vrijdag 2 september 2011

TANAH

Tinjauan Teologis Menuju TEOLOGI KEUTUHAN



Far and Away
Film Barat berjudul Far and Away garapan Ron Howard dari tulisan Howard dan Bob Dolman, dibintangi oleh Tom Cruise (Joseph Donnelly) dan Nicole Kidman (Shannon Christie)[1] ini pernah ditayangkan di beberapa biskop ibu kota Jakarta sekitar tujuh belas tahun lalu, dan pernah ditayangkan lewat salah satu stasion televisi swasta. Far and Away secara transparan mempertontonkan gelombang migran Inggris dan Skotlandia yang progresif-ekspansif ke tanah Amerika yang masih perawan dan misterius. Pada menit-menit terakhir diperlihatkan perebutan tanah demi masa depan yang gemilang, ditandai dengan kemenangan sang lakon yang berhasil mendapatkan tanah barunya dengan mandi darah saudara sendiri. Film itu menarik karena ada muatan teologis menyangkut “pergeseran cara bereksistensi” yaitu cara hidup atau cara berada dari “ruang ke waktu,” dan dari “tanah ke sejarah”.
Tanah dilihat sebagai bukti eksistensi manusia tradisional, namun alam modern mengikis kesadaran eksistensial itu, lantas menggantikannya dengan kesadaran historis. Pergeseran seperti itu dapat dilihat juga dari ekspansi bangsa asing ke Nusantara.[2] Pada umumnya ekspansi itu berakar dari pandangan hidup dan pandangan dunia Abad ke-16 dan 17 yang dipengaruhi oleh agama dan lembaga-lembaganya. Belanda secara khusus terdesak oleh faktor ekonomi karena konstelasi geografis; lahan pertanian yang terbatas memaksa penduduknya mencari makan di laut. Kedudukan di antara dua sentra perdagangan Eropa (Laut Baltik dan Laut Tengah) juga memaksa Belanda memusatkan lalu-lintas perdagangan Eropa ke kota-kota pelabuhannya.[3] Dapat dikatakan, mungkin kepulauan Maluku tidak pernah didatangi mereka dengan hanya mengandalkan cengkih pala tanpa dorongan dari pandangan hidup mereka tentang ruang dan waktu atau tanpa menggubris cara mereka bereksistensi.

Penghargaan terhadap Tanah
Pada umumnya orang Barat memiliki modus eksistensi waktuwi-temporal. Sejarah dilihat seperti garis lurus-linear; rakitan masa lalu-kini-kelak. Manusia dikatakan bereksistensi jika ia mampu meninggalkan masa lalu, menjalani masa kini dan mendatangi masa depan. Cara berada demikian menempatkan ruang menjadi subordinatif. Ruang kurang diperhitungkan, namun waktu amat dihargai sehingga manusianya tampak dinamis. Pemahaman demikian menjadi akar terkuat bagi gaya hidup ekspansif-progresif.
Orang Timur, pada umumnya memiliki modus eksistensi ruang-spasial. Ia dikatakan “ada” jika menyadari hidup bergantung dari ruang tempat ia menetap. Cara berada demikian kurang memperhitungkan waktu, namun tanah sangat dihormati dan dijadikan simbol kehidupan. Kehidupan dijalani di atas tanah agar harmonis dengan siklus pertanahan dan pertanian: menanam, menumbuhkan, memanen, menanam lagi, demikian seterusnya. Waktu dipahami dalam kerangka spasial; dipahami siklis, terus berputar laksana roda; tak berujung, tak berpangkal. Jadi manusia spasial yang diikat visi masa depan bersama terkesan santai.
Lewat dua modus eksistensi (ruang dan waktu), tanah memperoleh penghargaan yang berbeda. Gerak hidup manusia temporal menumpang dalam garis lurus sejarah; progresif dan ekspansif. Tanah-tanah perawan diduduki, bila perlu dijarah, seperti ambisi untuk menduduki masa depan; asal mampu menerobos ke masa depan, tanpa peduli jika sesama tercabut dari tanah pertiwinya. Sebaliknya manusia spasial teramat menghormati tanah. Tanah menjadi simbol kemanusiaan. Mengolah tanah menjadi representasi dari tekad mengolah hidup. Bahkan roh-roh leluhur pun dipandang berdiam di tanah untuk menemani dan menjaga. Tanah juga dipandang sebagai Ibu, kekasih Allah Bapa, yang ada di langit. Allah sebagai ibu, oleh McFague dikaitkan dengan the beginning of life, its nurture, and its fulfilment (awal kehidupan, pemeliharaannya dan pengolahannya). Tanah adalah rahim Allah yang penuh rahmat (rahmat secara etimologis dari kata rahim). Hidup jadinya teduh karena kekecewaan hidup dilihat hanya suatu pengulangan yang terjadi berkali-kali, dan akan ada kegembiraan yang terulang kembali. Komunitas manusia spasial seperti ini dipersatukan oleh tanah yang didiami bersama.

Pendekatan Teologis
Pendekatan alkitabiah berbeda dari pendekatan ayatiah. Pendekatan ayatiah sekadar mencuplik sejumlah ayat favorit, lantas ditarik kesimpulan umum. Namun pendekatan alkitabiah lebih peduli pada pesan utama keseluruhan Alkitab tentang subjek tertentu. Tanah misalnya.
Untuk mengerjakan pendekatan teologis ini, perlu dilihat bagaimana Alkitab secara keseluruhan berbicara tentang tanah. Kendati untuk kata “tanah” dijumpai sebanyak 1254 kali dalam Alkitab,[4] namun di sini hanya dikemukakan beberapa teks dari kitab suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sembari menghindar agar tidak terperangkap pada pendekatan ayatiah.

Perjanjian Lama
Bagi manusia spasial, tanah amat dihormati, malah dijadikan simbol kemanusiaan. Mengolah tanah dapat disejajarkan dengan mengolah hidup. Sebenarnya modus ini dapat dilihat juga dalam kitab Kejadian 2:4 “Demikianlah riwayat langit dan bumi pada waktu diciptakan. Ketika TUHAN Allah menjadikan bumi dan langit,...” Kata “langit” (הַשָּׁמַ֛יִם) menunjuk pada maskulin dan “bumi” (הָאָ֖רֶץ) atau tanah menunjuk pada feminin.
Allah Pencipta diimani sebagai Allah Bapa yang menciptakan langit (maskulin) dan Allah Ibu yang menciptakan bumi atau tanah (feminin). Itu sebabnya Sallie McFague, biblicus feminis, American feminist Christian theologian, ini pernah meyakini bahwa bumi ini adalah tubuh Allah. Itu sebabnya bumi atau tanah mesti dihuni dan dikelola dengan baik dan tertanggung jawab. Karena baginya, God is the one ‘who judges those who thwart the well-being and fulfilment of her body, our world’.[5]
Begitu pula penciptaan manusia (Adam:  אָדָ֖ם- maskulin), terjadi dari debu tanah (Adamah (אֲדָמָ֔ה) - feminin) yang dikerjakan Allah “menurut gambar kita” (Kej. 1: 26; LAI). Nederlands Bijbelgenootschap (NBG)[6] menerjemahkan “menurut gambar kita” dengan “als ons beeld” (= seperti gambar kita; Bohl), “in ons beeld” (= dalam gambar kita; Kohlbrugge), dan “in ons oerbeeld” (= dalam gambar asli kita; Barth).[7]
Beberapa pendekatan dilakukan untuk memahami “gambar kita” dari perspektif rohani, jasmani, antropomorfisme biblis. Ada pula yang melihatnya lewat “penguasaan manusia atas fauna”. Wiersma justru berpendapat begini:
            “Gambar kita” dan “rupa kita” (ons beeld en onze gelijkneis; ay. 26) pada satu pihak adalah bentuk jamak, dan “gambar-Nya” (Zijn beeld; pada lain pihak adalah bentuk tunggal. Baik tunggal maupun jamak, menunjuk pada Allah Pencipta. Dia-lah “gambaran gambar-purba” (oerbeel-afbeelding), Dia-lah “contoh-rupa-paling-asli” (voorbeeld-afbeelding); manusia laki-laki perempuan adalah penyandang gambar Allah (beelddragger), potret dari Sang oerbeeld dan voorbeeld, namun tidak berarti Allah itu Superman dan manusia - seorang allah kecil. Allah dan manusia merupakan dua hakikat yang tak sejenis. Allah Pencipta dan manusia ciptaan merupakan dua kualitas yang mutlak berbeda. Allah adalah Allah, manusia adalah manusia.[8]
Manusia (laki-laki perempuan) sama-sama penyandang gambar Allah disebut evenbeeld[9], spiegelbeeld atau precise counterpart.[10] Adam  אָדָ֖ם- maskulin, dan Adamah אֲדָמָ֔ה - feminin menggambarkan hubungan antara sesama makhluk yang dilukiskan setara dan saling melengkapi. Dua-duanya merupakan perwakilan, yang dianalogikan dengan pendirian gambar raja-raja pada zaman purba di daerah jajahannya. Kemandatarisan manusia itu baru berarti kala ia taat dan berelasi dengan Pencipta yang gambar-Nya diwakilinya. Begitu pula dalam hubungan antar-manusia, kedwitunggalannya memiliki makna fundamental sebagai teman sepadan (evenbeeld) dalam “sikap saling” dan “tanggung jawab”.
Kesegambaran dan keserupaan dengan Pencipta menekankan kelebihan manusia atas alam ciptaan, juga tanggung jawab atau misi manusia atas bumi atau tanah (Kej. 1: 26-28; bnd. Kej. 2. 15): mengolah dan memelihara bumi serta isinya sebagai mandat budaya yang diberikan Allah agar manusia tidak mengeksploitasi alam secara tidak wajar. Theo Kobong dalam disertasinya “ Evangelium und Tongkonan” bertutur:
            “Kultur als Aufgabe. Kultur als design for living (Louis Luzbetak)…. Alles, was ‘man made’ ist, ist kultur. Kultur ist also Produkt des Menschen (J. Verkuyl). Kultur kann nicht statisch sein. Sie ist die Dynamik des menschlichen Seins; sie ist ‘design for living’ und darum ist sie Aufgabe; sogar die erste Aufgabe des Menschen in der Bibel, Gen. 1: 26-28…. daB das Kulturproblem ein ‘ enduring problem’ ist fur die Kirche Und fur die Christen uberhaupt….” (“Kultur sebagai Tugas. Beberapa rumusan yang dipandang membantu seperti kultur sebagai petunjuk dalam hidup (Louis Luzbetak); semua yang dikerjakan manusia adalah kultur. Kultur adalah produk manusia (J. Verkuyl). Kultur tidak statis. Kultur adalah dinamika dari keberadaan manusia; kultur adalah petunjuk dalam hidup, dan karenanya kultur merupakan tugas; tugas pertama dari manusia dalam Alkitab, Kejadian 1: 26-28. Namun kultur juga problema teologis yang muncul dalam ungkapan mengusahakan dan memelihara taman (Kej. 2: 15), sedangkan dalam kejadian 1: 26 digunakan taklukan dan berkuasalah…. ).
Richard Niebuhr mengatakan, bahwa problema kultur merupakan problema abadi untuk gereja dan orang Kristen. Ia menitik-beratkan interpretasi pada aspek biblis dan kultur-historis, lantas mengelompokkannya atas lima grup: cultural christians – kekristenan dan kultur dipahami sebagai satu kesatuan, Protestan; Syntesists – Kristus di atas semua kultur, Katolik; conversionist; pada satu pihak, dan dua kelompok pada lain pihak adalah: Dualisten yang memandang Kristus dan Kultur “in paradox”, Lutheran (Zweireichelehre) dan radical christians, maka Kobong menggunakan “kontextuellen Teologie” di mana transformasi kultur dilihat sebagai metode. Dengan transformasi kultur “dalam Kristus” maka kultur kristiani menjadi mungkin; terwujud dalam “Inkarnation als Paradigma” fur die Transformation (Inkarnasi sebagai paradigma untuk transformasi), yakni Firman menjadi manusia; … suatu kebenaran supra-kultur (das Wort ist Mensch geworden; … eine suprakulturelle Wahrheit”. Lantas Kobong melengkapinya dengan berkata: Der mensch ist geschaffen in Gemeinschaft und zur Gemeinschaft, in Liebe und zur Liebe…. Nach der Identitat der christliche Gemeinschaft ist: die Liebe, die Liebe Gottes, wie sie uns in Jesus Christus begegnet ist (“manusia diciptakan dalam persekutuan dan demi persekutuan, dalam kasih dan demi kasih…. Di sinilah identitas persekutuan kristiani itu, yakni: Kasih, Kasih Allah seperti kita dipenuhi kasih dalam Yesus Kristus; Yoh. 1: 16; 1 Yoh. 5: 7-21).[11]
Setelah menjelajah Sumber Priest (Kej. 1), kini beralih sejenak pada sumber Yahwist. Kejadian 2 ayat 18 katakan – Tuhan Allah Berfirman: Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (LAI).  … het is niet goed dat de mensch alleen zij; ik zal hem eene hulpe maken, [die] als tegen over zij.[12]
Kata “tegen over” atau diterjemahkan juga dengan “eene hulp als zijn tegenover” berarti seorang penolong yang berhadap-hadapan”, namun LAI menerjemahkan “penolong…, yang sepadan dengan dia”.  Teks Biblia Hebraica menggunakan אָדָ֖ם, אֲדָמָ֔ה dengan pengertian: 1) berhadapan; 2) memberitahukan.[13] Analoginya demikian: A memberitahukan kepada B sesuatu (C). Jadi orang yang memberitahukan (A) sesuatu adalah seorang yang datang dari suatu tempat lain. Apa yang diberitahukan itu adalah penting dan vital (C). Sedangkan orang yang diberitahukan itu (B) adalah yang berhadapan dengan Sang A.
Dari analogi tersebut “berhadapan” memperkokoh arti “penolong”. Jadi, perempuan penolong berhadapan dengan laki-laki yang segambar dengannya tidak bermaksud bersaing, tetapi “saling menegakan”. Laki-laki perempuan menjadi manusia dalam perjumpaan; yang seorang berhadapan dan menjadi penolong untuk yang lain.
Beralih dari dua sumber tersebut, bagaimana dengan orang-orang seperti Habel dalam kaitan dengan tanggung jawab terhadap tanah? Ternyata tanah yang di atasnya berlangsung aktivitas dengan pelbagai kompleksitasnya, dapat menjadi tempat teduh untuk orang-orang seperti Habel yang dihabisi oleh saudaranya sendiri. Dalam kitab Kejadian 4 ayat 10 Tuhan berfirman: "Apakah yang telah kauperbuat ini? Darah adikmu itu berteriak kepada-Ku dari tanah”.
Di sini, dosa tidak sekadar dilihat sebagai terputusnya hubungan Allah – manusia sehingga manusia terperangkap pada masalah moral semata, tetapi terlebih menyangkut tercabutnya eksistensi manusia dari tanah tempat ia mengakarkan hidup. Dosa, jadinya dikaitkan betul dengan putusnya hubungan manusia – tanah.
       "Apabila engkau mengusahakan tanah itu (אֲדָמָ֔ה), maka tanah itu (אֲדָמָ֔ה) tidak akan memberikan hasil sepenuhnya lagi kepadamu; engkau menjadi seorang pelarian dan pengembara di bumi (בָאָֽרֶץ)" (Kej. 4:12).
Berikut, menurut keyakinan umat Israel, setelah Tanah Kanaan dijanjikan kepada Abraham, Ishak dan Yakub, barulah Allah mengeluarkan mereka dari Mesir (rumah perbudakan), membimbing melewati gurun sampai masuk Kanaan, dan memberikan Tanah itu sebagai pusaka. Dengan diberikan tanah itu, berakhirlah kredo umat Israel (Ul. 26: 5-7; 6: 21-23; Jus. 24: 2-13). Para nabi menggambarkan pemberian Tanah itu sebagai batas (grens; border) antara dua babak yang disifatkan sebagai babak “persiapan” dan babak “penggenapan” (kedewasaan).
Maksud dan tujuan pemberian Tanah itu bukan semata untuk menikmati berkat yang diproduksi dari Tanah, tetapi juga agar mereka menjadi persekutuan yang sungguh kudus.[14] Untuk itu Allah menguduskan Israel dengan cara membangkitkan kesadaran agar: a). mereka menyadari JHWH adalah Allah, b). menyadari diri adalah umat-Nya, c). menyadari tugas terhadap bangsa-bangsa sebagai hamba Allah.
Eksodus dari Mesir – Tanah Perhambaan itu – seolah berujar bahwa hidup ini tidak linear, tetapi terulang. Jadi ada saat di mana terjadi gerakan balik, “gerakan zionisme”. Eksodus menjadi Waktu Kudus, seperti kata Mircea Eliade. Namun yang terpenting, eksodus sebagai moment atau saat (temporal) di mana manusia dipulihkan dari ketakbertanahan (landlessness). Eksodus berarti hidup baru: hidup-bersama-tanah, hidup kembali bersama Allah Bapa di atas Tanah atau Bumi Pertiwi.

Perjanjian Baru
Lebih dari satu dekade, saat umat Kristen se-dunia merayakan Jumat Agung pada 28 April 2000, Rajawali Citra Televisi Indonesia menayangkan Revolutionary II. Di situ diceriterakan, menurut catatan para penginjil, setelah Yesus mati di salib, datang sekomplotan Imam menemui Pilatus. Revolutionary II memperlihatkan ekspresi kejengkelan Pilatus ketika melontarkan pertanyaan, “Raja orang Yahudi mana lagi yang hendak kalian salibkan?” Pertanyaan itu tidak dijawab, karena mereka bermaksud minta penjagaan “tentara”.
            “Tuan, kami ingat, bahwa si penyesat itu sewaktu hidup-Nya berkata: Sesudah tiga hari Aku akan bangkit. Karena itu perintahkanlah untuk menjaga kubur itu sampai hari yang ketiga; jikalau tidak, murid-murid-Nya mungkin datang untuk mencuri Dia, lalu mengatakan kepada rakyat: Ia telah bangkit dari antara orang mati, sehingga penyesatan yang terakhir akan lebih buruk akibatnya dari pada yang pertama” (Mat. 27:63-64).
Di tengah polemik dan apologetik yang tak kunjung usai tentang Kristus yang Bangkit dan Hidup itu, cetusan Malaikat Tuhan kembali menyapa Maria Magdalena cs yang menengok kubur: “... Janganlah kamu takut; sebab aku tahu kamu mencari Yesus yang disalibkan itu. Ia tidak ada di sini, sebab Ia telah bangkit, sama seperti yang telah dikatakan-Nya...” (Mat. 28:5-6).
Tanah pada era Yesus ternyata memperoleh pemahaman dan pemaknaan yang cukup rumit:  Tanah adalah Kematian yang Menghidupkan! Hal ini dipahami begini. Umat Kristen sejagad sungguh-sungguh mengimani dan mangamini bahwa Yesus Kristus benar mati dan dikuburkan dalam gua Kirene. Dalam perkembangan, “gua” itu dilihat sebagai modifikasi kontekstual dari “penguburan di dalam tanah” (spasial). Jadi tanah tidak sekadar menyuburkan dan dijadikan simbol kehidupan, tetapi juga simbol kematian. Namun kematian yang menghidupkan. Brandpunt (titik api) peristiwa Paskah tidak terletak pada kematian-Nya, tetapi pada kebangkitan-Nya. Kematian-dalam-tanah, karenanya, mesti dilihat lewat perspektif kebangkitan dari tanah. Tanah mesti mematikan supaya tanah juga mampu menghidupkan, seperti dicetuskan oleh Yohanes: "... Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia menghasilkan banyak buah" (Yoh. 12:24).
Makna dan jiwa dari cuplikan ini terukir dalam Kidung Jemaat 341: KUASAMU DAN NAMAMULAH,[15] yang di-Indonesia-kan dari judul asli Die Sach ist dein, Herr Jesu Christ karya Johann Michael Haydn. Syairnya digarap dengan teliti dan apik, liriknya menyentuh, musik dan nadanya pun manis dan indah. Itu sebabnya sepanjang abad ke-18 lagu ini tersohor di pelosok dunia. Samuel Preiswerk mengerjakan dua bait pertama, dan bait terakhir digarap oleh Filician von Zaremba.  Pada tahun 1966 E.L. Pohan Shn menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia sehingga terjadi proses transformasi dan penyerapan nilai teologis saat dinyanyikan dengan penuh penghayatan oleh pejabat dan warga gereja.
[1]        Kuasa-Mu dan nama-Mu-lah hendak kami sebar
            dan kar’na itu, ya Tuhan, kami takkan gentar.
            Bagaikan padi segenggam mestilah busuk dipendam,
            Supaya tumbuh dan segar, di panas surya memekar
berbuahlah. Tuaian pun besar.

[2]        Teladan sudah Kau beri demi derita-Mu
dan melalui salib-Mu Kau t’rima kuasa-Mu!
Bagian kami tak lebih, seperti segenggam benih,
melintas kubur yang gelap, agar kelak ‘kan menetap
bersama-Mu di Firdaus gemerlap.

[3]        Bagaikan padi, Tuhan pun “dikubur”, dipendam,
kembali bangkit merebut umat-Mu terkeram.
Ya Tuhan, kirim apalah penabur yang t’lah menyerah
hidupnya untuk kuasa-Mu, memberitakan nama-Mu
agar seg’ra buahnya milik-Mu.
Yang  paling menggembirakan dari peristiwa Kebangkitan Yesus adalah “ruang dan waktu” didamaikan. Para penginjil, menyusul kredo-kredo ekumenis menyatakan bahwa Yesus dikuburkan di dalam tanah (spasial) selama tiga hari (temporal) kemudian bangkit, menunjukkan kenyataan teologis-historis.
            PENGAKUAN IMAN RASULI: “…, menderita di bawah Pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan mati dan dikuburkan, turun ke dalam kerajaan maut, pada hari yang ketiga bangkit pula dari antara orang mati naik ke sorga….”
            PENGAKUAN IMAN NICEA KONSTANTINOPEL: “…, dan menjadi manusia yang disalibkan bagi kita di bawah pemerintahan Pontius Pilatus, menderita, mati dan dikuburkan. Yang bangkit pada hari ketiga sesuai dengan isi kitab suci….”
            PENGAKUANIMAN ATHANASIUS:  “…, demikian juga Allah dan manusia adalah satu Kristus yang telah menderita untuk keselamatan kita, turun ke kerajaan maut, pada hari yang ketiga bangkit dari antara orang mati,….”[16]
Kristus yang hidup mengatasi ruang dan waktu, menjadikan sejarah (Geschiedenis) membumi kokoh dan pasti. Kematian dan Kebangkitan Kristus, mestinya mampu mendamaikan modus temporal dan spasial, meruntuhkan "tembok pemisah" (Ef. 2:14-15) akibat perang dingin teologi Barat yang temporal dan teologi Timur yang spasial kontekstual. Bahkan mendamaikan setiap kubu yang bertikai, mendamaikan laki-laki maskulin dan perempuan feminin menjadi manusia utuh di atas bumi atau tanah tempat berakar, bertumbuh dan menghasilkan buah dari perspektif  teologi yang saya namakan TEOLOGI KEUTUHAN.
Teologi ini hendak dijadikan landasan untuk membicarakan global reconciliation dan global responsibility menyangkut Manusia dan Kemanusiaan, memantapkan komitmen spiritual pendeta GPM sebagai Hamba Tuhan. Selain itu visi eskatologis (temporal) tentang “langit baru” dan “bumi baru” (spasial) dalam Wahyu 21:1-8 menjelaskan pengertian senada sebagai puncak sejarah.[17]
Dalam Kristus, dua modus tersebut dipertemukan, namun yang spasial tetap penting, kalau tidak dikatakan unggul. Gerakan sejarah hidup ini menuju ke tanah yang baru, di mana langit (laki-laki; maskulin) dan tanah (perempuan; feminin) berpadu pada suatu perkawinan (ay. 2), manusia yang berpijak di bumi Pertiwi dipulihkan hubungan mesranya dengan Allah Bapa di sorga. Sejarah gereja bergerak ke sana.
Secara reflektif dapat dikatakan bahwa penanganan dan pemecahan persoalan di Negeri ini dan di GPM secara khusus memang mesti diperjuangkan terus. Persoalan seperti warga masyarakat dan jemaat yang tergusur akibat kerusuhan sosial sebenarnya mencerminkan hati yang dicemaskan terhadap kehidupan yang tak bertanah; kehidupan anak-anak manusia yang tercabut dari tanah tempat mereka berakar, bertumbuh, berkembang, berkarya bersama sesama demi memelihara keselarasan sebagai ciptaan Tuhan sehingga dapat menghasilkan buah. Semakin berakar mereka pada tanah dan mampu mengolah tanah secara partisipatif dapat pula dijadikan pemahaman mendasar dari pembangunan yang bermuatan lokal-kontekstual di seluruh wilayah GPM.
Persoalan ekologis perlu dilihat transparan juga, karena pengrusakan Alam dan Tanah bermula dari dua cara pikir, yakni: terlampau temporal dan terlampau laki-laki. Terlampau temporal, progresif-ekspansif tanpa penghormatan yang layak terhadap tanah dan cara pikir spasial. Terlampau laki-laki, sehingga kurang menghormati “Ibu Pertiwi” serta segala kekayaan yang dirahiminya. Justru itu perlu diperhitungkan betul pandangan dunia budaya Indonesia, khususnya budaya Maluku yang juga spasial dalam mengerjakan Teologi Keutuhan. Karena Teologi Tanah itu pula Teologi Petani, Teologi Peternak; ya, Teologi Keutuhan, Teologi Keselarasan atau apa pun namanya karena di atas tanah-tanah pertiwi ini anak-anak manusia dari berbagai strata, budaya, pendidikan, etnis, seks, profesi melakukan aktifitas berteologi sesuai panggilan Imamat Am orang percaya di lingkungan masyarakat pedalaman, pesisir, pegunungan, pinggiran, perkotaan, atau metropolitan.
Teologi Yesus yang menyejarah mesti diberi muatan asalinya, yaitu Yesus yang menjadi daging, Yesus yang berjalan di tanah Palestina, Yesus yang membumi di kawasan Seribu Pulau. Teologi Tanah hendaknya berkiblat pada Kristus yang mematikan diri-Nya memasuki tanah kubur dan bangkit dari tanah itu. Teologi yang tidak menyetujui ekspansi dan penjarahan tanah-tanah mesti memampukan pejabat dan warga gereja untuk hidup layak, berdamai dengan tanahnya di seluruh wilayah GPM demi pembebasan umat dari dosa perselisihan tentang tanah atau dosa tak bertanah demi kesejahteraan dan keutuhan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Semoga jiwa dan spirit Kebangkitan Kristus mampu mengubah cara gereja (warga, pejabat dan institusi gerejawi) bereksistensi dan berteologi secara utuh dan atau selaras dalam masyarakat multi-kultur di atas tanah-tanah Pertiwi.
Disampaikan pada Temu Raya Pendeta Laki-laki GPM Memantapkan Komitmen dan Spiritualitas Pendeta Laki-laki GPM sebagai Hamba Allah.
Baileo Oikumene Ambon, 2 – 6 September 2011.

CATATAN AKHIR

[1] “Far and Away”. From Wikipedia, the free encyclopedia. 3 September 2011. <http://en.wikipedia.org/wiki/Far_and_Away>
[2] Lihat: Rijks Universiteit Leiden. Instituut voor de Geschiedenis van de Europese Expansie. Leiden: Printshop Ouwehand bv, Leiderdorp, Oktober 1990. Tentang Ekspansi ini dapat dilihat dalam: Itinerario. Itinerario volume XXVII (2003) Number 1. Leiden: Grafaria, 2003. Band. Irene W. Meister “The Bandung Conference: An Appraisal” dalam: Robert Stausz-Hupe and Harry W. Hazard. The Idea of Colonialism. New York: Frederick A. Praeger, Inc., 1958, hlm. 232-270.
[3] Leonard J. Wattimury, Cornelis Adolf Alyona, ed. Kampung dan Jemaat Latta dalam Lintasan Sejarah – HUT Ke-50 Gedung Gereja Elohim 17 April 2007. Bekasi: Trinitas Prima Abadi, 2008, hlm. 10. Dikutip dari: C.P.F. Luhulima, Motip-motip Ekspansi Nederland dalam Abad Keenambelas. Djakarta: Lembaga Research Kebudajaan Nasional, 1971, hlm. 10; Buitenlandse Gulliver’s Travels, Book III, Chapter XI.
[4] Alkitab Elektronik: BibleWorks 8.
[5] “God as mother”. <http://en.wikipedia.org/wiki/Sallie_McFague>
[6] Bijbel. Nederlands Bijbelgenootschap. Haarlem, 1983.
[7] J.T. Wiersma. The Schepping. s’Gravenhage: Boeken-centrum N.V., 1948, hlm. 59-60.
[8] Ibid., hlm. 61-64.
[9] Ibid., hlm. 64. Spiegelbeeld (=persamaan gambar seperti pinang dibelah dua), berarti “Allah yang penuh dengan belas kasihan ingin bergaul dengan manusia yang gambar-Nya ia wakili”.
[10] Spiegelbeeld (gambar yang sesuai pada cermin) atau pricise counterpart yang menunjuk pada manusia sesungguhnya adalah makhluk atau ciptaan, namun diberi martabat khusus dalam keserupaan dengan Allah. Kesegambaran itu menekankan relasi khusus antara manusia dengan Allah Pencipta. Jadi manusia mesti berada dalam relasi dan hidup di dalam relasi dengan Sang Pencipta.
[11] Th. Kobong. Evangelium Und Tongkonan. Hamburg: Missionsakademie an der Universitat Hamburg, Maret 1989, hlm. 191-253.
[12] Bijbel. Staten-General. Kampen: J.H. Kok, 1913.
[13] Gerhard Lisowsky. Konkordanz Zum Hebraischen Alten Testament. Stuttgart: Wurtt. Bibelanstals Stutgart, 1958., hlm. 89 menyebut: אָדָ֖ם berarti: gegenuber// in front of// atau coram.
[14] Bnd. misalnya W.R.F. Browning. Kamus Alkitab; A Dictionary of the Bible. Panduan Dasar ke salam Kitab-kitab, Tema, Tempat, Tokoh, dan Istilah Alkitabiah. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2008, hlm. 435.
[15] YAMUGER. Kidung Jemaat. Jakarta: P.T. BPK Gunung Mulia, 1987.
[16] Gereja Protestan Maluku. Himpunan Liturgi Gereja Protestan Maluku. Ambon: Sekretariat Umum Gereja Protestan Maluku, 1997, hlm. 146-150. Konsep “ten derden dage” gebeurde, dapat dilihat dalam “Waarom Opstanding moet”, Pinchas Lapide. Opstanding – Een Joodse Geloofservaring. Netherland: Uitgeversmaatschappij J.H. Kok Kampen, 1983, hlm. 46-47.; Henri Veldhuis. Kijk op Geloof – Christelijk Geloof Uitgelegd. Nederland; Uitgeverij Boekencentrum – Zoetermeer, 2009, hlm. 143-155.
[17] I. Suharyo Pr. Membaca Kitab Suci. Mengenal Tulisan Perjanjian Baru. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991., hlm. 177.




zaterdag 9 juli 2011

ANGSA

PEKIKAN PROFETIS SANG PROFESOR ITU

Jumat 8 Juli 2011, saat sedang fokus pada pekerjaan di ruang kerja di kantor Fakultas Teologi UKIM Tanah Lapang Kecil Ambon, sekitar pukul 11.00 saya dikejutkan oleh kehadiran tiga mahasiswi yang tampak gelisah gara-gara belum dapat menjawab pertanyaan mengenai mengapa simbol Angsa dipajang pada toren gereja di Negeri Kincir Angin. Pertanyaan tersebut bukan saja menantang, tetapi juga mengagetkan dikarenakan di banyak toren gereja dipajang simbol ayam jantan.
Sebenarnya pertanyaan tersebut sejak beberapa minggu lalu sudah diutarakan secara langsung dan tidak langsung via sms. Namun karena terkesan mendesak, apalagi jawaban yang diharapkan belum ditemukan selama pencarian, maka saya yang semula dinging menyikapinya, mulai serius sembari memberikan penjelasan seadanya.

Apa Sebabnya Angsa?

Melalui salah satu situs di internet, saya menemukan untaian kata-kata indah, sekaligus dijadikan entry point memasuki pergulatan yang belum tuntas terjawab.
De Gereformeerden hebben een haantje,
De Luthersen hebben een zwaantje,
De Roomsen hebben een kruisje,
En de Mennisten een houten huisje.
Maar waarom hebben wij nou toch die zwaan?
Artinya, orang-orang Gereformeerd menggunakan simbol ayam jantan [pada toren gereja], orang-orang Lutheran menggunakan Angsa, orang-orang Katolik lengket dengan simbol Salib, dan orang-orang Menonit menggunakan simbol rumah kayu.
“Tetapi mengapa kami menggunakan simbol Angsa?” (… maar waarom hebben wij nou toch die zwaan?), pernah dipertanyakan warga Lutheran di Belanda, dan tentu saja menimbulkan banyak tanya di kalangan warga gereja pada masa kini.
Pertanyaan tersebut seyogianya menghentak, sekaligus mengantar saya untuk sedikit bernostalgia; mengingat kembali sebuah bangunan Gereja Lutheran yang terletak di jalan Korenmarkt Arnhem, tempat saya pernah menetap dan mengabdikan sebagian hidup di lingkungan Dewan Gereja-gereja asal Maluku di Belanda (Raad van Molukse Kerken in Nederland). Gedung gereja megah yang diarsiteki Leendert Viervant de Oude (vermoedelijk) itu dibangun dalam kurun dua tahun (1735-1737) dengan gaya klasik dan dekorasi a la Louis XIV. Hal ini dapat dipahami karena sejak tahun 1579 telah hadir di Arnhem, provinsi Gelderland, penganut gereja gereformeerd, hanya tinggi toren berpajang Angsa tidak sebanding toren tertinggi di Belanda, De Domtoren yang terletak di Utrecht.

Simbol yang Menyimpan Makna Historis

Angsa merupakan simbol yang sangat mungkin hanya digunakan gereja Lutheran di Nederland; tidak digunakan oleh gereja-gereja di dunia yang lebih familiar dengan lambang ayam jantan atau salib. Simbol Angsa itu bersumber dari cerita reformator Tsjechische yang bernama Johannes Hus, precursor atau pendahulu Reformasi pada awal abad ke-15.
Lho, koq bisa? Bukankah Martinus Luther (1483-2546) kelahiran Eisleben 10 November 1483 yang pantas disematkan gelar Reformator? La iyalah…. Tetapi camkan, bahwa Luther bukan orang pertama yang mencanangkan reformasi gereja di Eropa, karena ada sejumlah perintis Reformasi yang telah mendahuluinya. John Wycliffe (sekitar 1329-1384) di Inggris misalnya, dan Johannes Hus (1373-1415) meneruskan ajaran Wychliffe di Bohemia yang kini lebih populer dengan sebutan Cheko. Jan Sihar Aritonang – yang belum lama ini dikukuhkan menjadi Guru Besar di bidang Sejarah Gereja pada Sekolah Tinggi Theologi Jakarta –  dengan ciri kebapaannya yang muncul dari sikap tegas dan disiplin ketat itu melukiskan pemunculan Wychliffe dan Hus bagaikan “buah yang belum cukup matang” atau “telur yang belum cukup lama dierami” dikarenakan keadaan yang belum kondusif untuk melahirkan pembaruan menyeluruh dari/dalam gereja Katolik yang tangguh.
Hus yang pada zamannya bekerja sebagai Guru Besar dan pemberita Injil di kota Praha itu mengajar ajaran Wychliffe kepada mahasiswa dan umat Kristen di Bohemia. Di lingkungan gereja yang tangguh itu, Hus tampil dengan ciri kritis dan secara tajam menyikapi penyelewengan yang terjadi dalam Gereja Katolik sebagai Gereja Ibu (Mother Church). Karena itu Hus dituntut untuk bertanggung jawab kepada Konsili (hervomingconcilie) di Constanz (Konstanz). Ujung-ujungnya Hus dikutuki, Praha dihukum oleh Paus.
Menanggapi sikap keras Paus itu, seluruh daerah bangkit melawan Roma. Keizer Sigismund muncul dengan cepat dan antusias menyelesaikan huru-hara. Istilahnya, “lebih cepat, lebih baik “. Hus dibujuk ke Constanz dengan harapan perkaranya dapat dirundingkan dalam Konsili. Raja berjanji untuk melindunginya. Namun yang terjadi, malah Hus ditangkap, dan atas perintah gereja, ia dipenjarakan dan disiksa dengan amat kejam. Hus dibiarkan Sigismund, karena bersikeras tidak mau menarik ajarannya. Akhirnya Hus dihukum mati dan dibakar hidup-hidup di Constanz pada 6 Juli 1415. Tidak lama kemudian sahabatnya Hieronymus dari Praha menyusuli jejak Hus; diadili, dan dibakar.
“Tragedi kemanusiaan” itu yang menjadi sumber menyulutnya perang Husit melawan raja dan gereja. Di mana-mana kaum Husit membunuh dan membakar, teristimewa rumah-rumah biara; dan pasukan-pasukan Paus dapat dilumpuhkan. Lama-kelamaan perang ini dapat diakhiri juga, dan Paus mesti mengakui kehadiran Gereja Husit yang tak jauh bersanding dengan Gereja Katolik Roma di Bohemia.
Sampai di sini, pada satu sisi, pertanyaan tersebut belum terjawab, namun di sisi lain pelukisan latar belakang perjuangan dan pengorbanan Hus memberikan sinyal ke arah itu. Brand punt atau titik api itu terletak pada ketimpangan putusan Konsili yang berujung pada peristiwa perih yang mengakhiri riwayat Hus.
Sebelum eksekusi mati dilaksanakan, Hus menulis kepada jemaat-jemaat yang pernah dilayaninya: “Gij zult nu een gans braden, maar over 100 jaar zult gij een zwaan horen zingen, die gij wel moet verdragen, en daar zal het ook bij blijven, zo God het wil”. Ada pula tradisi yang menyebutkan bahwa saat-saat menghadapi kematian di bawah tumpukan api “neraka” itu, Hus yang malang memekik keras: Jullie verbranden nu een gans, maar er zal een zwaan uit zijn as herrijzen! Artinya: “Kalian sekarang membakar seekor angsa (gans//zwemvogel), tetapi akan ada seekor angsa (zwaan) yang bangkit kembali”. Angsa yang dimaksudkan ialah Johannes Hus sendiri yang akan dihukum, tetapi akan muncul Angsa yang lain. Mengapa demikian? Tentu saja karena HUS (husa = gans) dalam bahasa Bohemia sama artinya dengan Angsa dalam bahasa Indonesia, Goose (Ing.), atau Zwaan (Bel.), dan Angsa yang lain itu dimaksudkan para pengikutnya.
Benarlah pekikan profetis Hus yang mewujud seabad kemudian. Sekitar seratus tahun setelah tragedi yang mengenaskan itu, Luther tampil pada jalan (spoor; track) yang sama seperti Hus, dan terjadilah Reformasi. Dari situ, dijadikanlah Angsa sebagai simbol untuk Luther dan Gereja Lutheran, namun sumber dan inspirasi Angsa itu merujuk pada Sang Profesor Johannes Hus sendiri. Luther sendiri pernah menulis: Sint Johannes Hus heeft, toen hij uit de gevangenis naar het Boheemse land schreef, over mij voorspeld: Gij zult nu een gans braden, maar over 100 jaar zult gij een zwaan horen zingen, die gij zult moet verdragen en daar zal het ook bij blijven, zo God het wil.
Angsa itulah, pendahulu Reformasi, sang Profesor Johannes Hus.
Jiwa dan pekikannya terwujud seabad kemudian pada sosok Reformator Luther.
Angsa mengingatkan orang pada dua-duanya, Hus dan Luther, Lutheran dan Lutheranisme.

Sumber
Aland Kurt. A History of Christianity – From the Reformation to the Present, Vol. 2. Philadelphia: Fortress Press, 1982.
Aritonang Jan. S. Berbagai Aliran Di Dalam dan Di Sekitar Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
Enklaar, I.H. Sedjarah Geredja Ringkas. Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1966.
Lane Tony. Runtut Pijar – Sejarah Pemikiran Kristiani. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1996.
Nepveu R.M. Welke Kerk Is Dat? – Kennismaking met de kerken en Kerkgenootschappen in Nederland. Antwerpen/Ede: Zomer & Keuning, 1984.
http://www.luthersheusden.nl/luthers.php
http://www.luthersegemeentezutphen.nl/kerk.html
http://www.elkz.nl/Lutherse-symboliek-en-traditie/luther-en-de-zwaan.html
http://www.luthersekerkpekela.nl/index.php?option=com_content&view=article&id=62&Itemid=66
http://www.pkn-eindhoven.nl/kennismaken/symbolen

DIBUTUHKAN PIMPINAN ROH DI TENGAH FENOMENA DAN ANCAMAN KLEPTOKRASI



YESAYA 63: 7-14
7 Aku hendak menyebut-nyebut perbuatan kasih setia TUHAN, perbuatan TUHAN yang masyhur, sesuai dengan segala yang dilakukan TUHAN kepada kita, dan kebajikan yang besar kepada kaum Israel yang dilakukan-Nya kepada mereka sesuai dengan kasih sayang-Nya dan sesuai dengan kasih setia-Nya yang besar.
8 Bukankah Ia berfirman: "Sungguh, merekalah umat-Ku, anak-anak yang tidak akan berlaku curang," maka Ia menjadi Juruselamat mereka
9 dalam segala kesesakan mereka. Bukan seorang duta atau utusan, melainkan Ia sendirilah yang menyelamatkan mereka; Dialah yang menebus mereka dalam kasih-Nya dan belas kasihan-Nya. Ia mengangkat dan menggendong mereka selama zaman dahulu kala.
10 Tetapi mereka memberontak dan mendukakan Roh Kudus-Nya; maka Ia berubah menjadi musuh mereka, dan Ia sendiri berperang melawan mereka.
11 Lalu teringatlah mereka kepada zaman dahulu kala, zaman Musa, hamba-Nya itu: Di manakah Dia yang membawa mereka naik dari laut bersama-sama dengan penggembala kambing domba-Nya? Di manakah Dia yang menaruh Roh Kudus-Nya dalam hati mereka;
12 yang dengan tangan-Nya yang agung menyertai Musa di sebelah kanan; yang membelah air di depan mereka untuk membuat nama abadi bagi-Nya;
13 yang menuntun mereka melintasi samudera raya seperti kuda melintasi padang gurun? Mereka tidak pernah tersandung,
14 seperti ternak yang turun ke dalam lembah. Roh TUHAN membawa mereka ke tempat perhentian. Demikianlah Engkau memimpin umat-Mu untuk membuat nama yang agung bagi-Mu.

Syalom Elekhem
Sabtu kemarin, 9 Juli 2011, Harian Kompas yang menyuarakan ’Hati Nurani Rakyat’ sempat menghentak kita dengan menampilkan headline berjudul: NEGARA MENGARAH KLEPTOKRASI.
Kleptokrasi  yang terdiri dari dua kata Yunani: klepto dan kratein berarti sekelompok orang yang ‘diperintahi oleh para maling. Kleptokrasi mengacu pada suatu bentuk administrasi yang menggunakan uang publik (masyarakat) untuk memperkaya diri (penguasa dan antek-anteknya). Menurut Kompas, korupsi tidak hanya terjadi di lembaga yudikatif, tetapi juga legislatif dan eksekutif. Kondisi ini diketahui pemerintah dan rakyat, namun pemerintah tidak berhasil mengatasinya. Bangsa Indonesia mengarah menjadi Negara Kleptokrasi: negara yang diperintahi oleh para pencuri.
Dari cuplikan tersebut kita peroleh gambaran kira-kira tentang kondisi masyarakat dan banyak pemimpin di hampir semua jenjang sedang mengalami degradasi akhlak yang berimplikasi pada parahnya kualitas hidup manusia beragama. Namun kita mesti pula objektif karena masih ada orang dan institusi yang terus membenahi diri, serta oleh dorongan moral dan hukum terus membasmi KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) dari Bumi Pertiwi.
Dalam kondisi politik yang kacau dan berantakan, masihkah ada Tuhan yang diharapkan dapat berperan di balik gerakan moral spiritual untuk menangkal fenomena dan ancaman kleptokrasi demi menghadirkan masyarakat yang adil berkemakmuran dan makmur berkeadilan? Masihkah ada Tuhan yang menawarkan cara yang lebih arif dan beradab ketimbang teriakan histeris dan demo yang kadang diperalat atau cenderung anarkhis demi tujuan tertentu? Masih adakah Tuhan yang selalu hadir dan menopang kala kita sendirian sehingga tak sunyi dan merasa tidak ditinggalkan (alone but not lonely)?
Yesaya 63: 7-14 dipandang relevan untuk kita menimba kekuatan dan penghiburan, inspirasi dan motivasi, dan dengan pencerahan cara pandang kita dituntun untuk dapat mengendalikan diri dan ambisi pikir dalam rangka mencari solusi atau alternatif.

ALLA YANG TERASA JAUH, SESUNGGUHNYA DEKAT
Pekikan dan aksi demo yang menuntut perubahan segera pada satu sisi, doa syafaat semua umat beragama yang mengharapkan hadirnya masyarakat yang adil sejahtera di sisi lain, mirip dengan seruan umat Israel (Yehuda) sekembali dari pembuangan di Babel. Mereka mengalami shock karena keadaan di pemukiman baru jauh dari harapan. Di banyak tempat timbul gejolak dan berbagai bentuk kejahatan, pertentangan, pesimisme membangun kembali Yerusalem dari kehancuran, dan lain-lain.
Keadaan yang tidak menjanjikan itu oleh sang Nabi (Trito Yesaya) dipandang sebagai tindakan Allah yang menunda memenuhi janji-Nya (band. Yes. 59-62). Umat yang sulit melepaskan diri dari lilitan beban hidup justru tak sabar sehingga tak sanggup menangkap makna dari rasa aman, damai dan sejahtera yang tertunda. Akibatnya terjadi banyak spekulasi, curiga, persoalan, dan dengan nada mineur mereka berseru: Di manakah Allah? (ay. 11 dst.; band. ay. 17 dst.). Di manakah Allah yang dulu sangat peduli dan selalu membantu kala dimintai pertolongan, justru kini seakan bisu; tidak tampak dan terasa terlalu jauh?
Sesungguhnya Allah yang terasa terlalu jauh itu, begitu dekat dengan kita dan seluruh ciptaan-Nya. Ia ada hadir, tetapi pada saat yang sama terasa jauh. Ia tiada, tetapi sekaligus dapat dirasakan. Masalah umat Israel, juga masalah kita dikarenakan sikap tertutup sehingga sulit membuka diri untuk merasakan kehadiran Allah dan Roh-Nya. Kita merasa seakan telah kehilangan Allah sehingga sikap dan perilaku cenderung bertentangan dengan kehendak-Nya lantas mendatangkan tragedi kepada sesama serta bencana terhadap semesta. Oleh karena itu kita perlu meneropong sejenak kebiasaan berdoa, seperti berdoa kala hendak makan, hendak melakukan perjalanan melintasi udara, menyeberang lautan, mendaki gunung menuruni lembah, mengikuti ujian, ditinggalkan orang-orang yang dikasihi, dan seribu satu persoalan yang disampaikan lewat “bicara kepada Tuhan”. Semua “doa aktif” yang dipanjatkan dan akan selalu kita lakukan, sungguh tak ada yang salah.
Dari perspektif Yesaya 63, kita bisa bercermin juga dari Soren Aabey Kierkegaard kelahiran Kopenhagen (1813) tentang bagaimana caranya menghadirkan dan merasakan bahwa Tuhan itu sungguh dekat. Kierkegaard, lulusan ilmu teologi tahun 1840 itu tak sanggup mengusir rongrongan rasa gunda di hati sepanjang hidupnya, namun ternyata melalui tulisan-tulisan yang lahir dari pengalaman hidupnya yang tragis dan menyendiri telah meninggalkan pesona yang luar biasa kuat buat teolog Karl Barth dan gerakan Ortodoksi Baru. Ia berkata: Allah adalah Yang Tidak Dikenal. Karena dosa, maka jurang antara kebejatan manusia dan kekudusan Allah tetap menganga, malah terus melebar. Jika tidak ada kesadaran dan penyesalan, maka bentuk-bentuk kekristenan yang kelihatannya hidup, tetapi sebenarnya dangkal dan tak berakar. Oleh sebab itu ia menawarkan solusi yang dituangkan dalam kalimat puitis:
“Ketika seseorang berdoa, pertama kali yang ada di dalam pikirannya bahwa BERDOA adalah BERBICARA. Namun manakala ia HENING dan SEMAKIN HENING, akhirnya ia menyadari bahwa BERDOA adalah MENDENGARKAN”.
“Doa kontemplatif” a la Kierkegaard ini kiranya dapat dipraktikkan dalam rangka mengalami dan merasakan kehadiran Tuhan setiap kali kita membutuhkan-Nya pada saat tenang, pada saat tergoncang, kacau dan panik, pada saat sedih, pada saat apa pun dan di mana pun sehingga perlu dijemaatkan.

SEJARAH SEBAGAI KISAH; CARA MENYIKAPI TANTANGAN
Kala dilanda susah, umat Israel tak henti-hentinya melempar tanya: Di manakah Allah? Namun nabi tampil di pentas sejarah sembari mengajak mereka untuk belajar dari sejarah. Belajar dengan cara menuturkan atau berkisah tentang Allah yang pernah mereka hindari dan jauhi, belajar tentang Allah yang pernah tidak mereka pedulikan namun sungguh dikasihi-Nya (ay. 6-9). Bertutur tentang Allah yang terasa jauh sekaligus dekat itu telah membuktikan diri-Nya sebagai Allah yang selalu memimpin dan menuntun melewati tapak sejarah penuh duri dan kelam hingga tiba di tempat damai.
Entah umat Israel entah kita di abad ini, semuanya diajak agar tidak semata mengenal Tuhan melalui kekuasaan-Nya, tetapi juga melalui pengampunan berdasarkan kasih dan belas kasihan-Nya. Yesaya berkata: ’Aku hendak menyebut-nyebut perbuatan kasih setia Tuhan’ (ay. 7).
Menyebut  [mention (NAS): zakar =אַזְכִּיר :remember   (WTT)] dimaksudkan mengingat kembali, memasukkan kembali semua pengalaman yang manis dan yang pahit, yang sukses dan yang gagal ke dalam ingatan supaya muncul kesadaran tentang tindakan Tuhan yang telah nyata dalam sejarah.
Mengingat-ingat kembali tindakan Tuhan di masa silam merupakan cara untuk menyadarkan kita tentang kehadiran Tuhan; cara untuk menumbuhkan keyakinan kita tentang kasih setia Tuhan; cara untuk menumbuhkan harapan sehingga kita lebih bersemangat, bangkit dari keterpurukan, betapa pun bobroknya situasi dan kondisi sekarang. Di situlah kita belajar tentang figur pemimpin dan kepemimpinan Tuhan untuk diterapkan di tempat kita mengais hidup atau di mana pun kita dipercayakan untuk suatu tugas.
Kita diajak untuk bertutur, tetapi juga diajak bernostalgia bersama Yesaya (ay. 11-14) untuk membuktikan kehadiran dan kemahakuasaan Tuhan dengan cara mengingat kembali kisah Musa yang memimpin Israel ke luar dari Mesir.
Musa tidak hanya memimpin Israel ke luar dari Mesir setelah sekian lama hidup dalam perbudakan, tetapi juga membawa perubahan status, dan menggiring mereka kembali kepada Tuhan. Melalui banyak mujizat dan peristiwa adhikodrati, keyakinan Israel kepada Tuhan tumbuh kembali. Kisah menyeberang Laut (Kel. 14 : 15-31) menghindari ancaman kematian atau agar tidak diperbudak lagi, menunjukkan betapa Tuhan tidak mengingkari janji untuk melepaskan dan membebaskan Israel. Kisah melintasi gurun yang situasi dan kondisinya tidak bersahabat dan mengancam keselamatan, menunjukkan betapa Tuhan tampil sebagai Penolong dan Penyelamat. Kisah Tuhan membagi Roh Kudus kepada 70 tua-tua (Bil. 11: 17, 25), menunjukkan bahwa Tuhan tidak hanya mengutus nabi, tetapi juga tua-tua untuk memimpin dan memulihkan keadaan.
Tidak ada yang mampu menghalangi Tuhan untuk menggenapi janji-janji-Nya. Jika figur seorang pemimpin yang handal dapat dilihat dari pekerjaannya, maka figur Allah sebagai Pemimpin dapat dilihat dan dikenal dari perbuatan atau tindakan-Nya yang masyhur, kebajikan-Nya yang besar (ay. 7 dst.) berdasarkan janji-Nya. Tuhan-lah Juruselamat dalam segala hal, bukan duta atau sekadar menjadi utusan, diplomat atau pihak ketiga, tetapi Tuhan yang bertindak sesuai janji yang dibuat-Nya.

BUKAN NATO, TETAPI ROH
Mungkin kita pernah mendengar istilah NATO; tetapi yang saya maksudkan bukan North Atlantic Treaty Organisation – Organisasi Perjanjian Atlantik Utara yang bersangkut-paut dengan tugas aparat keamanan; yang dalam konteks kita bersangkut paut dengan batas wilayah agar tidak terjadi pelanggaran dan konflik di laut Cina Selatan, di laut Arafura, di kawasan Maluku Tenggara, di Perbatasan Timtim, termasuk di perbatasan Mardika – Batumerah, Batu Gantung - Perigi Lima, atau agar tidak ada bom molotov, rudal patriot yang jatuh di Kalimantan, di tanah Jawa, di Sulawesi Selatan, di Sumatera, di Papua, atau di Ambon.
NATO yang dimaksudkan adalah singkatan dari NO ACTION TALK ONLY. Nato dalam pengertian ini biasanya dikenakan pada orang-orang yang suka bicara, yang suka menghumbar janji, tetapi tidak melakukan sesuatu sesuai janji atau kesepakatan.
Seorang ibu pasti kecewa, kala anak-anak yang dikasihinya menyimpang dari perjanjian untuk rajin dan berlaku jujur dalam segala hal. Seorang guru pasti kecewa, kala murid-murid yang diasuhnya mengingkari kesepakatan untuk tidak menghabiskan waktu belajar di depan play station atau televisi. Seorang anggota polisi akan menggerutu karena masyarakat yang diayominya tidak menunjukkan kehendak baik menjaga keamanan dan ketenteraman lingkungan. Rohaniwan akan sangat terpukul, kala umat yang dipimpinnya tersesat dalam tindak kekerasan dan penghancuran berbagai fasilitas umum dan menyerang manusia dan kemanusiaan atas nama Tuhan. Pemimpin bisa frustrasi, kala ada saja rekan sekerja yang tidak menunjukkan itikad baik untuk membudayakan etos, disiplin dan santun demi efisiensi dan produktifitas kerja.
Dapat dibayangkan, betapa kecewanya kita, kala seseorang tidak mampu mewujudkan sikap dan tindakan penuh semangat dan meyakinkan berdasarkan janji yang diucapkan. Apabila sikap “nato” ini terus dibiarkan, maka akan muncul kekecewaan, yang lambat-laun melahirkan rasa tidak percaya. Bukankah ketidakpercayaan sering menjadi faktor penyebab rusaknya suatu hubungan? Sebaliknya, jika tindakan nyata diwujudkan sesuai janji atau kesepakatan, maka akan menghasilkan kebahagiaan, yang pada gilirannya tidak semata menimbulkan rasa senang, tetapi juga rasa percaya. Kepercayaan menjadi faktor pemererat suatu hubungan.
Dalam rangka menjaga keharmonisan dan kelanggengan, kita membutuhkan kekuatan yang berasal dari luar diri, yakni Roh Kudus atau Roh Tuhan.
Roh Tuhan, seperti dikatakan ayat 14 itu: memimpin atau membawa Israel ke tempat perhentian  (ay. 14). Tempat perhentian (nawah: rest (NAS)//(תְּנִיחֶ֑נּוּ  (WTT) itu mengandung makna bahwa Israel dibebaskan dari ancaman musuh, termasuk dibebaskan dari kelaparan, kemiskinan, penindasan, perang dll.; suatu kondisi yang sangat kontras dengan saat ketika masih di Mesir, atau di gurun. Jadi Roh Tuhan itu-lah Roh atau Allah yang memimpin Israel mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan lebih bermutu. Di situlah makna kepemimpinan Tuhan. Tuhan memimpin dengan tujuan jelas dan secara khusus mewujudkan kepentingan dan kesejahteraan umat yang dipimpin-Nya.Respons umat terhadap kesejahteraan yang dialami, antara lain menjadi orang-orang yang memuliakan Allah. Jadi hidup umat yang dipimpin Roh Allah seharusnya menjadi hidup yang memuliakan Tuhan.
Yesaya 63: 7-14 memperlihatkan teladan kepemimpinan yang seharusnya diaktakan oleh orang percaya di mana saja ia dipanggil untuk memimpin dan menjadi pemimpin. Maka hendaknya kita menjadi pemimpin yang memimpin dengan tujuan membawa umat kepada kesejahteraan, perdamaian dan kelegaan. Umat harus merasakan kepedulian dari pemimpinnya, dan bersama-sama meningkatkan mutu hidup, menggapai sejahtera, menciptakan rasa damai dan kebebasan serta menjamin hak-hak hidup dasariah umat manusia. Untuk itulah kita mesti waspada, agar tidak dikejutkan dengan mengenal perasaan Tuhan kala Ia berbalik menjadi musuh. Roh Kudus mesti diminta untuk memimpin gereja dan masyarakat di semua jenjang agar kepemimpinan yang diselenggarakan menjadi kepemimpinan yang membawa kebaikan kepada masyarakat demi kemuliaan Tuhan.

Disampaikan dalam Ibadah Minggu di Gereja Efrata Tantui, Jemaat GPM Pandan Kasturi, Klasis Pulau Ambon, pada hari Minggu 10 Juli 2011, pukul 09.00.

woensdag 6 juli 2011

JEMAAT LATTA DALAM LINTASAN SEJARAH (1)


Periode Awal sampai dengan 6 September 1935

DUA SISI DARI SATU GOBANG
Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda pernah hadir di Nusantara. Pada umumnya ekspansi mereka berakar pada pandangan hidup dan pandangan dunia Abad 16, 17 yang dipengaruhi oleh agama dan lembaga-lembaganya. Tetapi Belanda lebih terdorong oleh faktor ekonomi karena konstelasi geografis memaksa penduduknya mencari makan di laut. Kedudukan di antara dua sentra perdagangan Eropa (Laut Baltik dan Laut Tengah) juga memaksa Belanda memusatkan lalu-lintas perdagangan Eropa ke kota-kota pelabuhannya. Dengan semangat dagang yang kuat, dikembangkan sifat toleransi di tiap pusat perniagaan; mirip dengan  trick yang dilakukan para saudagar pada umumnya.
Ketika dagang dikaitkan dengan agama, muncul multitafsir. Christoph Langhansz berkata sinis, yang dipikirkan mereka cuma dagang, untung. Penyebaran agama akan membuat orang pribumi jadi pandai, tapi tidak menjadi orang Kristen yang baik, malah melahirkan perlawanan. Kalau pedagang Cina dibolehkan memeluk agamanya secara bebas karena pemasok pajak besar tiap bulan. Menurut Jonathan Swift, mereka bersedia menghina setiap simbol agama Kristen, asal bisa berdagang dengan Jepang.[i] Dengan kata lain, Mau Kaya? Setan Di Depan. Setelah Kaya, Tuhan Di Depan.
Makna simbol itu tampak pada saga. Saga adalah lambang hukuman Tuhan terhadap para pedagang Belanda yang tidak menghiraukan nilai agama dalam pemikiran dan tindakan. Saga adalah simbol kerjasama para saudagar dengan Setan. Tetapi Saga juga lambang dari ketidaktenteraman jiwa. Itulah saga “De Vliegende Hollander”, saga-nya orang-orang Holland yang ekspansif-progresif, yang sadar bahwa mendulang harta dan meraup keuntungan berlebih-lebihan, tidak dibenarkan. Kesadaran dan orientasi hidup tersebut tampak pada inti dari salah satu rumusan doa yang diucap pada pembukaan setiap rapat Dewan Hindia: “mohon dosa diampuni, supaya dengan tuntunan Roh Kudus, keputusan yang diambil tidak kontraproduktif demi kemakmuran Belanda, kepentingan dan keuntungan pegawai VOC”.[ii]
Berbeda dengan Langhansz, Johan Sigmund Wurffbain memaparkan fakta lain. Di Banda, orang Belanda memperlihatkan semangat mengkristenkan penduduk. Mereka mendirikan sekolah-sekolah bagi anak-anak pribumi sehingga banyak yang menerima Die Reformierte Religion, dapat membaca dan menulis dalam bahasa Belanda yang baik.[iii]
Dalam instruksi Staten Generaal (Pemerintah Pusat), Staten van Holland (Pemerintah Propinsi) sebelum Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dibentuk, termasuk octrooi (Surat Kuasa) pertama (1602), tidak satu ayat pun menyebut amanat penyebaran agama, kecuali octrooi kedua yang diterbitkan Staten Generaal pada tahun 1622.[iv] Dengan octrooi ini, konsentrasi tidak hanya dagang dan pemerintahan, tetapi juga agama.
Menyangkut dagang, VOC memang profesional, namun awam di bidang keagamaan sehingga untuk mengurus gereja, ditempuh jalan pintas; menjiplak dan memodifikasi pola gereja Gereformeerd di Belanda yang calvinistis. Mulai dari tata ibadah, jam ibadah, peribadahan, organisasi dengan Tata Gereja Presbiterial Sinodal yang ditetapkan Sinode Dordrecht (1618-1619), sampai pembinaan umat dengan menggunakan Pengakuan Iman Belanda, Pasal-pasal Iman Dordrecht dan Katekismus Heidelberg. Urusan keuangan, sepenuhnya ditangani VOC.[v] Imbas kekristenan ini sangat terasa di pusat VOC seperti Batavia dan Ambon; namun renggang.
Sebastiaen Danckaerts yang tiba di Ambon pada 2 Januari 1618 membangun sekolah, yang sudah ada pada sebuah gudang tenun yang direnovasi, dan mulai mendidik guru-guru sekolah. Kemudian mereka dididik di rumahnya dengan menggunakan buku terjemahan Heidelbergse Catechismus (1623), buku ajar Marnix "Aldegonda" (van Marnix van Aldegonda) serta Kamus Melayu-Nederlands.[vi] Di kemudian hari, dibangun sistem pendidikan sederhana untuk penduduk pribumi berupa Sekolah Desa di negeri-negeri Kristen. Sekolah itu dipercayakan kepada para guru, tetapi diawasi dan dibiayai oleh VOC. Untuk merekrut tenaga pengajar, dibangun seminarie bagi putra-putra golongan penguasa desa agar belajar membaca, menulis, berhitung, dan menyanyi.[vii]
Jadi kekristenan dan pendidikan dikembangkan bersamaan; terjelma dalam dwifungsi guru. Di sekolah ia berperan sebagai pendidik dan pengajar. Di masyarakat dan jemaat ia berfungsi sebagai Guru Injil. Guru menjadi figur publik dan bapa rohani dari masyarakat dan gereja; ibarat dua sisi dari satu gobang. Gobang – mata uang tempo dulu tidak lagi dimaksudkan dagang, duit, pajak atau profit, tetapi paduan kekristenan pendidikan.
Ketika VOC bangkrut dan dibubarkan pada 31 Desember 1799 (Abad 18) gara-gara perdagangan gelap, pungutan liar dan korupsi yang dilakukan pegawai VOC, babak berikut dimulai pada 1 Januari 1800 (Abad 19). Semua peninggalan VOC diambil-alih dan diurus oleh Pemerintah Hindia Belanda hingga pendudukan Jepang (1942). Dengan catatan, Inggris pernah memegang pemerintahan atas Ambon. Gubernur Alexander Cornabe menyerahkan Ambon kepada pimpinan ekspedisi militer Inggris Admiraal P. Rainer (17 Februari 1796 – 1 Maret 1803) dan pemerintahan Inggris berikutnya dari 19 Februari 1810 hingga 25 Maret 1817.[viii]

SOSOK DAN SOMBAR
Sosok pertama: Pemerintah Inggris; tak acuh, tapi juga acuh. Sosok kedua: Gouvernement, Pemerintah Hindia Belanda, penguasa. Sosok ketiga: Indische Kerk, Gereja Negara yang mapan, bercorak calvinistis. Sosok keempat: Zending, lembaga Pekabaran Injil; independen dengan warna pietis. Yang dilihat bukan strategi dan aksi, karena serialnya hampir sepanjang satu setengah abad. Tapi penggalan interaksi yang sombarnya terpantul di Latta.

PEMERINTAHAN INGGRIS
Ketika Rainer mengambil alih kekuasaan, di Ambon hanya ada dua gedung gereja. Groote Kerk atau Gereja Besar, didirikan oleh Gubernur B. Van Pleuren (1781) untuk jemaat Melayu, yang terletak dekat perkampungan Tionghoa. Hollandse Kerk atau Koepelkerk, selesai dibangun tahun 1712 untuk Jemaat Belanda namun pernah digunakan Inggris sebagai gudang (Pakhuis).[ix] Kekristenan di Ambon makin memprihatinkan karena sejak 1794 di Kota Ambon tidak pernah ditempatkan Pendeta tetap sehingga pelayanan Sakramen, Peneguhan sidi, Pemberkatan Nikah, macet.
Adalah Residen William Byam Martin yang berusaha memperbaiki kehidupan keagamaan dan kesusilaan umat Kristen. Ia juga berusaha mengangkat harkat dan martabat anak-anak pribumi Ambon dari kebodohan dan ketidaktahuan. Untuk maksud tersebut, ia berencana membangun sebuah Sekolah Pusat di Ambon. Karena tenaga pendidik tidak tersedia, maka pada tahun 1813 diajukan permohonan kepada Gubernur Inggris di Calcuta agar mencari ahli pendidikan yang berminat pada pekabaran Injil. Hal ini disampaikan juga kepada William Carey, misionaris terkenal dari Baptist Missionary Society (BMS). William Carey mengajak putra kandungnya Jabes Carey, jurutulis pada sebuah kantor Pengacara. Segera Jabes Carey dinikahkan, ditahbiskannya (Januari 1814), lantas diutus dan bekerja di Ambon sebagai Guru dan misionaris. Ia diserahi juga tanggungjawab sebagai Kepala Jawatan Pengurusan Orang-orang Miskin dan anggota Dewan Peradilan,[x] dan setelah dikukuhkan sebagai Kepala Pendidikan (superintendent der scholen) pada bulan Agustus 1814, ia menguji murid-murid sekolah di Nusanive, Hative, Mardika dan Soa Ema. Pada 26 April 1815 disampaikan lagi laporan kunjungan yang lengkap dan rinci kepada G. Babington, secretaris van resident van Ambon, tentang sekolah di Pulau Ambon (Soya di Atas, Hatalay, Naku, Kilang, Hukurilla, Ema dan Rutong) disertai mutasi guru, aturan sekolah, kurikulum, hingga ujian sekolah.[xi]
Akhir penelusuran episode ini, Latta belum muncul. Namun ada sombar dari pemerintahan Inggris. Carey telah membangun sistem pendidikan yang baik ketimbang masa sebelumnya. Cita-cita Residen Byam Martin yang saleh dan concern terhadap pendidikan mulai tampak wujudnya. Gagasan cemerlang itu pun sejalan dengan Joseph Kam yang baru tiba di Ambon (3 Maret 1815). Menurut Kam, sekolah berperan penting untuk membangun kehidupan masyarakat, jemaat dan penginjilan di Maluku.

PEMERINTAH HINDIA BELANDA (gouvernement)
Ketika Inggris menyerahkan kembali kekuasaan kepada Pemerintah Hindia Belanda di Ambon, yang menjadi Sekretaris Komisaris Pengambilalihan Kepulauan Maluku (Secretaris van de commissariss en tot de overname der Molukse Eilanden te Ambon) adalah Carel Matthias Baumhauer. Pada butir pertama dari laporannya kepada Laksamana Muda dan Komisaris Jenderal untuk Hindia Belanda Arnold Adriaan Buyskes (Schout-bij-Nacht en Commissaris-Generaal over Nederlands-Indië) dikatakan: “Dat de Super Intendent der Schoolen van den Superintendent der Negorijen, alle assistentie zoude verkrijgen, in ’t uitvoer zijner pligten”.[xii] Artinya, “bahwa pengawas utama (pimpinan) sekolah-sekolah, sudah semestinya memperoleh penghargaan atau bantuan dari pimpinan Negeri, selama menjalankan kewajiban mereka”. Negeri-negeri, kampung-kampung yang terletak dekat fort Nieuw Victoria Ambon seperti Nusanive, Hative, Mardika, Soa Ema, Galala, Rumah Tiga, Poka, Waiheru dan Latta langsung diserahkan kepada Pemerintah (het bestuur van het gouvernement). Selain diangkat dan difungsikan kembali, kualitas mereka pun ditingkatkan oleh Buyskes pada bulan November 1817.[xiii]
Sama seperti VOC sebagai “duta” Belanda di Nusantara, Hindia Belanda merupakan bagian tak terpisah dari Kerajaan Belanda. Susunan pemerintahan mengikuti susunan dan hirarki di Belanda yang diperintahi oleh Raja (Ratu). Hal ini diulas oleh Van der Wal, termasuk pemerintahan di Hindia Belanda.[xiv] Dengan demikian Amboina yang pada masa VOC dibagi atas Supra-regio, Regio dan Desa atau Negeri (sebagian dari petuanan Halong kelak menjadi Latta, berada di Regio Leitimor; terdiri atas 20 negeri),[xv] pada Abad 19 berubah menjadi Onderafdeeling, District, Onderdistrict. Residensi Ambon dibagi atas onderafdeelingen Amboina dan Saparoea berdasarkan Staatsblad (Lembaran Negara) 1824 No: 19a (Abad 19). Pada Abad 20, onderafdeeling Amboina dibagi lagi atas satu district, dua onderdistricten (Staatsblad 1914 No: 629). District Amboina berpusat di Ambon. Onderdistrict Hila berkedudukan di Hila. Onderdistrict Passo berkedudukan di Passo, terdiri atas Hoenoet, Waiheroe, Nania, Negrilama, Galala, Hatiwe-ketjil, Halong, Lata, Lateri, Passo, Soeli, Tial-Serani, Waai. Populasi Latta pada waktu itu berjumlah 167 orang.[xvi]
Sebagai kelompok sosial, Latta sudah bereksistensi, namun dalam laporan Residen Van Sandick kepada Directeur Binnenlands Bestuur (Schippers), tertanggal 28 Februari 1924 dikatakan kampung Latta (dan Lateri) yang terletak di Petuanan Halong, dalam jangka dekat tidak lagi dibedakan dari masyarakat pribumi yang lain.[xvii] Realisasinya tertuang dalam laporan Asisten Residen Schmidt 23 September 1924 yang menyatakan bahwa Latta sudah mandiri sebagai kampung.[xviii] Tiga tahun berikutnya Pemerintah menegaskannya lagi lewat Res. Besl. 21/7-1927 No: 234 tentang Keputusan Pendirian Masyarakat Pribumi (Inlander) Ambon (Instellingsbesluiten van Inl. gemeenten Amboina) menurut ordonansi masyarakat pribumi.[xix]
Pada masa ini, di onderafdeeling Amboina dibuat pemisahan antara Negeri dan Kampung. Negeri merupakan komunitas yang memiliki rechtsgemeenschap (hak-hak) atas tanah yang didiami. Kampung hanya gabungan beberapa rumah di petuanan Negeri sehingga penghuninya tidak memiliki hak seperti penduduk negeri.[xx] Negeri diperintahi oleh raja (atau pati, orang kaya) atau Pengurus Negeri (het bestuur van regenten), Soa dan Dati. Kampung diperintahi oleh Wijkhoofd (Kepala Lingkungan)[xxi] yang oleh Jobse disebut Wijkmeester-Sergeant;[xxii] Wijkmeester-regent atau regent-Wijkmeester menurut bahasa Fraassen.[xxiii] Selain sergeant dan regent, gelar lainnya adalah korporaal.
Penelusuran episode ini menunjukkan bahwa kehadiran Latta di pentas sejarah sebagai Kampung terjadi pada tahun 1817 (Abad 19). Jika menghitung-hitung perjalanan Kam,[xxiv] dugaan lebih diarahkan pada bulan Januari - Juli 1817, namun tidak tertutup kemungkinan antara April, Juli - Agustus 1816; atau antara Maret - September 1815. Pada Abad 20 Gouvernement dengan otoritasnya memetakan Latta pada onderdisctrict Passo dan dinyatakan sebagai Kampung yang mandiri. Karena berada di petuanan Halong, titian otoritas pemerintah bertumpu pada wijkmeester dengan gelar Sersan atau korporaal; setingkat di bawah regent-wijkmeester. Ialah Kepala Lingkungan dari suatu komunitas kecil yang mendiami beberapa griya teduh sederhana. Pada masa Joseph Kam, penduduk Latta, Lateri, Halong dan Galala masih tersebar di gunung sambil membuka kebun untuk menunjang kehidupan.[xxv] Untuk urusan pemerintahan, wijkhoofd berhubungan dengan Onderdistrict Passo di Passo.

GEREJA PROTESTAN (Indische Kerk)
Sejak Pemerintah Hindia Belanda mengambil alih urusan VOC, Gereja diposisikan di bawah pemerintah, terutama dengan diterbitkan Undang-Undang Belanda Tahun 1815, Raja berdaulat atas daerah-daerah jajahan dan membantu gereja sebagai salah satu kewajiban utama. Maka Raja Willem I bermaksud menggabungkan semua Gereja menjadi satu badan (terwujud tahun 1835). Ditegaskan bahwa di wilayah Hindia Belanda, NZG tidak boleh melakukan apapun tanpa sepengetahuan pemerintah.[xxvi] Sementara pada tahun 1817 di ‘s-Gravenhage (Den Haag) dibentuk Commissie tot de zaken der Protestantsche Kerken in Ned. Oost- en West-Indië (Komisi untuk Urusan Gereja-gereja Protestan di Hindia Belanda Timur dan Barat), biasa disebut Indische Commissie atau Haagsche Commissie dengan tugas a.l.: memilih dan mengusulkan pendeta atau zendeling yang akan diangkat dan diutus Raja ke Hindia Belanda.[xxvii] Misalnya dalam salah satu surat tertanggal ’s-Gravenhage, 10 Februari 1854, Nr. 15 yang ditujukan kepada Raja disebutkan bahwa Pengurus NZG tidak akan mengutus zendeling tanpa pertimbangan Komisi setelah Komisi mencari, menguji dan menetapkannya. Juga dicantumkan untuk masa 10 tahun NZG mengurus pendidikan dan tamatannya kelak diutus ke Ambon.[xxviii] Justru itu Struktur Gereja disesuaikan dengan Struktur Pemerintah; Negara mengurus semua hal. Tugas yang dulu dilakukan Majelis Gereja Batavia, kini dikerjakan oleh Kerkbestuur.[xxix]
Ketika Joseph Kam - utusan zending pertama tiba di Ambon - selain genootschap-nya langsung direduksi menjadi Pendeta Indische Kerk, Baumhauer mengeluarkan Instructie voor den Commissaries Politiek en Kerkmeester dari Kasteel Victoria, 21 Juli 1817. Garis besar Instruksi yang berisi 18 Artikel itu mengatur posisi Jemaat, rapat-rapat gerejawi, keuangan, kolekta sampai tempat pemakaman. Pemerintah menginstruksikan pula bahwa Gereja hanya bertugas memberitakan Firman, melayankan Sakramen, menjalankan disiplin Gereja dan, dilarang mencampuri urusan Polisi, Justisi atau hal-hal lain.[xxx]
Setelah itu, terbit lagi Koninklijk Besluit Tahun 1840 (diberlakukan tahun 1844), Indische Kerk dipimpin oleh Kerkbestuur (Pengurus Gereja) yang diangkat oleh Gubernur Jenderal; diketuai oleh seorang aparatur negara, berkedudukan di Batavia. Anggota-anggota bestuur lain adalah Pendeta-pendeta Protestan di Batavia dan tiga anggota jemaat terkemuka. Jemaat dipimpin oleh Majelis yang tidak dipilih oleh jemaat. Para pendeta diangkat dan dipekerjakan oleh Gubernur Jenderal melalui usul Badan tsb.[xxxi] Jadi sebelum tahun 1850, Majelis Gereja hanya terdapat di Kota, seperti di seluruh Pulau Ambon, semua jemaat berada di bawah Majelis Ambon Kota. Badan Majelis ini tetap dalam pengawasan Pengurus Indische Kerk di Batavia. Badan ini exist hingga parohan pertama Abad 20; dengan fungsi: mengatur, mengawas semua jemaat Kristen Pribumi di Maluku. Karena NZG sudah berkarya di Ambon, maka dikeluarkan Peraturan Sementara: “Hubungan Majelis Gereja di Ambon”:
Para zendeling memiliki kebebasan penuh untuk mengatur waktu dan cara kerja gerejawinya dan Majelis Gereja harus menjaga agar jemaat yang dipimpin para zendeling tidak terlalu lama tidak mendengar khotbah dan mendapat pelayanan Sakramen, sehingga semua kegiatan gerejawi berlangsung dengan semestinya (Pasal 5).
Setahun sekali pada bulan September atau Oktober, yang harinya akan ditentukan oleh Majelis di Amboina; para zendeling di jemaat yang jauh akan diundang untuk menghadiri rapat gereja di Amboina untuk bersama-sama dalam persaudaraan membicarakan, membahas kepentingan gereja dan mengajukan usul-usul (Pasal 10).[xxxii]
Pada masa ini, jemaat dilayani oleh Predikant (Pendeta) - alumni Sekolah Teologi di Belanda, Hulpprediker (Pendeta Pembantu), Inlands Leeraar (Pendeta Pribumi) yang pada umumnya adalah tamatan School tot Opleiding voor Inlands Leeraar (STOVIL) dan Guru Jemaat yang biasanya dididik oleh Pendeta Pembantu. Mereka ini sering merangkap Guru Sekolah. Ada pula Utusan Injil dan Tuagama sebagai tenaga tidak terdidik namun dipercayakan memelihara jemaat jika Guru Jemaat atau Majelis berhalangan. Sebelum tahun 1880, Tuagama diangkat oleh Kepada Desa, kemudian oleh Pendeta, a.l. dengan tugas mengumpulkan kolekta, membersihkan gedung gereja, menjalankan ibadah jika Guru Jemaat berhalangan.[xxxiii]
Pada Abad 20, terbit lagi Koninklijk Besluit van 13 October 1910, No. 21 menyangkut Reorganisasi Indische Kerk atau Protestantsche Kerk. Reorganisasi ini dikerjakan oleh Staatscommissie yang dibentuk Pemerintah atau Gouvernement,[xxxiv] kemudian menyampaikan hasil kerjanya mencakup Struktur Organisasi dan Tata Gereja. Indische Kerk dibagi atas 7 (tujuh) klasis yang dalamnya terdapat 3 (tiga) klasis Bumiputera: Minahasa, Ambon, Timor. Secara organisasi dikenal Ressort, Classikaal, Synode (struktur kemudian± Jemaat, Resort, Klasis, Sinode’. Pemimpin jemaat dibedakan atas kategori godsdienstonderwijzer (Guru Agama), leeraar (Guru), prediker (Pengkhotbah atau Pendeta).[xxxv]
Pada episode Indische Kerk, Gereja di Ambon merupakan Klasis yang berkedudukan di Ambon, dipimpin oleh Majelis Jemaat (Gereja) Ambon. Secara struktural, berada di bawah pengawasan Pengurus Indische Kerk di Batavia. Di Ambon, Majelis Gereja sulit menghindari intervensi Pemerintah. Kaki kanannya di Batavia karena di Tanah Jawa ada Kerkbestuur, kaki kiri di Kota Ambon; berpijak di Kantor Gubernement.
Dengan demikian, Latta belum memiliki Majelis Jemaat, namun wijkhoofd dan/atau Tuagama sangat diandalkan oleh Joseph Kam sebagai penjaga atas kehidupan masyarakat dan jemaat Latta. Sombar dari Indische Kerk yang terpantul di Latta adalah sosok Tuagama, Guru, Hulpprediker, Inlandsche Leeraar. Sebagian guru midras Melayu yang hidup dari gouvernement (Guru Besar, Guru Kelas 1, Guru Kelas 2, Guru Kelas 3, Guru Kelas 4, dan Guru Keliling)[xxxvi] juga mengabdikan tenaga dan hidup untuk masyarakat dan Jemaat Latta di bidang pendidikan dan keagamaan. Urusan agama dan sekolah, guru berkiblat ke Kota Ambon.

BADAN PEKABARAN INJIL
Nederlandsche Zendelinggenootschap (NZG)
NZG adalah badan pekabaran Injil non-denominasional yang diarsiteki oleh J.Th. van der Kemp. Ia dibesarkan dalam keluarga Pendeta Gereformeerd Ortodoks, dipengaruhi Rasionalisme/Deisme,[xxxvii] dan lama berkecimpung di lingkungan Metafisika. Sejak kematian istri dan putrinya, ia bergabung dengan Komunitas Persaudaraan Hernnhutt di Zeist. Di sinilah Van der Kemp mengalami reorientasi terhadap zending, lantas menuju Inggris. Setelah meresapi karakter London Missionary Society (LMS), ia kembali lalu mendirikan NZG di Belanda (1797).
Pada waktu itu NZG belum memiliki landasan teologi, kecuali Definisi Umum (Algemeene Bepalingen). Pasal 2 dari Definisi Umum menyatakan bahwa NZG hanya memaklumkan kebenaran dan tindakan kristiani sesuai Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang ditekankan dalam 12 Pasal Pengakuan Iman, tanpa penambahan ajaran manusia yang sifatnya manusiawi, sederhana dan tertuju pada hati manusia yang ditumbuhkan.[xxxviii] Tujuan agogis: “membimbing orang non-Kristen dan Kristen statistik, di Belanda, di daerah seberang, menuju pertobatan dan peradaban. Tujuan ini merupakan sintese dari dua aliran Abad 18: Pietisme ortodoks (pertobatan) dan Pietisme Pencerahan atau Aufklärung/Verlichte (pengadaban) yang terpadu dalam diri Van der Kemp.[xxxix]
Selain itu, pendirian NZG diinspirasi juga oleh beberapa pandangan. Dari Pietisme Halle: Jakob Spener (Kesalehan), dari Pietisme Hernnhut: Von Zinzendorf (gereja adalah sekolah khusus memperoleh pengetahuan tentang keselamatan), dari Pietisme Württemberg: Friedrich Oetinger (ilmu pengetahuan bisa menggiring manusia menuju keselamatan). Sedangkan dari Pencerahan: René Descarte dengan ajaran “saya berpikir oleh karena itu saya ada” atau Cogito ergo sum; I think therefore I am. Baruch de Spinoza dengan “otoritas logika”; kebebasan berpikir termasuk dalam agama dan teologi.
Dari tokoh Reformator, Martin Luther: “setiap orang Kristen mesti mampu membaca Alkitab dalam bahasanya sendiri dan membaca kitab-kitab pengetahuan lain”. Philip Melanchton: “pendidikan semesta yang bercorak pribumi dan azas Humanisme sangat penting untuk menghasilkan pietas literata (orang saleh yang cerdas)”. Johannes Calvin: “Firman Tuhan merupakan landasan bagi semua pengajaran, tetapi seni dan pengetahuan umum adalah sarana penopang untuk memiliki pengetahuan lengkap tentang dunia”. Maka bagi NZG, pendidikan adalah sarana terpenting untuk membarui Gereja dan Masyarakat;[xl] sekolah adalah “pesemaian gereja”.
Dengan demikian dapat dipahami jika pada tahun 1819 ada sekolah Zending Berkel di pinggiran Rotterdam yang memberikan perhatian pada olah akal, ketajaman berpikir, keterampilan, bakat, keinginan menguasai pengetahuan seperti Musik, kendati di Abad 20 dikritik oleh Karl Barth lewat Teologi Dialektika-nya. Enam belas tahun kemudian di Houttuinen Rotterdam didirikan lagi sebuah Zendelinghuis, sekolah dan asrama untuk membina calon zendeling yang kelak menghasilkan zendelingen berjiwa pietis dan melakukan perjalanan trans “Dari Pulau Dan Benua” – menerobos batas-batas negara, bangsa, bahasa, budaya. Pengutusan ke Hindia Belanda dilakukan Pemerintah yang diwakili oleh Haagsche Commissie. Pengurus Besar NZG di Rotterdam melepas dengan restu dan Instruksi a.l.: “setialah mengirim laporan dari medan pekabaran Injil”.
Zendeling NZG pertama yang bekerja di Maluku adalah Joseph Kam. Gelar Rasul Maluku yang disematkan kepadanya merupakan penghargaan setelah refleksi kritis dan obyektif terhadap seluruh pengabdian dilampauinya. Tetapi overgangsfiguur merupakan awal dari perjalanan panjang dan berat menuju penghargaaan itu. Kam adalah Figur Antara, Figur yang membawa perubahan di antara dua tipe pelayan yang mewakili dua masa. Pendeta Auwerda yang mewakili para pendeta dan ziekentrooster masa lalu dan zendeling yang menyusulinya di masa pekabaran Injil. Namun di bawah kuasa Gouvernement, genootschap Kam direduksi menjadi Pendeta Indische Kerk setiba di Ambon. Instructie voor den Commissaries Politiek en Kerkmeester membatasi geraknya sehingga terkesan menghindari perang Pattimura (1817). Kendati savari pekabaran Injil Kam ke Ternate, Minahasa dan Sangir menimbulkan spekulasi terhadap dirinya, toch ia berusaha mengikis tahyul, keangkuhan, kedengkian, pertengkaran, kemalasan dan alkoholisme dengan disiplin gerejawi. Ia juga menyokong rasa cinta orang Ambon pada Gereja, Alkitab, Mazmur dan Pujian. Di luar kota Ambon, banyak gereja dibangun. Para Regen, Tuagama, didorong untuk lebih bertanggung jawab sehingga pada tahun 1830 gedung gereja di Latta ditahbiskan.[xli]
NZG sebagai lembaga independent yang pimpinan pusatnya berkedudukan di Rotterdam, maka untuk menjembatani segala urusan zending dengan Gouvernement di Maluku, dibentuk badan antara yang disebut Hulp Zendeling Genootschap (HZG) oleh Kam (1821). Badan pengurusnya[xlii] bertindak atas nama zending dalam upaya memelihara hubungan dengan Gubernemen Maluku. Dengan adanya badan ini, para zendeling agak leluasa mengadakan hubungan langsung dengan Gubernement.
Sementara itu di Belanda dan di Maluku juga bergulir diskusi seputar “modernisme”. Reaksi terhadap aliran ini memperjelas kategori orthodox atau piëtistisch. B.N.J. Roskott, W. Luijke, J.J. Verhoef, L. Tobi dan C.G. Schot dikategorikan sebagai kelompok yang menolak modernisme, memeluk erat-erat kitab katekisasi tua (oude catechisatieboekjes) seperti Herman Faukelius (terjemahan Melayu 1811), dan melawan tradisi pra-Kristen (pre-christelijke tradities). Kecuali Tobi dan Verhoef, adalah Roskott, Luijke, Schot yang memberi warna Pietisme Ortodoks terhadap masyarakat dan Jemaat Latta (dan Lateri). Ironisnya, Roskott – guru yang cakap, pemimpin sekolah guru (kweekschool) – setelah hampir setengah abad berkarya, terdengar dari mulut zendeling Luijke sendiri kalimat ini: “van doortastende, of merkbare bewijzen, dat de ‘Geest van Vader en van Zoon, Die ons den weg wijst tot den troon’ in het hart van deze of gene werkzaam is, heb ik in aldien tijd niet kunnen bemerken of vernemen.[xliii] Artinya, “dari bukti-bukti tindakan tegas, atau fakta yang dapat dilihat, Roh Bapa dan Anak, yang menunjukkan kepada kami jalan menuju Sorga melalui pekerjaan ini atau tanpa pekerjaan ini, selama itu saya tidak mengetahui atau melihatnya”.
Kalau Majelis Gereja Ambon berpijak di dua pulau, maka pada episode ini NZG berpijak di dua benua. Kaki kanannya di Rotterdam, karena ke sanalah semua laporan zendelingen dikirim untuk Pengurus Besar NZG. Kaki kirinya di Ambon, tetapi di atas dua tegel. Tegel yang satu di Kota Ambon dengan “gereja negara”, tegel lainnya di Rumahtiga, tempat pelayanan diatur. HZG yang diharapkan bisa menjadi mediator yang baik, justru dililit banyak masalah dan pertentangan. Di lingkungan Gereja Negara yang mapan ini, Zending tertatih-tatih, walau akhirnya dengan wajah lesu tetapi bangga menyerahkan seluruh pekerjaan penginjilan kepada Indische Kerk pada Tahun 1864.
Dengan mundurnya para zendeling NZG setelah berkarya hampir lima dekade di Maluku, mungkin pengaruh Pietisme-ortodoks di Latta turut meredup seiring jejak-jejak sepatu Luijke di pantai Latta yang dihempas gelombang laut, atau tak berbekas tertindih bangunan, dilindas jalanan. Suara penuh spirit Schot Cs yang setia menabur Firman Tuhan memecah keheningan alam di antara kicauan burung-burung telah terbawa angin masa, bersamaan dengan teguran keras mereka yang penuh kasih meninggalkan makna spiritualitas yang dalam. Goresan-goresan tangan yang indah dari para guru di atas penggalan kertas-kertas kumal sesungguhnya dapat menuturkan sebagian dari realitas seadanya, hanya tanpa suara; bisu.
Andai mereka hadir saat ini, pasti tercengang melihat warga masyarakat dan jemaat Latta (dan Lateri) hari ini; riang dan lebih meriah ketimbang penahbisan gedung gereja pertama 177 tahun silam atau penahbisan gedung gereja kedua 154 tahun lalu. Guru tua yang “dipecat” mungkin bertanya: masih ragukah Anda yang orthodox tentang Kristus yang diberitakan? Wijkhoofd yang ramah tidak menyangka, bahwa jalan setapak di depan sana, kini menjadi sarana transportasi yang ramai dilalui banyak orang. Mungkin juga bingung bersama para guru dan leluhur karena reruntuhan sekolah tempat mereka mengajar dan dididik, seakan tidak memiliki nilai sejarah dan kepurbakalaan lagi.
Semoga boleh tersenyum, kala Batlajery menyebut mereka “penyelamat Calvinisme dari ancaman kepunahan”.
Nos Autem Praedicamus Christum Crucifixum

CATATAN AKHIR

[i] C.P.F. Luhulima, Motip-motip Ekspansi Nederland dalam Abad Keenambelas, (Djakarta: Lembaga Research Kebudajaan Nasional, 1971), 10. Dari: Buitenlandse Gulliver’s Travels, Book III, Chapter XI. Tentang Langhansz, dikutip dari: H. Terpstra, Buitenlandse getuigen van onze Koloniale Expansie, (Amsterdam 1944), 38-9.
[ii] Luhulima, op.cit., 11. Dari: C.W.Th. Boetzeler van Asperen en Dubbeldam, De Protestantse Kerk in Nederlandsch-Indië, (s’Gravenhage: 1947), 6-7. Bnd: A.M.L. Batlajery, The Unity of the Church According to Calvin and Its Meaning to the Churches in Indonesia, Disertasi, (Jakarta: SEAGST, 2002), 195 dyb. 4.1.a. Adaptasi Calvinisme pada zaman VOC.
[iii] Luhulima, op.cit., 11. Dari: Reise nach den Molukken und Vorder Indien 1632-1646, Haag 1931.
[iv] Luhulima, op.cit., 9.
[v] Batlajery, op.cit., 4.1. Gereja-gereja di Indonesia dan Calvinisme, 185 dyb.
[vi] H.E. Niemeijer, “Orang Nasrani”Protestants Ambon in de zeventiende eeuw dalam: G.J. Schutte (ed.)., ”Het Indische Sion” De Gereformeerde Kerk onder de Verenigde Oost-Indische Compagnie, (Hilversum: Verloren, 2002), 129-30.
[vii] R.Z. Leirissa, Maluku Tengah Di Masa Lampau – Gambaran Sekilas Lewat Arsip Abad Sembilan Belas, Penerbitan Sumber Sumber Sejarah No:  13, (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1982), 217. Peraturan Sekolah Tahun 1684 mengharuskan sekolah dimulai dan diakhiri dengan Doa dan Pujian. Murid diajar membaca, menulis, berhitung; hafal Doa Bapa Kami, XII Kepercayaan Iman Kristen, Dasa Titah, Katekismus Heidelberg. Yang mau dibaptis diisyaratkan tidak terlalu tua, bisa baca, tulis; berjanji menyekolahkan anak setelah dibaptis. Dalam: DGI, Partisipasi Kristen Dalam Usaha Pendidikan Untuk Membangun Masa Depan Bangsa dan Negara, (Jakarta: Departemen Pembinaan dan Pendidikan DGI, 1984), 1-2.
[viii] Chr. G.F. De Jong, De Protestantse Kerk in de Midden-Molukken 1803-1900, een bronnen publicatie, eerste deel 1803-1854, (Zoetermeer: Uitgeverij Boekencentrum, 2004), 3.
[ix] De Jong, ibid., 4.
[x] I.H. Enklaar, Joseph Kam “Rasul Maluku“, (Jakarta Pusat: BPK GM, 1960), 35-8.
[xi] De Jong, op.cit., 43-9. Transkrip dari Arschief Jabes Carey, Regent’s Park College, Oxford, Box IN/27.
[xii] De Jong, op.cit., 62. Dari: Archief Hoofdcommissie van Onderwijs, ANRI.
[xiii] Ibid. Dari: Van der Kemp, De ontslagen Gouverneur van Middelkoop en de Schout-bij-nacht Buijskes over den opstand in de Molukken van 1817-1818, 171; Van der Kemp, Het herstel van het Nederlandsch gezag in de Molukken in 1817, I, 385, 450-1.
[xiv] Di Hindia Belanda, pemerintahan dikepalai oleh Wali Negara (Landvoogd) dengan pangkat Gubernur Jenderal untuk masa jabatan lima tahun. Pemerintahan sehari-hari ia dibantu delapan kepala Departemen (Direktur) beserta staf dan pembantunya. Menyangkut pekerjaan teknis, ia dibantu Sekretaris Umum (Algemene Secretaris) dan beberapa Sekretaris Negara (Gouvernements-Secretarissen). Ada juga Dewan Hindia (Raad van Indië), bertugas memberi pertimbangan kepada Gubernur Jenderal dan memiliki “wewenang pemerintahan serta” (medebesturende bevoegdheid). Lembaga yang memiliki fungsi perundang-undangan dan pengawasan adalah Dewan Rakyat (Volksraad) yang dianggap “mewakili rakyat” Hindia Belanda. Mayoritas anggotanya orang Belanda, lambat-laun diduduki juga oleh bumiputera. Sebagian besar anggotanya dipilih, sebagian lagi diangkat. Di bawah Gubernur Jenderal ada Gubernur, Residen, Bupati dst. dijabat oleh tokoh dan pemuka Bumiputera. Tetapi Bupati didampingi oleh pejabat Eropa (Belanda) seperti di Pulau Jawa dan Madura, Asisten Residen; di daerah seberang, Kontrolir. Ada pula pemuka Bumiputera yang berstatus Kepala Daerah Swapraja (Zelf-bestuurde); ada yang setingkat Residen (Yogyakarta, Surakarta), setingkat Kabupaten atau lebih rendah, malah setingkat Desa. Dalam: S.L. van der wal, Het Onderwijsbeleid in Nederlands-Indiē 1900-1940, (Groningen: J.B. Wolters, 1963). Lih: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan Di Indonesia 1900-1940 – kebijaksanaan Pendidikan di Hindia Belanda 1900-1940. (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), v-viii
[xv] G.J. Knaap, Kruidnagelen en Christenen - De Verenigde Oost-Indische Compagnie en de Bevolking van Ambon 1656-1696, (Dordrecht-Holland/Providence-U.S.A: Foris Publications, 1987), 272-3.
[xvi] P. Jobse, Bronnen Betreffende de MIDDEN-MOLUKKEN 1900-1942, 1, [disingkat BBMM,1], (Den Haag: Instituut voor Nederlandse Geschiedenis, 1997), 375-81.
[xvii] Ch.F. Van Fraassen, Bronnen Betreffende de MIDDEN-MOLUKKEN 1900-1942, 2, [disingkat BBMM, 2], (Den Haag: Instituut voor Nederlandse Geschiedenis, 1997), 408
[xviii] Leirissa, R.Z. Leirissa (et. al.,), Ambonku, Doeloe, kini, esok, (Ambon: Pemerintah Kota Ambon, Maret 2004), 80-1,. Lih: Van Fraassen, BBMM, 2, 478. Transkripsi dari “Memori van Overgave van de Onderafdeling Ambon van Assistent-Resident Schmidt, 23 September 1924. Asisten Residen Schmidt menyebut 12 Burgerkampongs yang sudah berdiri sendiri (zelfstandige burgerkampongs) berturut-turut: (1) Galala, terletak di atas tanah Negeri Halong, (2) Lata, terletak di atas tanah Negeri Halong (3) Lateri, terletak di atas tanah Negeri Halong (4) Negeri Lama, terletak di atas tanah Negeri Passo (5) Nania, terletak di atas tanah Negeri Passo (6) Waiheroe, terletak di atas tanah Negeri Halong (7) Hoenoeth, terletak di atas tanah Negeri Halong (8) Pokka, terletak di atas tanah Negeri Roemahtiga (9) Nipah, terletak di atas tanah Negeri Roemahtiga (10) Larike, terletak di atas tanah Larike Islam, (11) Hila, terletak di atas tanah Hila Islam, (12) kampong Mahia, terletak di atas tanah Oerimessing.
[xix] Ch. F. Van Fraassen, Bronnen Betreffende de MIDDEN-MOLUKKEN 1900-1942, 3, [singkat: BBMM, 3], (Den Haag: Instituut voor Nederlandse Geschiedenis, 1997), 334.
[xx] Van Fraassen, BBMM, 3, 550.
[xxi] Germen Boelens, Chris van Fraassen, Hans Straver, Natuur en Samenleving van de Molukken, (Utrecht: Landelijk Steuntpunt Educatie, 2001), 211. P. Jobse, op.cit., 1,  380, 391. Van Fraassen,, BBMM, 2, 492.
[xxii] Jobse, BBMM, 1, 378.
[xxiii] Van Fraassen, BBMM, 2, 492.
[xxiv] Enklaar, op.cit., 74. 22 Agustus 1817- 9 Februari 1818 Kam dengan kapal Swallow ke Ternate, Minahasa, dan dengan perahu ke Sangir. 30 September – 5 Desember 1816, Kam melakukan kunjungan Tahunan ke Lease dan Seram. 13 Mei – 24 Juni 1816, Kam dengan kapal niaga ke Banda. Maret 1816, Kam ke Sram Barat, Boano dan Manipa. 7 Oktober – 4 Desember 1815, Kam beserta istrinya ke pulau-pulau Lease (Haruku, Saparua, Nusalaut), dan Seram.
[xxv] De. Jong, 643. Transkrip: Kort verslag van de werkzaamheden van zendeling W. Luijke, lopende van April 1852 tot en met Maart 1853, Ambon, 14 April 1853; ARvdZ 24/5.
[xxvi] G.P.H. Locher, Tata Gereja Gereja Protestan Di Indonesia Suatu sumbangan pikiran mengenai Sejarah dan asas-asasnya (Jakarta: BPK-GM, 1995), 44-45; Ph. Kleintjes, Staatsinstellingen van Nederlandsch-IndiN, tweede deel, (Amsterdam: J.H. De Bussy, 1929), 516-7.
[xxvii] Kleintjes, Ibid, 517-19; Locher, op. cit., 188.
[xxviii] ANRI, BT 18 Mei 1854 Nr. 5; ANRI Amb. 1420 dalam surat tertanggal Amboina, 5 September 1854 Nr. 1.
[xxix] Batlajery, op.cit. 4.1. Gereja-gereja di Indonesia dan Calvinisme, 185 dyb.
[xxx] ANRI Ambon 236. Lih: De Jong, op.cit., 55-7.
[xxxi] Batlajery, op.cit. 4.1. Gereja-gereja di Indonesia dan Calvinisme, 185 dyb.
[xxxii] ARvdZ 34/1. “Peraturan Sementara tentang Hubungan Majelis Gereja di Ambon dengan Jemaat Kristen pribumi di Ambon”.
[xxxiii] Th. Van End & J. Weijtjes, S.J., Ragi Carita, Sejarah Gereja Di Indonesia, 2, 1860-an – Sekarang, (Jakarta: PT. BPK GM, 1993), 44-5.
[xxxiv] Lih: De Reorganisatie van de Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indië,(Batavia-Weltevreden: G. Kolff & Co, 1914).
[xxxv] Beberapa Voorstel daripada STAATCOMMISSIE Akan Hal Djemaat-Djemaat Masehi Boemi Poetera (Inlandsche Christenen), (Batavia – Weltevreden: G. Kolff & Co., 1914), 18-9. Calon godsdienstonderwijzer, diuji oleh Komisi Classikaal setelah memenuhi syarat: anggota jemaat Protestan selama dua tahun, berusia 22 tahun, Surat Keterangan hulpprediker tentang pembekalan ± 2 tahun, Surat Keterangan Kelakuan Baik (ibadah, hidup tak bercela, rajin). Pelajaran yang diuji: membaca, menulis, berhitung, hikayat Alkitab, Permulaan Pengajaran Agama dan Pengajaran Kelakuan orang Masehi. Jika lulus, diperkerjakan sebagai Guru Jemaat. Bagi yang memiliki diploma sebagai bukti pemilikan pengetahuan dan mengajar pada sekolah yang dikelola oleh Karapatan Pechabaran Indjil, dibebaskan dari ujian. Syarat menjadi Inlandsche Leeraar: Surat Keterangan Majelis Jemaat (tentang ibadah), Surat Keterangan Kelakuan Baik. Calon diuji agar diketahui apakah telah memiliki akal budi setelah dididik hulpprediker. Ujian disaksikan oleh Komisi Classikaal. Jika lulus, kepadanya dipangkatkan dengan tugas: berkhotbah, mengajar agama, menikahkan warga jemaat, merawat Jemaat. Inlandsche Prediker seperti inlandsche leeraar yaitu penghentar jemaat, hanya ditambahkan tugas melayani Baptisan dan Perjamuan Kudus. Yang sudah bekerja lebih dari tiga tahun sebagai Inlandsch Leerar, hanya diuji mata pelajaran yang diperlukan.
[xxxvi] Pengatoran pada midrasy malajuw di pulaw Ambon dan sakalijen dairahy jang ada dibawahnja, [Ambon, 28 December 1855]; BHKI G-3-225.
[xxxvii] Deisme merupakan sistem dalam agama alamiah yang berkembang di Inggris pada Abad 17, 18. Penganut Deisme percaya adanya Tuhan, namun menolak intervensi-Nya dalam alam karena dianggap merendahkan kemahahadiran dan ketidakberubahan Allah. F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK-GM, 1994), 45.
[xxxviii] Joris van Eijnatten, Beschaafd Koninkrijk Het NZG en demotivering van de zending omstreeks 1800, dalam: Van den End, Twee Eeuwen, xiv, 20-30.
[xxxix] A.Th. Boone, Bekering en Beschaving – De agogische activiteiten van het Nederlandsch Zendelinggenootschap in Oost-Java (1840-1865), Dissertatie, (Zoetermeer: Boekencentrum, 1997), 11, 15-6, 194. Boneschansker, op.cit., 32-6
[xl] J.S. Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen Di Tanah Batak, (Jakarta: BPK-GM, 1988), 84-7.
[xli] Enklaar, op.cit., 125.
[xlii] Pengurus HZG ini a.l.: Bernard, Timmerman, Den Hartog, Soselisa [mungkin E.R. Soselisa, hoofddjaksa, lih. Almanak en Naamregister van Nederlandsch-IndiN voor 1861 (Batavia: Ter lands-drukkerij, 1861), 139], Hoekstra, Wonderling, (B@r, Luijke, De Stuer, Ds. H.H. Schiff [Ketua, wakil gubernur yang beragama Katolik]), dan Roskott. Dalam surat Roskott tertanggal Amboina, 2 Agustus 1844; ARvdZ 34/5.
[xliii] Chr, G.F. de Jong (e.a.), Nieuwe bronnen tot de geschiedenis van het christendom in Maluku (1605-1935). Vondsten, thema’s en oriëntaties’, in: Documentatieblad voor de Geschiedenis van de Nederlandse Zending en Overzeese Kerken,  4e jaargang nr 2, 1997, 72.