vrijdag 2 september 2011

TANAH

Tinjauan Teologis Menuju TEOLOGI KEUTUHAN



Far and Away
Film Barat berjudul Far and Away garapan Ron Howard dari tulisan Howard dan Bob Dolman, dibintangi oleh Tom Cruise (Joseph Donnelly) dan Nicole Kidman (Shannon Christie)[1] ini pernah ditayangkan di beberapa biskop ibu kota Jakarta sekitar tujuh belas tahun lalu, dan pernah ditayangkan lewat salah satu stasion televisi swasta. Far and Away secara transparan mempertontonkan gelombang migran Inggris dan Skotlandia yang progresif-ekspansif ke tanah Amerika yang masih perawan dan misterius. Pada menit-menit terakhir diperlihatkan perebutan tanah demi masa depan yang gemilang, ditandai dengan kemenangan sang lakon yang berhasil mendapatkan tanah barunya dengan mandi darah saudara sendiri. Film itu menarik karena ada muatan teologis menyangkut “pergeseran cara bereksistensi” yaitu cara hidup atau cara berada dari “ruang ke waktu,” dan dari “tanah ke sejarah”.
Tanah dilihat sebagai bukti eksistensi manusia tradisional, namun alam modern mengikis kesadaran eksistensial itu, lantas menggantikannya dengan kesadaran historis. Pergeseran seperti itu dapat dilihat juga dari ekspansi bangsa asing ke Nusantara.[2] Pada umumnya ekspansi itu berakar dari pandangan hidup dan pandangan dunia Abad ke-16 dan 17 yang dipengaruhi oleh agama dan lembaga-lembaganya. Belanda secara khusus terdesak oleh faktor ekonomi karena konstelasi geografis; lahan pertanian yang terbatas memaksa penduduknya mencari makan di laut. Kedudukan di antara dua sentra perdagangan Eropa (Laut Baltik dan Laut Tengah) juga memaksa Belanda memusatkan lalu-lintas perdagangan Eropa ke kota-kota pelabuhannya.[3] Dapat dikatakan, mungkin kepulauan Maluku tidak pernah didatangi mereka dengan hanya mengandalkan cengkih pala tanpa dorongan dari pandangan hidup mereka tentang ruang dan waktu atau tanpa menggubris cara mereka bereksistensi.

Penghargaan terhadap Tanah
Pada umumnya orang Barat memiliki modus eksistensi waktuwi-temporal. Sejarah dilihat seperti garis lurus-linear; rakitan masa lalu-kini-kelak. Manusia dikatakan bereksistensi jika ia mampu meninggalkan masa lalu, menjalani masa kini dan mendatangi masa depan. Cara berada demikian menempatkan ruang menjadi subordinatif. Ruang kurang diperhitungkan, namun waktu amat dihargai sehingga manusianya tampak dinamis. Pemahaman demikian menjadi akar terkuat bagi gaya hidup ekspansif-progresif.
Orang Timur, pada umumnya memiliki modus eksistensi ruang-spasial. Ia dikatakan “ada” jika menyadari hidup bergantung dari ruang tempat ia menetap. Cara berada demikian kurang memperhitungkan waktu, namun tanah sangat dihormati dan dijadikan simbol kehidupan. Kehidupan dijalani di atas tanah agar harmonis dengan siklus pertanahan dan pertanian: menanam, menumbuhkan, memanen, menanam lagi, demikian seterusnya. Waktu dipahami dalam kerangka spasial; dipahami siklis, terus berputar laksana roda; tak berujung, tak berpangkal. Jadi manusia spasial yang diikat visi masa depan bersama terkesan santai.
Lewat dua modus eksistensi (ruang dan waktu), tanah memperoleh penghargaan yang berbeda. Gerak hidup manusia temporal menumpang dalam garis lurus sejarah; progresif dan ekspansif. Tanah-tanah perawan diduduki, bila perlu dijarah, seperti ambisi untuk menduduki masa depan; asal mampu menerobos ke masa depan, tanpa peduli jika sesama tercabut dari tanah pertiwinya. Sebaliknya manusia spasial teramat menghormati tanah. Tanah menjadi simbol kemanusiaan. Mengolah tanah menjadi representasi dari tekad mengolah hidup. Bahkan roh-roh leluhur pun dipandang berdiam di tanah untuk menemani dan menjaga. Tanah juga dipandang sebagai Ibu, kekasih Allah Bapa, yang ada di langit. Allah sebagai ibu, oleh McFague dikaitkan dengan the beginning of life, its nurture, and its fulfilment (awal kehidupan, pemeliharaannya dan pengolahannya). Tanah adalah rahim Allah yang penuh rahmat (rahmat secara etimologis dari kata rahim). Hidup jadinya teduh karena kekecewaan hidup dilihat hanya suatu pengulangan yang terjadi berkali-kali, dan akan ada kegembiraan yang terulang kembali. Komunitas manusia spasial seperti ini dipersatukan oleh tanah yang didiami bersama.

Pendekatan Teologis
Pendekatan alkitabiah berbeda dari pendekatan ayatiah. Pendekatan ayatiah sekadar mencuplik sejumlah ayat favorit, lantas ditarik kesimpulan umum. Namun pendekatan alkitabiah lebih peduli pada pesan utama keseluruhan Alkitab tentang subjek tertentu. Tanah misalnya.
Untuk mengerjakan pendekatan teologis ini, perlu dilihat bagaimana Alkitab secara keseluruhan berbicara tentang tanah. Kendati untuk kata “tanah” dijumpai sebanyak 1254 kali dalam Alkitab,[4] namun di sini hanya dikemukakan beberapa teks dari kitab suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sembari menghindar agar tidak terperangkap pada pendekatan ayatiah.

Perjanjian Lama
Bagi manusia spasial, tanah amat dihormati, malah dijadikan simbol kemanusiaan. Mengolah tanah dapat disejajarkan dengan mengolah hidup. Sebenarnya modus ini dapat dilihat juga dalam kitab Kejadian 2:4 “Demikianlah riwayat langit dan bumi pada waktu diciptakan. Ketika TUHAN Allah menjadikan bumi dan langit,...” Kata “langit” (הַשָּׁמַ֛יִם) menunjuk pada maskulin dan “bumi” (הָאָ֖רֶץ) atau tanah menunjuk pada feminin.
Allah Pencipta diimani sebagai Allah Bapa yang menciptakan langit (maskulin) dan Allah Ibu yang menciptakan bumi atau tanah (feminin). Itu sebabnya Sallie McFague, biblicus feminis, American feminist Christian theologian, ini pernah meyakini bahwa bumi ini adalah tubuh Allah. Itu sebabnya bumi atau tanah mesti dihuni dan dikelola dengan baik dan tertanggung jawab. Karena baginya, God is the one ‘who judges those who thwart the well-being and fulfilment of her body, our world’.[5]
Begitu pula penciptaan manusia (Adam:  אָדָ֖ם- maskulin), terjadi dari debu tanah (Adamah (אֲדָמָ֔ה) - feminin) yang dikerjakan Allah “menurut gambar kita” (Kej. 1: 26; LAI). Nederlands Bijbelgenootschap (NBG)[6] menerjemahkan “menurut gambar kita” dengan “als ons beeld” (= seperti gambar kita; Bohl), “in ons beeld” (= dalam gambar kita; Kohlbrugge), dan “in ons oerbeeld” (= dalam gambar asli kita; Barth).[7]
Beberapa pendekatan dilakukan untuk memahami “gambar kita” dari perspektif rohani, jasmani, antropomorfisme biblis. Ada pula yang melihatnya lewat “penguasaan manusia atas fauna”. Wiersma justru berpendapat begini:
            “Gambar kita” dan “rupa kita” (ons beeld en onze gelijkneis; ay. 26) pada satu pihak adalah bentuk jamak, dan “gambar-Nya” (Zijn beeld; pada lain pihak adalah bentuk tunggal. Baik tunggal maupun jamak, menunjuk pada Allah Pencipta. Dia-lah “gambaran gambar-purba” (oerbeel-afbeelding), Dia-lah “contoh-rupa-paling-asli” (voorbeeld-afbeelding); manusia laki-laki perempuan adalah penyandang gambar Allah (beelddragger), potret dari Sang oerbeeld dan voorbeeld, namun tidak berarti Allah itu Superman dan manusia - seorang allah kecil. Allah dan manusia merupakan dua hakikat yang tak sejenis. Allah Pencipta dan manusia ciptaan merupakan dua kualitas yang mutlak berbeda. Allah adalah Allah, manusia adalah manusia.[8]
Manusia (laki-laki perempuan) sama-sama penyandang gambar Allah disebut evenbeeld[9], spiegelbeeld atau precise counterpart.[10] Adam  אָדָ֖ם- maskulin, dan Adamah אֲדָמָ֔ה - feminin menggambarkan hubungan antara sesama makhluk yang dilukiskan setara dan saling melengkapi. Dua-duanya merupakan perwakilan, yang dianalogikan dengan pendirian gambar raja-raja pada zaman purba di daerah jajahannya. Kemandatarisan manusia itu baru berarti kala ia taat dan berelasi dengan Pencipta yang gambar-Nya diwakilinya. Begitu pula dalam hubungan antar-manusia, kedwitunggalannya memiliki makna fundamental sebagai teman sepadan (evenbeeld) dalam “sikap saling” dan “tanggung jawab”.
Kesegambaran dan keserupaan dengan Pencipta menekankan kelebihan manusia atas alam ciptaan, juga tanggung jawab atau misi manusia atas bumi atau tanah (Kej. 1: 26-28; bnd. Kej. 2. 15): mengolah dan memelihara bumi serta isinya sebagai mandat budaya yang diberikan Allah agar manusia tidak mengeksploitasi alam secara tidak wajar. Theo Kobong dalam disertasinya “ Evangelium und Tongkonan” bertutur:
            “Kultur als Aufgabe. Kultur als design for living (Louis Luzbetak)…. Alles, was ‘man made’ ist, ist kultur. Kultur ist also Produkt des Menschen (J. Verkuyl). Kultur kann nicht statisch sein. Sie ist die Dynamik des menschlichen Seins; sie ist ‘design for living’ und darum ist sie Aufgabe; sogar die erste Aufgabe des Menschen in der Bibel, Gen. 1: 26-28…. daB das Kulturproblem ein ‘ enduring problem’ ist fur die Kirche Und fur die Christen uberhaupt….” (“Kultur sebagai Tugas. Beberapa rumusan yang dipandang membantu seperti kultur sebagai petunjuk dalam hidup (Louis Luzbetak); semua yang dikerjakan manusia adalah kultur. Kultur adalah produk manusia (J. Verkuyl). Kultur tidak statis. Kultur adalah dinamika dari keberadaan manusia; kultur adalah petunjuk dalam hidup, dan karenanya kultur merupakan tugas; tugas pertama dari manusia dalam Alkitab, Kejadian 1: 26-28. Namun kultur juga problema teologis yang muncul dalam ungkapan mengusahakan dan memelihara taman (Kej. 2: 15), sedangkan dalam kejadian 1: 26 digunakan taklukan dan berkuasalah…. ).
Richard Niebuhr mengatakan, bahwa problema kultur merupakan problema abadi untuk gereja dan orang Kristen. Ia menitik-beratkan interpretasi pada aspek biblis dan kultur-historis, lantas mengelompokkannya atas lima grup: cultural christians – kekristenan dan kultur dipahami sebagai satu kesatuan, Protestan; Syntesists – Kristus di atas semua kultur, Katolik; conversionist; pada satu pihak, dan dua kelompok pada lain pihak adalah: Dualisten yang memandang Kristus dan Kultur “in paradox”, Lutheran (Zweireichelehre) dan radical christians, maka Kobong menggunakan “kontextuellen Teologie” di mana transformasi kultur dilihat sebagai metode. Dengan transformasi kultur “dalam Kristus” maka kultur kristiani menjadi mungkin; terwujud dalam “Inkarnation als Paradigma” fur die Transformation (Inkarnasi sebagai paradigma untuk transformasi), yakni Firman menjadi manusia; … suatu kebenaran supra-kultur (das Wort ist Mensch geworden; … eine suprakulturelle Wahrheit”. Lantas Kobong melengkapinya dengan berkata: Der mensch ist geschaffen in Gemeinschaft und zur Gemeinschaft, in Liebe und zur Liebe…. Nach der Identitat der christliche Gemeinschaft ist: die Liebe, die Liebe Gottes, wie sie uns in Jesus Christus begegnet ist (“manusia diciptakan dalam persekutuan dan demi persekutuan, dalam kasih dan demi kasih…. Di sinilah identitas persekutuan kristiani itu, yakni: Kasih, Kasih Allah seperti kita dipenuhi kasih dalam Yesus Kristus; Yoh. 1: 16; 1 Yoh. 5: 7-21).[11]
Setelah menjelajah Sumber Priest (Kej. 1), kini beralih sejenak pada sumber Yahwist. Kejadian 2 ayat 18 katakan – Tuhan Allah Berfirman: Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (LAI).  … het is niet goed dat de mensch alleen zij; ik zal hem eene hulpe maken, [die] als tegen over zij.[12]
Kata “tegen over” atau diterjemahkan juga dengan “eene hulp als zijn tegenover” berarti seorang penolong yang berhadap-hadapan”, namun LAI menerjemahkan “penolong…, yang sepadan dengan dia”.  Teks Biblia Hebraica menggunakan אָדָ֖ם, אֲדָמָ֔ה dengan pengertian: 1) berhadapan; 2) memberitahukan.[13] Analoginya demikian: A memberitahukan kepada B sesuatu (C). Jadi orang yang memberitahukan (A) sesuatu adalah seorang yang datang dari suatu tempat lain. Apa yang diberitahukan itu adalah penting dan vital (C). Sedangkan orang yang diberitahukan itu (B) adalah yang berhadapan dengan Sang A.
Dari analogi tersebut “berhadapan” memperkokoh arti “penolong”. Jadi, perempuan penolong berhadapan dengan laki-laki yang segambar dengannya tidak bermaksud bersaing, tetapi “saling menegakan”. Laki-laki perempuan menjadi manusia dalam perjumpaan; yang seorang berhadapan dan menjadi penolong untuk yang lain.
Beralih dari dua sumber tersebut, bagaimana dengan orang-orang seperti Habel dalam kaitan dengan tanggung jawab terhadap tanah? Ternyata tanah yang di atasnya berlangsung aktivitas dengan pelbagai kompleksitasnya, dapat menjadi tempat teduh untuk orang-orang seperti Habel yang dihabisi oleh saudaranya sendiri. Dalam kitab Kejadian 4 ayat 10 Tuhan berfirman: "Apakah yang telah kauperbuat ini? Darah adikmu itu berteriak kepada-Ku dari tanah”.
Di sini, dosa tidak sekadar dilihat sebagai terputusnya hubungan Allah – manusia sehingga manusia terperangkap pada masalah moral semata, tetapi terlebih menyangkut tercabutnya eksistensi manusia dari tanah tempat ia mengakarkan hidup. Dosa, jadinya dikaitkan betul dengan putusnya hubungan manusia – tanah.
       "Apabila engkau mengusahakan tanah itu (אֲדָמָ֔ה), maka tanah itu (אֲדָמָ֔ה) tidak akan memberikan hasil sepenuhnya lagi kepadamu; engkau menjadi seorang pelarian dan pengembara di bumi (בָאָֽרֶץ)" (Kej. 4:12).
Berikut, menurut keyakinan umat Israel, setelah Tanah Kanaan dijanjikan kepada Abraham, Ishak dan Yakub, barulah Allah mengeluarkan mereka dari Mesir (rumah perbudakan), membimbing melewati gurun sampai masuk Kanaan, dan memberikan Tanah itu sebagai pusaka. Dengan diberikan tanah itu, berakhirlah kredo umat Israel (Ul. 26: 5-7; 6: 21-23; Jus. 24: 2-13). Para nabi menggambarkan pemberian Tanah itu sebagai batas (grens; border) antara dua babak yang disifatkan sebagai babak “persiapan” dan babak “penggenapan” (kedewasaan).
Maksud dan tujuan pemberian Tanah itu bukan semata untuk menikmati berkat yang diproduksi dari Tanah, tetapi juga agar mereka menjadi persekutuan yang sungguh kudus.[14] Untuk itu Allah menguduskan Israel dengan cara membangkitkan kesadaran agar: a). mereka menyadari JHWH adalah Allah, b). menyadari diri adalah umat-Nya, c). menyadari tugas terhadap bangsa-bangsa sebagai hamba Allah.
Eksodus dari Mesir – Tanah Perhambaan itu – seolah berujar bahwa hidup ini tidak linear, tetapi terulang. Jadi ada saat di mana terjadi gerakan balik, “gerakan zionisme”. Eksodus menjadi Waktu Kudus, seperti kata Mircea Eliade. Namun yang terpenting, eksodus sebagai moment atau saat (temporal) di mana manusia dipulihkan dari ketakbertanahan (landlessness). Eksodus berarti hidup baru: hidup-bersama-tanah, hidup kembali bersama Allah Bapa di atas Tanah atau Bumi Pertiwi.

Perjanjian Baru
Lebih dari satu dekade, saat umat Kristen se-dunia merayakan Jumat Agung pada 28 April 2000, Rajawali Citra Televisi Indonesia menayangkan Revolutionary II. Di situ diceriterakan, menurut catatan para penginjil, setelah Yesus mati di salib, datang sekomplotan Imam menemui Pilatus. Revolutionary II memperlihatkan ekspresi kejengkelan Pilatus ketika melontarkan pertanyaan, “Raja orang Yahudi mana lagi yang hendak kalian salibkan?” Pertanyaan itu tidak dijawab, karena mereka bermaksud minta penjagaan “tentara”.
            “Tuan, kami ingat, bahwa si penyesat itu sewaktu hidup-Nya berkata: Sesudah tiga hari Aku akan bangkit. Karena itu perintahkanlah untuk menjaga kubur itu sampai hari yang ketiga; jikalau tidak, murid-murid-Nya mungkin datang untuk mencuri Dia, lalu mengatakan kepada rakyat: Ia telah bangkit dari antara orang mati, sehingga penyesatan yang terakhir akan lebih buruk akibatnya dari pada yang pertama” (Mat. 27:63-64).
Di tengah polemik dan apologetik yang tak kunjung usai tentang Kristus yang Bangkit dan Hidup itu, cetusan Malaikat Tuhan kembali menyapa Maria Magdalena cs yang menengok kubur: “... Janganlah kamu takut; sebab aku tahu kamu mencari Yesus yang disalibkan itu. Ia tidak ada di sini, sebab Ia telah bangkit, sama seperti yang telah dikatakan-Nya...” (Mat. 28:5-6).
Tanah pada era Yesus ternyata memperoleh pemahaman dan pemaknaan yang cukup rumit:  Tanah adalah Kematian yang Menghidupkan! Hal ini dipahami begini. Umat Kristen sejagad sungguh-sungguh mengimani dan mangamini bahwa Yesus Kristus benar mati dan dikuburkan dalam gua Kirene. Dalam perkembangan, “gua” itu dilihat sebagai modifikasi kontekstual dari “penguburan di dalam tanah” (spasial). Jadi tanah tidak sekadar menyuburkan dan dijadikan simbol kehidupan, tetapi juga simbol kematian. Namun kematian yang menghidupkan. Brandpunt (titik api) peristiwa Paskah tidak terletak pada kematian-Nya, tetapi pada kebangkitan-Nya. Kematian-dalam-tanah, karenanya, mesti dilihat lewat perspektif kebangkitan dari tanah. Tanah mesti mematikan supaya tanah juga mampu menghidupkan, seperti dicetuskan oleh Yohanes: "... Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia menghasilkan banyak buah" (Yoh. 12:24).
Makna dan jiwa dari cuplikan ini terukir dalam Kidung Jemaat 341: KUASAMU DAN NAMAMULAH,[15] yang di-Indonesia-kan dari judul asli Die Sach ist dein, Herr Jesu Christ karya Johann Michael Haydn. Syairnya digarap dengan teliti dan apik, liriknya menyentuh, musik dan nadanya pun manis dan indah. Itu sebabnya sepanjang abad ke-18 lagu ini tersohor di pelosok dunia. Samuel Preiswerk mengerjakan dua bait pertama, dan bait terakhir digarap oleh Filician von Zaremba.  Pada tahun 1966 E.L. Pohan Shn menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia sehingga terjadi proses transformasi dan penyerapan nilai teologis saat dinyanyikan dengan penuh penghayatan oleh pejabat dan warga gereja.
[1]        Kuasa-Mu dan nama-Mu-lah hendak kami sebar
            dan kar’na itu, ya Tuhan, kami takkan gentar.
            Bagaikan padi segenggam mestilah busuk dipendam,
            Supaya tumbuh dan segar, di panas surya memekar
berbuahlah. Tuaian pun besar.

[2]        Teladan sudah Kau beri demi derita-Mu
dan melalui salib-Mu Kau t’rima kuasa-Mu!
Bagian kami tak lebih, seperti segenggam benih,
melintas kubur yang gelap, agar kelak ‘kan menetap
bersama-Mu di Firdaus gemerlap.

[3]        Bagaikan padi, Tuhan pun “dikubur”, dipendam,
kembali bangkit merebut umat-Mu terkeram.
Ya Tuhan, kirim apalah penabur yang t’lah menyerah
hidupnya untuk kuasa-Mu, memberitakan nama-Mu
agar seg’ra buahnya milik-Mu.
Yang  paling menggembirakan dari peristiwa Kebangkitan Yesus adalah “ruang dan waktu” didamaikan. Para penginjil, menyusul kredo-kredo ekumenis menyatakan bahwa Yesus dikuburkan di dalam tanah (spasial) selama tiga hari (temporal) kemudian bangkit, menunjukkan kenyataan teologis-historis.
            PENGAKUAN IMAN RASULI: “…, menderita di bawah Pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan mati dan dikuburkan, turun ke dalam kerajaan maut, pada hari yang ketiga bangkit pula dari antara orang mati naik ke sorga….”
            PENGAKUAN IMAN NICEA KONSTANTINOPEL: “…, dan menjadi manusia yang disalibkan bagi kita di bawah pemerintahan Pontius Pilatus, menderita, mati dan dikuburkan. Yang bangkit pada hari ketiga sesuai dengan isi kitab suci….”
            PENGAKUANIMAN ATHANASIUS:  “…, demikian juga Allah dan manusia adalah satu Kristus yang telah menderita untuk keselamatan kita, turun ke kerajaan maut, pada hari yang ketiga bangkit dari antara orang mati,….”[16]
Kristus yang hidup mengatasi ruang dan waktu, menjadikan sejarah (Geschiedenis) membumi kokoh dan pasti. Kematian dan Kebangkitan Kristus, mestinya mampu mendamaikan modus temporal dan spasial, meruntuhkan "tembok pemisah" (Ef. 2:14-15) akibat perang dingin teologi Barat yang temporal dan teologi Timur yang spasial kontekstual. Bahkan mendamaikan setiap kubu yang bertikai, mendamaikan laki-laki maskulin dan perempuan feminin menjadi manusia utuh di atas bumi atau tanah tempat berakar, bertumbuh dan menghasilkan buah dari perspektif  teologi yang saya namakan TEOLOGI KEUTUHAN.
Teologi ini hendak dijadikan landasan untuk membicarakan global reconciliation dan global responsibility menyangkut Manusia dan Kemanusiaan, memantapkan komitmen spiritual pendeta GPM sebagai Hamba Tuhan. Selain itu visi eskatologis (temporal) tentang “langit baru” dan “bumi baru” (spasial) dalam Wahyu 21:1-8 menjelaskan pengertian senada sebagai puncak sejarah.[17]
Dalam Kristus, dua modus tersebut dipertemukan, namun yang spasial tetap penting, kalau tidak dikatakan unggul. Gerakan sejarah hidup ini menuju ke tanah yang baru, di mana langit (laki-laki; maskulin) dan tanah (perempuan; feminin) berpadu pada suatu perkawinan (ay. 2), manusia yang berpijak di bumi Pertiwi dipulihkan hubungan mesranya dengan Allah Bapa di sorga. Sejarah gereja bergerak ke sana.
Secara reflektif dapat dikatakan bahwa penanganan dan pemecahan persoalan di Negeri ini dan di GPM secara khusus memang mesti diperjuangkan terus. Persoalan seperti warga masyarakat dan jemaat yang tergusur akibat kerusuhan sosial sebenarnya mencerminkan hati yang dicemaskan terhadap kehidupan yang tak bertanah; kehidupan anak-anak manusia yang tercabut dari tanah tempat mereka berakar, bertumbuh, berkembang, berkarya bersama sesama demi memelihara keselarasan sebagai ciptaan Tuhan sehingga dapat menghasilkan buah. Semakin berakar mereka pada tanah dan mampu mengolah tanah secara partisipatif dapat pula dijadikan pemahaman mendasar dari pembangunan yang bermuatan lokal-kontekstual di seluruh wilayah GPM.
Persoalan ekologis perlu dilihat transparan juga, karena pengrusakan Alam dan Tanah bermula dari dua cara pikir, yakni: terlampau temporal dan terlampau laki-laki. Terlampau temporal, progresif-ekspansif tanpa penghormatan yang layak terhadap tanah dan cara pikir spasial. Terlampau laki-laki, sehingga kurang menghormati “Ibu Pertiwi” serta segala kekayaan yang dirahiminya. Justru itu perlu diperhitungkan betul pandangan dunia budaya Indonesia, khususnya budaya Maluku yang juga spasial dalam mengerjakan Teologi Keutuhan. Karena Teologi Tanah itu pula Teologi Petani, Teologi Peternak; ya, Teologi Keutuhan, Teologi Keselarasan atau apa pun namanya karena di atas tanah-tanah pertiwi ini anak-anak manusia dari berbagai strata, budaya, pendidikan, etnis, seks, profesi melakukan aktifitas berteologi sesuai panggilan Imamat Am orang percaya di lingkungan masyarakat pedalaman, pesisir, pegunungan, pinggiran, perkotaan, atau metropolitan.
Teologi Yesus yang menyejarah mesti diberi muatan asalinya, yaitu Yesus yang menjadi daging, Yesus yang berjalan di tanah Palestina, Yesus yang membumi di kawasan Seribu Pulau. Teologi Tanah hendaknya berkiblat pada Kristus yang mematikan diri-Nya memasuki tanah kubur dan bangkit dari tanah itu. Teologi yang tidak menyetujui ekspansi dan penjarahan tanah-tanah mesti memampukan pejabat dan warga gereja untuk hidup layak, berdamai dengan tanahnya di seluruh wilayah GPM demi pembebasan umat dari dosa perselisihan tentang tanah atau dosa tak bertanah demi kesejahteraan dan keutuhan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Semoga jiwa dan spirit Kebangkitan Kristus mampu mengubah cara gereja (warga, pejabat dan institusi gerejawi) bereksistensi dan berteologi secara utuh dan atau selaras dalam masyarakat multi-kultur di atas tanah-tanah Pertiwi.
Disampaikan pada Temu Raya Pendeta Laki-laki GPM Memantapkan Komitmen dan Spiritualitas Pendeta Laki-laki GPM sebagai Hamba Allah.
Baileo Oikumene Ambon, 2 – 6 September 2011.

CATATAN AKHIR

[1] “Far and Away”. From Wikipedia, the free encyclopedia. 3 September 2011. <http://en.wikipedia.org/wiki/Far_and_Away>
[2] Lihat: Rijks Universiteit Leiden. Instituut voor de Geschiedenis van de Europese Expansie. Leiden: Printshop Ouwehand bv, Leiderdorp, Oktober 1990. Tentang Ekspansi ini dapat dilihat dalam: Itinerario. Itinerario volume XXVII (2003) Number 1. Leiden: Grafaria, 2003. Band. Irene W. Meister “The Bandung Conference: An Appraisal” dalam: Robert Stausz-Hupe and Harry W. Hazard. The Idea of Colonialism. New York: Frederick A. Praeger, Inc., 1958, hlm. 232-270.
[3] Leonard J. Wattimury, Cornelis Adolf Alyona, ed. Kampung dan Jemaat Latta dalam Lintasan Sejarah – HUT Ke-50 Gedung Gereja Elohim 17 April 2007. Bekasi: Trinitas Prima Abadi, 2008, hlm. 10. Dikutip dari: C.P.F. Luhulima, Motip-motip Ekspansi Nederland dalam Abad Keenambelas. Djakarta: Lembaga Research Kebudajaan Nasional, 1971, hlm. 10; Buitenlandse Gulliver’s Travels, Book III, Chapter XI.
[4] Alkitab Elektronik: BibleWorks 8.
[5] “God as mother”. <http://en.wikipedia.org/wiki/Sallie_McFague>
[6] Bijbel. Nederlands Bijbelgenootschap. Haarlem, 1983.
[7] J.T. Wiersma. The Schepping. s’Gravenhage: Boeken-centrum N.V., 1948, hlm. 59-60.
[8] Ibid., hlm. 61-64.
[9] Ibid., hlm. 64. Spiegelbeeld (=persamaan gambar seperti pinang dibelah dua), berarti “Allah yang penuh dengan belas kasihan ingin bergaul dengan manusia yang gambar-Nya ia wakili”.
[10] Spiegelbeeld (gambar yang sesuai pada cermin) atau pricise counterpart yang menunjuk pada manusia sesungguhnya adalah makhluk atau ciptaan, namun diberi martabat khusus dalam keserupaan dengan Allah. Kesegambaran itu menekankan relasi khusus antara manusia dengan Allah Pencipta. Jadi manusia mesti berada dalam relasi dan hidup di dalam relasi dengan Sang Pencipta.
[11] Th. Kobong. Evangelium Und Tongkonan. Hamburg: Missionsakademie an der Universitat Hamburg, Maret 1989, hlm. 191-253.
[12] Bijbel. Staten-General. Kampen: J.H. Kok, 1913.
[13] Gerhard Lisowsky. Konkordanz Zum Hebraischen Alten Testament. Stuttgart: Wurtt. Bibelanstals Stutgart, 1958., hlm. 89 menyebut: אָדָ֖ם berarti: gegenuber// in front of// atau coram.
[14] Bnd. misalnya W.R.F. Browning. Kamus Alkitab; A Dictionary of the Bible. Panduan Dasar ke salam Kitab-kitab, Tema, Tempat, Tokoh, dan Istilah Alkitabiah. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2008, hlm. 435.
[15] YAMUGER. Kidung Jemaat. Jakarta: P.T. BPK Gunung Mulia, 1987.
[16] Gereja Protestan Maluku. Himpunan Liturgi Gereja Protestan Maluku. Ambon: Sekretariat Umum Gereja Protestan Maluku, 1997, hlm. 146-150. Konsep “ten derden dage” gebeurde, dapat dilihat dalam “Waarom Opstanding moet”, Pinchas Lapide. Opstanding – Een Joodse Geloofservaring. Netherland: Uitgeversmaatschappij J.H. Kok Kampen, 1983, hlm. 46-47.; Henri Veldhuis. Kijk op Geloof – Christelijk Geloof Uitgelegd. Nederland; Uitgeverij Boekencentrum – Zoetermeer, 2009, hlm. 143-155.
[17] I. Suharyo Pr. Membaca Kitab Suci. Mengenal Tulisan Perjanjian Baru. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991., hlm. 177.