vrijdag 3 september 2010

PERANAN PEMUDA GEREJA MEMASUKI MILLENNIUM III


Perspektif Injil Matius 5:13-16



Teologi bukan sekedar berarti “ilmu tentang Tuhan,” namun terlebih merupakan “usaha perenungan iman terhadap kehidupan nyata.” Teologi juga bukan sekedar berarti “tahu tentang Tuhan,” karena yang terpenting adalah “Takut Tuhan.” Jika Peran Pemuda Gereja Memasuki Millennium III (PPGMM) dibicarakan sebagai suatu studi teologis, maka sebenarnya AMGPB Cabang Rehoboth II sedang berupaya mengambil sikap ilmiah kristiani terhadap PPGMM itu.
Dari paparan ini diharapkan ada nilai yang dapat dipetik untuk dijadikan “milik” dan “sistem keyakinan” (belief system). Belief system itu kelak mewujudkan “sistem perilaku” (behavioral system) yang terdapat dalam inti kepribadian seseorang yang disebut ego, aku atau diri (self). Kalau nilai itu telah menjadi sistem keyakinan AMGPM, maka perilakunya dapat dipertanggungjawabkan.
Menghadapi millennium baru yang sedang datang, sebenarnya pemuda telah memiliki pegangan cukup ampuh sebagaimana tertuang dalam semboyan AMGPM yang dicuplik dari Injil Matius 5:14a: “Kamu adalah Terang Dunia” (AD AMGPM Bab VI Pasal 9). Selain itu, dalam KDPP, pemuda GPM dinyatakan: “sebagai pemuda GPM yang mempunyai peranan dan fungsi yang strategis baik dalam kehidupan masyarakat maupun dalam kehidupan pelayanan gereja, haruslah mewarnai dan diwataki oleh watak-watak serta ciri-ciri yang melekat pada pemuda GPM itu sendiri yaitu sebagai GARAM DAN TERANG DUNIA yang berarti “... menggarami dan menerangi dunia” (KDPP Pemuda GPM Bab IV Pasal 3).
Atas dasar itu, maka wajar jika pemuda back to the Bible dengan harapan agar setelah memahami makna teks, pemuda dapat menentukan sikap kristiani dalam konteks di mana pun ia bereksistensi.

Garam Dunia dan Terang Dunia

Lembaga Alkitab Indonesia menerjemahkan teks Matius 5:13-16 sebagai berikut:
13 “Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. 14Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. 15 Lagi pula orang tidak menyala-kannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. 16 Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”

Teolog Perjanjian Baru seperti Allen C mengomentari teks tersebut dalam bukunya The International Critical Commentary: “Jika garam menunjuk pada murid-murid sebagai element [bahan alami berumus kimia Natrium Chlorida atau NaCl] dari dunia, maka terang menggambarkan attitude [sikap] para murid sebagai pertapa yang terisolir dari dunia.” Namun segera ia menambahkan: “…. Walaupun terisolir, tidak berarti mereka tidak mempengaruhi dunia.” Kendati cuplikan ini mengharuskan pencernaan terhadap makna kata-kunci (catchword) ‘garam’ dan ‘terang,’ sebetulnya mereka menemukan adanya aspek perenungan dan sikap untuk mempengaruhi dunia.

Kamu adalah Garam Dunia

Υμες στε τ λας τς γς (ay. 13; humeis este to alas tes ges), begitu bunyi naskah aslinya menurut Robinson-Pierpont Majority Text (1995) yang berarti: “Kamu adalah garam dunia". Terhadap teks ini sejumlah teolog mengutarakan pandangan mereka. W.D. Davies mengatakan bahwa “yang dimaksud dengan kamu (Υμες, ay. 13) adalah para murid (disciples), bukan Ahli Kitab (Scribes).” Jadi yang dimaksudkan dengan kamu (adalah: garam [13], dan terang [14]) adalah para murid Yesus yang diharapkan mampu memperlihatkan karakteristik komunitas kristiani dalam pelbagai bentuk pekerjaan dengan tujuan mengagungkan Allah atau “Bapamu yang di sorga” (ay. 16). Menurut J.A. Emerton, “dalam tradisi Yunani, garam (λας) diasosiasikan dengan yang dikasihi ilahi. Sedangkan dalam Rabbinic text, garam diasosiasikan dengan kebijaksanaan. Paduan dua pandangan ini ditemukan dalam Tafsiran Alkitab Masa Kini 3, yakni “Garam amat berguna untuk mengawetkan. Bagi rabi, garam berarti hikmat. Hidup dan perbuatan orang bijaksana dari murid-murid akan mempengaruhi masyarakat, tetapi perhubungan dengan masyarakat tanpa menjadi tawar adalah perlu."
Martin Luther - Reformator abad Pertengahan pun tidak ketinggalan. Ia mengatakan: “Salt is not salt for itself, it cannot salt itself. So also is it with disciples: What they are they are the world, not for themselves.” S.R. Drive mengomentari teks ini demikian: “The saying is probably proverbial.... Since salt may become useless for household purpose, and be thrown out doors, so disciples... they loose their essentially Christian character.”
Selain pandangan teolog di atas, ditemukan semacam “Kata Berkait” (permainan kata dalam bahasa Aram) yang sering digunakan Yesus dalam dialog (baca: metode pekabaran Injil atau metode mengajar) dengan orang banyak. “If salt has lost its taste (5;; tapel), how shall it be seasoned (%1v;; tabbelunneh)? Permainan kata tersebut adalah tapel yang berarti “rasa” dan tabbelunneh yang berarti “diasinkan.” Tapel dan tabbelunneh merupakan dua kata berkait yang mirip bunyi bahasa, namun beda makna.
Dari pandangan tersebut dapat disimpulakn bahwa “garam” adalah andaian yang dikenakan Yesus kepada murid-murid-Nya. Mereka disebut “orang bijak” sekaligus “orang pilihan” dan, “yang dikasihi Allah.” Sifat, watak dan karakter garam tidak menjadikan mereka terkungkung bagai “katak di bawah tempurung” atau memenjarakan diri dalam kerohanian yang tinggi sampai mati rasa terhadap realisme dunia sekitar. Karakteristik bagai garam justru mendorong, malah menantang mereka untuk memberlakukan tindakan terpuji demi menyelamatkan dunia dari pembusukan (corruption).

Kamu adalah Terang Dunia

Donald A. Hagler dalam bukunya “Word Biblical Commentary Matthew 1-13” mengutarakan pandangannya tentang Kamu adalah terang dunia (Υμες στε τ φς το κσμου (ay. 14; humeis este to fos tu kosmu) sebagai berikut. Kamulah terang dunia merupakan tradisi lisan (oral tradition) yang diturunalihkan dari generasi ke generasi dalam bentuk metaphor (kiasan). Menurutnya, terang adalah kiasan paling penting dalam Alkitab seperti dalam rumusan: “Allah adalah terang” (1 Yoh 1:5); umat perjanjian di Qumran menyebut diri mereka “anak-anak terang” (Yes 42:6; 51:4-5), dan lain-lain teks atau ungkapan populer yang diucapkan Yesus seperti: “Aku adalah Terang Dunia” (Yoh 8:12; 9:5). Jadi terang selalu diasosiasikan dengan Allah, umat, Yesus, juga Yerusalem, hukum, dll.”
“Rumusan Aku adalah...” termasuk dalam seri ucapan “Ego Emi....” Dalam Perjanjian Lama, rumusan ini berbunyi: “Akulah [= Aku-lah] Allah dari nenek moyangmu...”; “Akulah Allah ayahmu...” (Kel 3:6); “Aku adalah Aku” (Kel 3:14); Ulangan 32:39; Yesaya 43:10-13, dll. Para teolog menyebut ungkapan Yesus dalam rumusan “Aku adalah...” sebagai “Kuriophani” - suatu bentuk pernyataan diri sebagai Kurios, unik, mutlak, eksklusif dan abadi. Jadi dengan Yesus mengatakan: “Aku adalah Terang Dunia”, secara tegas Yesus mengklaim Dia-lah Tuhan, unik, mutlak, eksklusif dan abadi. Apabila murid-murid-Nya disebut “terang dunia”, maka mesti demikianlah pula kehidupan para murid. Hidup mengikuti teladan Yesus.
Pandangan-pandangan di atas cukup membantu untuk memahami pandangan Allen C tadi tentang attitude atau sikap. Nilai teologis dari sikap hidup para murid tampak pada ucapan Yesus: “kamu adalah terang dunia.” Maksud-Nya, mereka sebagai orang yang menerima Pemerintahan Allah (Kerajaan Allah) adalah duta Kristus, Sang Penyelamat Dunia. Karenanya mereka didesak untuk mewujudkan panggilan menghadirkan Pemerintahan Allah dengan cara “hidup sebagaimana Yesus hidup” lewat karya dan karsa. Hidup bagai “terang” sekaligus mewujudkan makna hidup bagai “garam.” Dunia yang telah digarami pasti awet dan tahan lama. Maka tepatlah semboyan AMGPM yang mengandung ajakan sekaligus seruan agar Garamilah dunia, sehingga dunia menjadi kian “terang” dan “bersih lingkungan.” Calvin pernah berucap: TERAR, DUM PROSIM (“Biarlah aku terbakar habis, asal aku berguna”). Justru itu maka perjalanan back to the Bible ini tidak semestinya membuai AMGPM seakan berada di dunia maya, namun sebaliknya menantang agar makin berperan akrif dan pro life di dunia nyata!
Apa yang dikata-katakan para teolog itu sebenarnya menyingkap identitas atau jatidiri seorang pengikut Kristus. Sebagaimana identitas garam itu asin, begitu pula para pengikut-Nya adalah orang-orang yang dikasihi Allah (= garam) sekaligus orang-orang bijak (= terang). Agar tidak terasing, para murid perlu selalu diingatkan agar tetap konsisten dan bertindak sesuai keyakinan. Mengapa? Karena jatidiri atau kepribadian seorang pemuda bisa luntur akibat "mengekor” atau karena tidak memiliki pandangan hidup yang kokoh di tengah perubahan pesat dalam masyarakat. Apalagi dalam millennium baru kompetisi mempengaruhi hidup manusia dalam pelbagai bidang (sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dsb.) akibat robohnya batas suatu negara dan era pasar bebas menjadi kian nyata. Produk luar negeri menjadi pesaing yang laris ketimbang produk sendiri. Budaya global menjadi pesaing yang diminati ketimbang budaya Nasional.
Ketika persaingan dengan mudah mendorong manusia merebut milik orang lain, adakah tempat untuk berbicara tentang kasih? Masih adakah tempat untuk membicarakan kemurahan hati? Untuk menyinari kemuliaan diri penguasa, segala cara digunakan untuk menyingkirkan; bila perlu menghabisi pesaing yang mencoba menghalangi ambisi. Jadinya kasih dan kemurahan hati ibarat sarana “udang di balik batu.”
Selain itu, akibat dari inkonsistensi, pemuda mudah terjebak dalam pandangan "Ya, tetapi..," "sinkretisme,” “baik ini, maupun itu.” Jika begitu, ia mudah kehilangan makna, karena bukankah ia diwajibkan atau malah diharuskan menentukan “sikap bijak sebagai orang yang dikasihi Allah”? Tetapi di sini pula letak kesulitan. Pandangan orang Barat terlalu tegas: bukan ini, tetapi itu. Pilih: ini atau itu; hitam atau putih. Sementara orang Timur cenderung menempuh jalan tengah, jalan aman yang disebut bijaksana atau kebijaksanaan; tidak hitam, tidak putih, maka jadilah kelabu. Kebijaksanaan sedemikian bukan tidak mungkin dapat melemahkan hukum positif yang berlaku dalam negara ini. Tidak sedikit orang yang sulit mengatakan “tidak.” Karenanya digunakan kalimat-kalimat netral seperti: Apakah tidak sebaiknya begini dan sejenisnya. Pola kalimat demikian menunjukkan sikap tidak setuju atau menolak secara halus, namun maksudnya cuma satu yaitu pertimbangan supaya orang tidak tersinggung atau tidak merasa ditidakkan!
Penginjil Matius katakan: “Kamu adalah garam dunia” dan “Kamu adalah terang dunia.” Semua orang pasti setuju bahwa garam yang disimpan, tidak mungkin berfungsi dengan baik. Rasanya asin, namun tidak berguna. Sama seperti orang yang tenggelam dalam suasana kerohanian yang tinggi namun tidak bosan mengisolir diri dari realisme dunia sekitar. Yang penting: yang rohani, kendati panggilan untuk berperan di tengah pelbagai bidang hidup, diabaikan (“tidak menjadi “terang”). Orang juga sadar bahwa dengan melarut barulah garam berfungsi sebagai pemberi rasa, penyedap atau pengawet makanan. Melarut, pasti kehilangan bentuk, tetapi tidak kehilangan rasa, tidak kehilangan fungsi, tidak kehilangan identitas. Ibarat “masuk kandang kambing, mengembik; tetapi bukan kambing.”
Dengan memasuki pergumulan hidup nyata, pemuda dapat memenuhi fungsi sebagai garam dunia: pemberi rasa, pewarna kehidupan, sekaligus penerang dunia. Dengan demikian, menjadi Kristen bukan berarti harus menjadi kolot, tetapi boleh mengikuti perkembangan zaman agar bisa menjawab tantangan zaman berdasarkan iman Kristen (makna menjadi “terang”). Dengan kata lain, pemuda mesti bijaksana sebagai orang yang dikasihi Allah, tahu menimbang dan menilai: mana yang baik, mana yang tidak baik berdasarkan iman dan kepribadian Kristen. Maka tidak tepat kalau seorang pemuda melakukan sesuatu dengan alasan mengekor karena sahabat kental melakukannya. Atau ia tidak melakukan sesuatu karena tidak dikerjakan kerabat atau malu disebut kuno. Berbuat atau tidak berbuat sesuatu hendaknya karena hal itu baik bagi semua orang dan demi kemuliaan Nama Tuhan. Jadi berani tampil beda dapat saja dengan mengenakan baju model mutakhir, sepatu merk Nicki, rambut a la John Travolta atau the late Lady Di, namun segeralah menyadari kebaikannya bahwa tidak ada ruginya bila ia tidak melakukannya, dan tidak melihat kelebihan keuntungan bila melakukannya.
Jadilah terang yang bisa menerangi kegelapan ibarat stroom yang tidak kelihatan di balik lampu yang menyala. Jadilah pemuda yang berkepribadian kristiani dan dewasa, sebab seorang yang kokoh jatidirinya tidak tergantung pada masa, tidak terpengaruh oleh kelompok atau hanyut ditelan arus zaman, tetapi justru yang bisa mengarahkan masa, kelompok, bila perlu mengendalikan arus dan arah zaman. Maka tepatlah kalau penginjil Matius menyebut Kamu – AMGPM adalah Garam Dunia dan Kamu AMGPM adalah Terang Dunia.
TERUS TERANG, TERANG TERUS! AMGPM yang bijak sebagai anak-anak terang (ber-”khokmah”) hendaknya berpikir global (think globally), namun bertindak dan hidup secara bertanggung jawab (act and live responsible). Manfaat dari berpikir global antara lain bahwa AMGPM memperoleh perspektif (harapan baru) lewat pilihan yang dinilai bijak. Sedangkan dalam act and live responsible berlaku prinsip “hidup dengan cara yang orang lain dapat hidup dengan baik.”

Apa yang Mesti Dibuat untuk Membangun Kualitas AMGPM?

Bagaimana membangun kekuatan iman dan moral AMGPM untuk menghadapi gejala sosial yang terus berkembang pesat? Apa tanggapan Anda kalau MOTTO AMGPM yang ada “Kamu adalah Terang Dunia” dikembangkan menjadi KAMULAH GARAM DAN TERANG DUNIA atau Motto lain yang lebih komunikatif, relevan, dan berbobot.


Materi ini pernah disampaikan pada acara PELATIHAN KEPEMIMPINAN AMGPM Cabang Rehoboth III, pada 10 Februari 2000 di Kudamati, Ambon.

Geen opmerkingen:

Een reactie posten