PEKIKAN PROFETIS SANG PROFESOR ITU
Jumat 8 Juli 2011, saat sedang fokus pada pekerjaan di ruang kerja di kantor Fakultas Teologi UKIM Tanah Lapang Kecil Ambon, sekitar pukul 11.00 saya dikejutkan oleh kehadiran tiga mahasiswi yang tampak gelisah gara-gara belum dapat menjawab pertanyaan mengenai mengapa simbol Angsa dipajang pada toren gereja di Negeri Kincir Angin. Pertanyaan tersebut bukan saja menantang, tetapi juga mengagetkan dikarenakan di banyak toren gereja dipajang simbol ayam jantan.
Sebenarnya pertanyaan tersebut sejak beberapa minggu lalu sudah diutarakan secara langsung dan tidak langsung via sms. Namun karena terkesan mendesak, apalagi jawaban yang diharapkan belum ditemukan selama pencarian, maka saya yang semula dinging menyikapinya, mulai serius sembari memberikan penjelasan seadanya.
Apa Sebabnya Angsa?
Melalui salah satu situs di internet, saya menemukan untaian kata-kata indah, sekaligus dijadikan entry point memasuki pergulatan yang belum tuntas terjawab.
De Gereformeerden hebben een haantje,
De Luthersen hebben een zwaantje,
De Roomsen hebben een kruisje,
En de Mennisten een houten huisje.
Maar waarom hebben wij nou toch die zwaan?
Artinya, orang-orang Gereformeerd menggunakan simbol ayam jantan [pada toren gereja], orang-orang Lutheran menggunakan Angsa, orang-orang Katolik lengket dengan simbol Salib, dan orang-orang Menonit menggunakan simbol rumah kayu.
“Tetapi mengapa kami menggunakan simbol Angsa?” (… maar waarom hebben wij nou toch die zwaan?), pernah dipertanyakan warga Lutheran di Belanda, dan tentu saja menimbulkan banyak tanya di kalangan warga gereja pada masa kini.
Pertanyaan tersebut seyogianya menghentak, sekaligus mengantar saya untuk sedikit bernostalgia; mengingat kembali sebuah bangunan Gereja Lutheran yang terletak di jalan Korenmarkt Arnhem, tempat saya pernah menetap dan mengabdikan sebagian hidup di lingkungan Dewan Gereja-gereja asal Maluku di Belanda (Raad van Molukse Kerken in Nederland). Gedung gereja megah yang diarsiteki Leendert Viervant de Oude (vermoedelijk) itu dibangun dalam kurun dua tahun (1735-1737) dengan gaya klasik dan dekorasi a la Louis XIV. Hal ini dapat dipahami karena sejak tahun 1579 telah hadir di Arnhem, provinsi Gelderland, penganut gereja gereformeerd, hanya tinggi toren berpajang Angsa tidak sebanding toren tertinggi di Belanda, De Domtoren yang terletak di Utrecht.
Simbol yang Menyimpan Makna Historis
Angsa merupakan simbol yang sangat mungkin hanya digunakan gereja Lutheran di Nederland; tidak digunakan oleh gereja-gereja di dunia yang lebih familiar dengan lambang ayam jantan atau salib. Simbol Angsa itu bersumber dari cerita reformator Tsjechische yang bernama Johannes Hus, precursor atau pendahulu Reformasi pada awal abad ke-15.
Lho, koq bisa? Bukankah Martinus Luther (1483-2546) kelahiran Eisleben 10 November 1483 yang pantas disematkan gelar Reformator? La iyalah…. Tetapi camkan, bahwa Luther bukan orang pertama yang mencanangkan reformasi gereja di Eropa, karena ada sejumlah perintis Reformasi yang telah mendahuluinya. John Wycliffe (sekitar 1329-1384) di Inggris misalnya, dan Johannes Hus (1373-1415) meneruskan ajaran Wychliffe di Bohemia yang kini lebih populer dengan sebutan Cheko. Jan Sihar Aritonang – yang belum lama ini dikukuhkan menjadi Guru Besar di bidang Sejarah Gereja pada Sekolah Tinggi Theologi Jakarta – dengan ciri kebapaannya yang muncul dari sikap tegas dan disiplin ketat itu melukiskan pemunculan Wychliffe dan Hus bagaikan “buah yang belum cukup matang” atau “telur yang belum cukup lama dierami” dikarenakan keadaan yang belum kondusif untuk melahirkan pembaruan menyeluruh dari/dalam gereja Katolik yang tangguh.
Hus yang pada zamannya bekerja sebagai Guru Besar dan pemberita Injil di kota Praha itu mengajar ajaran Wychliffe kepada mahasiswa dan umat Kristen di Bohemia. Di lingkungan gereja yang tangguh itu, Hus tampil dengan ciri kritis dan secara tajam menyikapi penyelewengan yang terjadi dalam Gereja Katolik sebagai Gereja Ibu (Mother Church). Karena itu Hus dituntut untuk bertanggung jawab kepada Konsili (hervomingconcilie) di Constanz (Konstanz). Ujung-ujungnya Hus dikutuki, Praha dihukum oleh Paus.
Menanggapi sikap keras Paus itu, seluruh daerah bangkit melawan Roma. Keizer Sigismund muncul dengan cepat dan antusias menyelesaikan huru-hara. Istilahnya, “lebih cepat, lebih baik “. Hus dibujuk ke Constanz dengan harapan perkaranya dapat dirundingkan dalam Konsili. Raja berjanji untuk melindunginya. Namun yang terjadi, malah Hus ditangkap, dan atas perintah gereja, ia dipenjarakan dan disiksa dengan amat kejam. Hus dibiarkan Sigismund, karena bersikeras tidak mau menarik ajarannya. Akhirnya Hus dihukum mati dan dibakar hidup-hidup di Constanz pada 6 Juli 1415. Tidak lama kemudian sahabatnya Hieronymus dari Praha menyusuli jejak Hus; diadili, dan dibakar.
“Tragedi kemanusiaan” itu yang menjadi sumber menyulutnya perang Husit melawan raja dan gereja. Di mana-mana kaum Husit membunuh dan membakar, teristimewa rumah-rumah biara; dan pasukan-pasukan Paus dapat dilumpuhkan. Lama-kelamaan perang ini dapat diakhiri juga, dan Paus mesti mengakui kehadiran Gereja Husit yang tak jauh bersanding dengan Gereja Katolik Roma di Bohemia.
Sampai di sini, pada satu sisi, pertanyaan tersebut belum terjawab, namun di sisi lain pelukisan latar belakang perjuangan dan pengorbanan Hus memberikan sinyal ke arah itu. Brand punt atau titik api itu terletak pada ketimpangan putusan Konsili yang berujung pada peristiwa perih yang mengakhiri riwayat Hus.
Sebelum eksekusi mati dilaksanakan, Hus menulis kepada jemaat-jemaat yang pernah dilayaninya: “Gij zult nu een gans braden, maar over 100 jaar zult gij een zwaan horen zingen, die gij wel moet verdragen, en daar zal het ook bij blijven, zo God het wil”. Ada pula tradisi yang menyebutkan bahwa saat-saat menghadapi kematian di bawah tumpukan api “neraka” itu, Hus yang malang memekik keras: Jullie verbranden nu een gans, maar er zal een zwaan uit zijn as herrijzen! Artinya: “Kalian sekarang membakar seekor angsa (gans//zwemvogel), tetapi akan ada seekor angsa (zwaan) yang bangkit kembali”. Angsa yang dimaksudkan ialah Johannes Hus sendiri yang akan dihukum, tetapi akan muncul Angsa yang lain. Mengapa demikian? Tentu saja karena HUS (husa = gans) dalam bahasa Bohemia sama artinya dengan Angsa dalam bahasa Indonesia, Goose (Ing.), atau Zwaan (Bel.), dan Angsa yang lain itu dimaksudkan para pengikutnya.
Benarlah pekikan profetis Hus yang mewujud seabad kemudian. Sekitar seratus tahun setelah tragedi yang mengenaskan itu, Luther tampil pada jalan (spoor; track) yang sama seperti Hus, dan terjadilah Reformasi. Dari situ, dijadikanlah Angsa sebagai simbol untuk Luther dan Gereja Lutheran, namun sumber dan inspirasi Angsa itu merujuk pada Sang Profesor Johannes Hus sendiri. Luther sendiri pernah menulis: Sint Johannes Hus heeft, toen hij uit de gevangenis naar het Boheemse land schreef, over mij voorspeld: Gij zult nu een gans braden, maar over 100 jaar zult gij een zwaan horen zingen, die gij zult moet verdragen en daar zal het ook bij blijven, zo God het wil.
Angsa itulah, pendahulu Reformasi, sang Profesor Johannes Hus.
Jiwa dan pekikannya terwujud seabad kemudian pada sosok Reformator Luther.
Angsa mengingatkan orang pada dua-duanya, Hus dan Luther, Lutheran dan Lutheranisme.
Sumber
Aland Kurt. A History of Christianity – From the Reformation to the Present, Vol. 2. Philadelphia: Fortress Press, 1982.
Aritonang Jan. S. Berbagai Aliran Di Dalam dan Di Sekitar Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
Enklaar, I.H. Sedjarah Geredja Ringkas. Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1966.
Lane Tony. Runtut Pijar – Sejarah Pemikiran Kristiani. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1996.
Nepveu R.M. Welke Kerk Is Dat? – Kennismaking met de kerken en Kerkgenootschappen in Nederland. Antwerpen/Ede: Zomer & Keuning, 1984.
http://www.luthersheusden.nl/luthers.php
http://www.luthersegemeentezutphen.nl/kerk.html
http://www.elkz.nl/Lutherse-symboliek-en-traditie/luther-en-de-zwaan.html
http://www.luthersekerkpekela.nl/index.php?option=com_content&view=article&id=62&Itemid=66
http://www.pkn-eindhoven.nl/kennismaken/symbolen