, (12) kampong Mahia, terletak di atas tanah Oerimessing.
[xix] Ch. F. Van Fraassen, Bronnen Betreffende de MIDDEN-MOLUKKEN 1900-1942, 3, [singkat: BBMM, 3], (Den Haag: Instituut voor Nederlandse Geschiedenis, 1997), 334.
[xx] Van Fraassen, BBMM, 3, 550.
[xxi] Germen Boelens, Chris van Fraassen, Hans Straver, Natuur en Samenleving van de Molukken, (Utrecht: Landelijk Steuntpunt Educatie, 2001), 211. P. Jobse, op.cit., 1,  380, 391. Van Fraassen,, BBMM, 2, 492.
[xxii] Jobse, BBMM, 1, 378.
[xxiii] Van Fraassen, BBMM, 2, 492.
[xxiv] Enklaar, op.cit., 74. 22 Agustus 1817- 9 Februari 1818 Kam dengan kapal Swallow ke Ternate, Minahasa, dan dengan perahu ke Sangir. 30 September – 5 Desember 1816, Kam melakukan kunjungan Tahunan ke Lease dan Seram. 13 Mei – 24 Juni 1816, Kam dengan kapal niaga ke Banda. Maret 1816, Kam ke Sram Barat, Boano dan Manipa. 7 Oktober – 4 Desember 1815, Kam beserta istrinya ke pulau-pulau Lease (Haruku, Saparua, Nusalaut), dan Seram.
[xxv] De. Jong, 643. Transkrip: Kort verslag van de werkzaamheden van zendeling W. Luijke, lopende van April 1852 tot en met Maart 1853, Ambon, 14 April 1853; ARvdZ 24/5.
[xxvi] G.P.H. Locher, Tata Gereja Gereja Protestan Di Indonesia Suatu sumbangan pikiran mengenai Sejarah dan asas-asasnya (Jakarta: BPK-GM, 1995), 44-45; Ph. Kleintjes, Staatsinstellingen van Nederlandsch-IndiN, tweede deel, (Amsterdam: J.H. De Bussy, 1929), 516-7.
[xxvii] Kleintjes, Ibid, 517-19; Locher, op. cit., 188.
[xxviii] ANRI, BT 18 Mei 1854 Nr. 5; ANRI Amb. 1420 dalam surat tertanggal Amboina, 5 September 1854 Nr. 1.
[xxix] Batlajery, op.cit. 4.1. Gereja-gereja di Indonesia dan Calvinisme, 185 dyb.
[xxx] ANRI Ambon 236. Lih: De Jong, op.cit., 55-7.
[xxxi] Batlajery, op.cit. 4.1. Gereja-gereja di Indonesia dan Calvinisme, 185 dyb.
[xxxii] ARvdZ 34/1. “Peraturan Sementara tentang Hubungan Majelis Gereja di Ambon dengan Jemaat Kristen pribumi di Ambon”.
[xxxiii] Th. Van End & J. Weijtjes, S.J., Ragi Carita, Sejarah Gereja Di Indonesia, 2, 1860-an – Sekarang, (Jakarta: PT. BPK GM, 1993), 44-5.
[xxxiv] Lih: De Reorganisatie van de Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indië,(Batavia-Weltevreden: G. Kolff & Co, 1914).
[xxxv] Beberapa Voorstel daripada STAATCOMMISSIE Akan Hal Djemaat-Djemaat Masehi Boemi Poetera (Inlandsche Christenen), (Batavia – Weltevreden: G. Kolff & Co., 1914), 18-9. Calon godsdienstonderwijzer, diuji oleh Komisi Classikaal setelah memenuhi syarat: anggota jemaat Protestan selama dua tahun, berusia 22 tahun, Surat Keterangan hulpprediker tentang pembekalan ± 2 tahun, Surat Keterangan Kelakuan Baik (ibadah, hidup tak bercela, rajin). Pelajaran yang diuji: membaca, menulis, berhitung, hikayat Alkitab, Permulaan Pengajaran Agama dan Pengajaran Kelakuan orang Masehi. Jika lulus, diperkerjakan sebagai Guru Jemaat. Bagi yang memiliki diploma sebagai bukti pemilikan pengetahuan dan mengajar pada sekolah yang dikelola oleh Karapatan Pechabaran Indjil, dibebaskan dari ujian. Syarat menjadi Inlandsche Leeraar: Surat Keterangan Majelis Jemaat (tentang ibadah), Surat Keterangan Kelakuan Baik. Calon diuji agar diketahui apakah telah memiliki akal budi setelah dididik hulpprediker. Ujian disaksikan oleh Komisi Classikaal. Jika lulus, kepadanya dipangkatkan dengan tugas: berkhotbah, mengajar agama, menikahkan warga jemaat, merawat Jemaat. Inlandsche Prediker seperti inlandsche leeraar yaitu penghentar jemaat, hanya ditambahkan tugas melayani Baptisan dan Perjamuan Kudus. Yang sudah bekerja lebih dari tiga tahun sebagai Inlandsch Leerar, hanya diuji mata pelajaran yang diperlukan.
[xxxvi] Pengatoran pada midrasy malajuw di pulaw Ambon dan sakalijen dairahy jang ada dibawahnja, [Ambon, 28 December 1855]; BHKI G-3-225.
[xxxvii] Deisme merupakan sistem dalam agama alamiah yang berkembang di Inggris pada Abad 17, 18. Penganut Deisme percaya adanya Tuhan, namun menolak intervensi-Nya dalam alam karena dianggap merendahkan kemahahadiran dan ketidakberubahan Allah. F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK-GM, 1994), 45.
[xxxviii] Joris van Eijnatten, Beschaafd Koninkrijk Het NZG en demotivering van de zending omstreeks 1800, dalam: Van den End, Twee Eeuwen, xiv, 20-30.
[xxxix] A.Th. Boone, Bekering en Beschaving – De agogische activiteiten van het Nederlandsch Zendelinggenootschap in Oost-Java (1840-1865), Dissertatie, (Zoetermeer: Boekencentrum, 1997), 11, 15-6, 194. Boneschansker, op.cit., 32-6
[xl] J.S. Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen Di Tanah Batak, (Jakarta: BPK-GM, 1988), 84-7.
[xli] Enklaar, op.cit., 125.
[xlii] Pengurus HZG ini a.l.: Bernard, Timmerman, Den Hartog, Soselisa [mungkin E.R. Soselisa, hoofddjaksa, lih. Almanak en Naamregister van Nederlandsch-IndiN voor 1861 (Batavia: Ter lands-drukkerij, 1861), 139], Hoekstra, Wonderling, (B@r, Luijke, De Stuer, Ds. H.H. Schiff [Ketua, wakil gubernur yang beragama Katolik]), dan Roskott. Dalam surat Roskott tertanggal Amboina, 2 Agustus 1844; ARvdZ 34/5.
[xliii] Chr, G.F. de Jong (e.a.), Nieuwe bronnen tot de geschiedenis van het christendom in Maluku (1605-1935). Vondsten, thema’s en oriëntaties’, in: Documentatieblad voor de Geschiedenis van de Nederlandse Zending en Overzeese Kerken,  4e jaargang nr 2, 1997, 72.

Geen opmerkingen:

Een reactie posten